Kisah Algojo Eksekusi Puluhan Terpidana, Salah Gantung Orang Hingga Dimarahi Terpidana Mati
Profesi algojo ternyata cuma pekerjaan sambilan. Di Inggris algojo mempunyai pekerjaan tetap lain: ada pemilik pub, buruh tambang dan bahkan penjual..
POSBELITUNG.COM -- Profesi algojo ternyata cuma pekerjaan sambilan. Di Inggris algojo mempunyai pekerjaan tetap lain: ada pemilik pub, buruh tambang dan bahkan penjual es krim!
Berikut ini pengalaman Syd Dernley yang pernah ikut menggantung lebih dari dua puluh orang.
Pada tanggal 18 Januari saya mendapat surat pemberitahuan bahwa saya lulus ujian.
Harus menandatangani surat perjanjian resmi yang menyatakan saya tidak boleh memberi keterangan apa pun kepada siapa pun tentang eksekusi.
Saya tidak boleh menulis buku ataupun artikel, tidak boleh memberi ceramah, ikut pameran maupun main film! Penandatanganan saya lakukan di hadapan inspektur polisi setempat.
Sebulan kemudian saya dikabari bahwa kini saya sudah resmi menjadi penggantung orang dan nama saya termasuk dalam daftar asisten algojo.
Saya diperingati agar jangan berani-berani menulis surat untuk menawarkan jasa kepada sheriff ataupun undersheriff.
Kalau hal itu dilanggar, nama saya akan dicoret dari daftar. Pekerjaan menggantung orang harus ditunggu, bukan diminta. Sekali lagi saya diingatkan agar tutup mulut.
Sebulan kemudian saya diundang untuk menyaksikan eksekusi terhadap James Farrell seperti yang sudah saya ceritakan pada awal tulisan ini.
Saya kagum sekali pada Pierrepoint dan Kirk. Mereka sangat tenang. Malam itu kami menginap di penjara. Suasana sangat santai, apalagi Kirk pandai melucu.
Pierrepoint sebagai "si nomor satu" sangat dihormati. Kalau ia berbicara, semua mendengarkan.. Baik Pierrepoint maupun Kirk adalah pemilik pub.
Pierrepoint meminta kami tidur pukul 22.00 dan ketika kami bangun keesokan harinya, saya dapati Pierrepoint maupun Kirk bersikap serius, sungguh-sungguh, tidak melucu atau santai seperti kemarin.
Pekerjaan algojo memang bukan main-main. Pierrepoint algojo yang paling termasyhur di Inggris. Ia dan Kirk pernah dikirim ke Eropa untuk membantu Sekutu, menggantung para penjahat perang Nazi.
Pubnya di, Manchester Road, Hollinwood, banyak dikunjungi orang yang ingin berkenalan dengannya. Namun, jangan coba-coba mengorek keterangan dari Pierrepoint.
Baru tanggal 23 September saya menerima tawaran untuk membantu mengeksekusi ... seorang wanita! Walaupun dalam surat itu tidak disebutkan namanya, saya tahu wanita mana yang dimaksud: Margaret Lughlan Williams, yang menikam suaminya sampai mati tiga bulan setelah mereka menikah.
Pierrepoint memberi nasihat: jangan pernah menolak tawaran, nanti tidak akan ditawari lagi. Jadi buru-buru saya membalas, menyatakan bersedia menjalankan tugas sebagai asisten algojo.
Namun, hukuman mati atas Ny. Williams dibatalkan, sehingga saya terpaksa harus menunggu kesempatan lain.
Pekerjaan sambilan
Saat itu saya masih bekerja sebagai tukang las di pertarnbangan. Bos saya tidak tahu bahwa saya asisten algojo.
Karena kemudian saya sering harus ikut menggantung orang, saya terpaksa meminta izin untuk boleh memberi tahu bos saya. Soalnya, saya bisa dipecat kalau sering-sering minta cuti tanpa alasan yang jelas.
Begitu tahu saya ini tukang gantung resmi, hati bos saya yang galak itu menciut. Saya boleh tetap bekerja di tambang.
Empat minggu setelah tawaran pertama, saya mendapat tawaran ikut menggantung seorang kuli tambang yang membunuh seorang gadis. Pada waktu yang bersamaan akan digantung pula seorang kuli pelabuhan yang membunuh istri orang.
Saya sebetulnya lebih senang mengasisteni Pierrepoint, karena saya kenal kepadanya dan ia tampak ahli betul dalam pekerjaannya. Namun, saya kebagian membantu algojo Steve Wade yang belum pernah saya lihat.
Tanggal 12 Desember, 24 jam sebelum eksekusi dijalankan, saya pergi ke Durham dengan hati waswas. Waktu ltu sudah selahun saya lulus ujian algojo, tanpa pernah praktek.
Di luar dugaan, ketika berganti kereta di Sheffield, saya bertemu dengan Harry Allen. la diminta membantu mengeksekusi kuli pelabuhan!
"Kau pernah kebagian pekerjaan?" tanya saya.
"Belum," jawabnya.
Pengalamannya sama seperti saya: diundang tetapi tidak jadi dipakai. Hati saya jadi besar lagi.
Di Penjara Durham barulah saya bertemu dengan Wade. Orangnya pendiam dan seperti kurang percaya diri.
Ternyata Harry akan mengasisteni teman lama kami, Harry Kirk yang senang bercanda.
Algojo risau
Kami berempat diantar ke rumah sakit penjara yang akan menjadi tempat menginap kami, lalu kami dibawa "mengintip" terpidana mati yang keesokan harinya akan dieksekusi.
Di sel tempat terpidana, Wade mengintip. Kelihatan ia risau. Lalu giliran saya.
Sel itu sama saja seperti sel tempat kami latihan, tetapi di dalamnya ada terhukum yang oleh masyarakat dijuluki si Binatang karena kejamnya.
Ia sedang main kartu dengan dua penjaganya, yang siang-malam tidak membiarkan ia sendirian. Si Binatang tampak normal saja dan masih muda sekali. Mengapa Wade risau?
Setelah itu Wade mengintip ke lubang yang sebuah lagi. Rasanya lama sekali. Lalu tiba giliran Kirky.
Kami masuk ke kamar eksekusi.
Wade menghitung-hitung panjang jatuh yang harus diberikan kepada kedua terpidana. Wade sebagai "si nomor satu" memeriksa segalanya dengan cermat sebanyak dua kali, sedangkan Kirky cuma mengawasi untuk memberi Harry dan saya kesempatan praktek.
Karena dua eksekusi akan dilakukan berbareng, tali gantungan tidak dipasang di tengah, tetapi dipisahkan oleh jarak 1 m.
Setelah dua kantung pasir dipasang di titik yang kelak akan ditempati oleh terpidana, Wade melakukan pemeriksaan terakhir dan meminta pengawal memanggil kepala penjara.
Kepala penjara datang bersama under-sheriff dan seorang pejabat lain. Mereka mengambil tempat sekeliling pintu jebakan. "Siap, Pak?" tanya Wade.
Kepala penjara mengangguk dan Wade melepaskan ganjal dan alat pengunci pengungkil. Pintu jebakan menganga dan dua kantung pasir merosot ke dalamnya.
"Mulus?" tanya kepala penjara.
"Mulus," jawab Wade.
Kami keluar dan pintu kamar eksekusi dikunci. Kantung pasir dibiarkan tergantung untuk menyempatkan tali mulur. Kemudian Wade minta pengawal meninggalkan kami sebentar di kamar kami.
Ia menjelaskan bahwa si buruh tambang pernah mencoba bunuh diri, sehingga lehernya luka. Setelah sembuh, lehernya teleng. Inilah yang mengkhawatirkan Wade. la takut ada pengaruhnya pada penggantungan.
la mengatur agar orang itu dijemput lebih dulu, kemudian barulah Kirky dan Harry menjemput yang kedua.
Malam itu seperti biasa kami tidur pukul 22.00. Bagi saya waktu lewat lama sekali dan sangat menggelisahkan. Apalagi bagi terpidana.
Pukul 07.30 saya dibangunkan. Kami berdandan dan sarapan, sebelum pergi ke kamar eksekusi. Wade berpesan agar kami jangan berisik, sebab para terpidana ada di sel masing-masing.
Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak kedengaran. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup.
Kami membenahi kantung pasir dan pintu jebakan. Wade menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang mulur masing-masing setengah inci.
Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.
Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara.
Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?
Anehnya makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."
Lutut lemas
08.55 pintu terbuka. Seorang sipir masuk. "Sudah saatnya," kata Wade sambil bangkit. "Kalian siap?" Saya mengangguk. Kirky memandang saya dan tersenyum. "Lakukanlah baik-baik, Nak," katanya.
Saya mengikuti Wade ke luar ruangan. Di depannya berjalan sipir, sedangkan Kirky dan Harry membuntuti saya. Dekat sel terpidana kami betemu dengan rombongan kepala penjara, yang berjalan di belakang kami.
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara orang bernyanyi dari dalam sel, suara yang serak dan gemetar. Saya hampir tidak percaya pada telinga saya. Setelah itu terdengar suara yang lebih mantap ikut menyanyi, "Biarlah aku terbang ke haribaanMu."
Diiringi suara nyanyian itu kami tiba di muka pintu sel. Selama 30 detik kami menunggu terpidana nomor dua bernyanyi bersama pendetanya.
Di muka pintu no. 1 Wade berdiri bersama saya, Kirky dan Harry di muka pintu no. 2, kepala penjara dan rombongannya di muka pintu kamar eksekusi.
Jarum jam berdetik mendekati pukul 09.00. Lalu kepala penjara mengangguk seraya memberi isyarat dengan tangan. Wade maju ke pintu, saya mengikuti di belakangnya.
Sel tampak penuh, karena ada pendeta yang wajahnya pucat dan dua sipir.
Begitu saya masuk, saya lihat terpidana yang membelakangi kami bangkit. Wade menggamit tangan kirinya dan saya menggamit yang kanan.
la tidak melawan. Semua berjalan dengan cepat sekali. Wade melangkahi ambang pintu kuning. Karena terpidana diam saja, saya menaruh tangan di pundaknya.
Begitu didorong dengan lembut, ia segera mengikuti Wade. Sipir mengapitnya di kiri dan kanan.
Di tengah pintu jebakan Wade menstopnya. Saya segera menarik pengikat dari saku, berjongkok dan mengikat pergelangan kakinya. Ketika saya siap, saya lihat Wade sudah selesai menyelubungi kepala dan memasang tali leher.
Saya menoleh ke sebelah kami. Kosong! Ke mana Kirky dan Harry? Ada kesulitan apa? Pasti tidak ada perkelahian, sebab tidak terdengar apa-apa.
Kami menunggu tanpa bersuara.
Rasanya lamaaaa sekali. Gantungan kembar mesti selesai dalam waktu 15 menit, tetapi sudah 45 menit terpidana yang satu berdiri, belum juga muncul yang lain.
Tahu-tahu muncul sipir di pintu. Sementara itu terpidana yang sedang menunggu tampak bergoyang, seperti akan semaput. Celaka!
Saat itu Kirky melesat masuk diikuti oleh terpidana dan Harry. Wajah Kirky tampak merah dan ia senewen. Wade segera maju dan menstop terpidana no. 2 di tanda kapur.
Dengan gesit selubung dipasangnya dan tali leher dikalungkan. Saya tak sempat melihat Harry yang bertugas memasang pengikat kaki. Tahu-tahu saja Wade sudah melompat menyentuh pengungkil.
Bunyi berdebum terdengar. Kedua terpidana merosot lalu berhenti. Tali tegang, tidak bergerak-gerak. Mereka sudah tewas.
Kirky pergi membuka pintu jebakan kecil di samping untuk mendekati jenazah. Saat itu dokter muncul. Kancing berjatuhan ketika baju jenazah pertama ditarik. Dokter mengangkat stetoskopnya untuk ditempelkan ke dada jenazah yang kepalang miring ke sebuah sisi karena lehernya patah.
Proses itu diulangi pada jenazah kedua. Saat itu lutut saya rasanya gemetar. Bukan karena eksekusi, tetapi karena hampir terjadi malapetaka. Bayangkan, kalau terpidana no. 1 keburu pingsan!
Di kamar eksekusi tidak ada orang yang berbicara. Akhirnya semua keluar. Kedua jenazah dibiarkan dulu tergantung selama sejam.
Begitu kami tiba di kamar tempat kami menginap, makan pagi disajikan. Seorang pengawal mengawasi kami makan. Tak seorang pun berbicara. Selesai sarapan, Wade dan Kirky pergi bersama si pengawal.
"Ada apa?" tanya saya kepada Harry.
"la tidak mau pergi," jawab Harry. "la belum siap. la tidak mau ditelikung, sampai mesti dipaksa. Tenaganya kuat."
Pukul 10.00 kami masuk ke kamar eksekusi untuk menurunkan mayat. Setelah bebenah, Wade menulis laporan.
Setelah itu upah kami dibayar setengahnya. Setengah lagi dikirim kemudian. Sebagai asisten saya mendapat 3 guinea, tetapi hari itu saya cuma menerima 1 pon 11 shilling dan 6 pence.
Konon di masa yang lalu algojo biasa menghabiskan uangnya untuk minum-minum dan dalam keadaan mabuk mulutnya dipentang untuk bercerita macam-macam.
Lantas pihak yang berwajib mengambil kebijaksanaan: upah hanya akan dibayar setengah dulu. Kalau berani buka mulut, setengah lagi tidak akan dibayar!
Salah gantung?
Pernahkah ada orang yang kesalahan digantung? Bulan Maret 1950 Pierrepoint dan saya menggantung seorang pengemudi truk berumur 25 tahun, Timothy John Evans.
Namun, kemudian dinyatakan Evans tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh istrinya, tetapi tetangganya, Reginald Christie.
Betulkah Evans tidak membunuh? Bulan November 1949 Evans menyerahkan diri karena katanya ia membunuh istri dan anaknya yang berumur 14 bulan. Cuma anehnya, mayat ditemukan bukan di tempat yang ditunjukkannya, tetapi di tempat lain.
Evans dituduh membunuh istri dan anaknya, tetapi karena kebiasaan di masa itu, ia cuma boleh diadili membunuh satu orang. Penuntut memutuskan untuk mendakwa Evans sebagai pembunuh anaknya.
Setelah Evans dihukum gantung, muncul bukti-bukti bahwa pembunuh Geraldine Evans adalah Reginald Christie, tetangganya. Jadi Evans dinyatakan tidak bersalah.
Sebetulnya tidak benar kalau Evans bukan pembunuh. Memang betul Geraldine dibunuh oleh Christie, tetapi yang membunuh Ethel, istri Evans, kemungkinan besar adalah Evans sendiri. Begitu pendapat Hakim Brabin.
Pengawal yang menjaga terpidana mati diajari menjawab pertanyaan-pertanyaan terpidana mati, seperti: "Sakit nggak sih digantung?" "Lama nggak sih matinya?"
Jawaban-jawaban yang benar membuat terpidana tenang dan terhibur pada malam-malam panjang yang mencekam. Berulang-ulang terpidana diberi tahu bahwa kematian berjalan cepat dan tidak menyakitkan kalau mereka menghadapinya dengan tenang dan tidak melawan.
Ketika Pierrepoint dan saya bertugas menggantung Piotr Maksimowski yang membunuh pacarnya (istri orang), kami mengira akan mendapat kesulitan.
Soalnya, Maksimowski takut digantung. Sebetulnya ia tidak takut mati. Ia malah mencoba bunuh diri di penjara. Ia minta dihukum tembak, hukuman yang tidak bisa diluluskan.
Ternyata orang Polandia berumur 33 tahun itu sangat membantu kami. Ia segera bangun begitu kami masuk dan membiarkan tangannya diikat. Ia berjalan tanpa ayal-ayalan ke kamar eksekusi dan dalam waktu 7,5 detik sudah meninggal.
Dimarahi orang yang akan digantung
Suatu kali, Pierrepoint mendapat tugas mengeksekusi dua orang sekaligus, yaitu Zbigniew Gower dan Roman Redel di Penjara Winchester. Ia bersama Harry Allen akan menangani Gower. Kirky dan saya disuruh mengurusi Redel.
Sudah ribuan kali saya mempraktekkan pengikatan pergelangan kaki, eh, sekali ini kok rasanya susah betul. Tali kulitnya seperti terlalu pendek 3 inci, sampai rasanya saya tidak percaya memandangnya.
Dalam keadaan panik itu tali jatuh menimpa sepatu Rodel. Tahu-tahu orang Polandia itu mengomel dari balik selubungnya, "Kerja yang benar, dong!"
Ternyata kaki Redel kurang rapat. Untung Pierrepoint bersedia menunggu dan untung setelah itu saya masih terpakai. Biasanya kalau algojo salah sedikit saja, habislah kariernya.
Kalau Maksimowski membantu para penggantungnya untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, ada lagi yang lebih nekat menghampiri tali gantungan dari dia.
Bulan November 1950 saya dipanggil untuk membantu Steve Wade mengeksekusi seorang pelaut bernama Patrick Tournage yang bersalah membunuh seorang pelacur tua.
Tournage yang kecil kurus itu sejak di pengadilan menyatakan ingin mati. Jadi dalam sel ia riang gembira saja, sampai para pengawalnya pun heran.
Hubungan antara pengawal dengan narapidana biasanya sulit. Tetapi bukan mustahil antara mereka ada ikatan batin, karena sang pengawal mendampingi siang-malam, menghibur mereka ketika gelisah, berbicara pada saat si terpidana mati ingin berbicara, main kartu kalau diajak main, tutup mulut kalau terhukum ingin kesunyian.
Mereka juga bertanya-tanya di dalam hati seperti sang terpidana: apakah akan ada pengampunan?
Karena itulah pengawal si terpidana tidak diharapkan ikut serta dalam eksekusi. Beberapa jam sebelum pelaksanaan hukuman mati, mereka digantikan oleh dua pengawal lain, kecuali kalau terpidana minta agar pengawalnya yang lama ikut hadir.
Wade meminta seorang pengawalnya yang lama untuk menemani saat-saat terakhirnya. Tournage menoleh, ketika Wade dan saya masuk. Wajahnya ketakutan, tapi cuma sekejap Setelah itu ia seperti tersenyum.
Tournage bangkit dan bersebelahan dengan pengawalnya la mengikuti Wade. Kejahatannya memuakkan publik, tetapi sikapnya pagi itu sungguh mengagumkan. Dengan tabah ia mendekati tali gantungan.
Mendengus
Teknik menggantung orang boleh dikatakan sudah sempurna saat saya menjadi asisten algojo. Terhukum segera tewas tanpa menderita. Tidak demikian halnya di akhir abad yang lalu.
Sering terhukum sampai mesti terkejat-kejat dulu karena jiratan tidak cukup kuat untuk mematahkan lehernya.
Kematian pun berlangsung tidak segera. Hal itu sama sekali tidak terjadi. Karena itulah jarak jatuh mesti cukup panjang.
Kalau sampai terpidana belum meninggal, tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mengayunkan kakinya supaya ajal lebih cepat menjemput. Adegan yang mengerikan itu hanya terjadi di masa yang lampau.
Seorang penggantung pada masa itu, William Marwood, merasa bisa mencegah peristiwa yang tidak diinginkan itu, yaitu dengan memperhitungkan panjang jatuh.
Suatu hari datang tawaran untuk menggantung Norman Goldthorpe, seorang pembunuh brutal. Saya menerimanya. Ternyata Pierrepoint dan Steve Wade harus menggantung orang lain pada hari itu, sehingga tugas sebagai "si nomor satu" jatuh pada Harry Kirk.
Ketika saya datang ke Penjara Norwich, Kirky sudah ada di sana. Kami mengintip Goldthorpe yang ternyata kurus sekali, sehingga Kirky berniat memberinya jarak jatuh yang panjang.
Bertugas dengan Kirky lain sekali daripada dengan Pierrepoint atau Wade. Kirky senang bercanda dan tidak sekeras Pierrepoint dalam hal melewatkan saat-saat menjelang penggantungan. Malam itu kami minum-minum bir.
Pengawal kami yang masih muda segera akrab dan ikut bercanda. Pokoknya, malam itu meriahlah suasana di kamar kami tanpa kehadiran The Boss (Pierrepoint).
Mulut Kirky juga lebih longgar. Ia menceritakan pengalamannya menggantung para penjahat perang. Katanya, pernah suatu pagi mereka menggantung sampai 22 orang.
Jenazah boro-boro dibiarkan tergantung sejam. Begitu selesai dijatuhkan ke pintu jebakan, lantas diperiksa oleh dokter, lalu jiratannya dibuka, dipasang lagi untuk orang berikutnya ....
Keesokan harinya kami menjemput Goldthorpe. Semua berlangsung seperti biasa, tapi ketika Goldthorpe berhenti merosot, kami mendengar suara dengus dari ruang bawah. Sekali, sekali lagi, sekali lagi .... Suara itu keluar dari balik selubung kepala!
Celaka! Saya berlari ke bawah diikuti oleh dokter. Suara dengus masih terdengar, tetapi berhenti begitu saya memasang tangga. Saya menarik kemeja Goldthorpe. Dokter menempelkan stetoskopnya. "Sudah meninggal! Sudah meninggal!" serunya.
Kentara betul ia lega. Saya memegang tali yang melingkar di leher Goldthorpe. Ternyata jari saya bisa masuk di antara leher dan tali!
Dokter mengangguk. "Tapi lehernya patah. la meninggal sekejap itu juga," katanya. “Yang tadi tuh cuma reaksi otot."
Kirky kelihatan lesu dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika kami memeriksa kembali, temyata semuanya beres. Ukuran-ukuran sesuai dengan peraturan.
Tapi ketika kami membuka kerudung kepala, baru ketahuan bahwa kain kerudung itu sebagian menyelip di lubang kalung. Kain secuil itulah yang membuat tali tidak erat menjirat leher Goldthorpe!
Sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan Kirky lagi. Ada hal lain yang ingin saya ceritakan tentang Goldthorpe. Ketika saya hampu meninggalkan penjara, seorang pengawal menghampiri.
"Hadiah untuk Anda," katanya sambil menyerahkan sebungkus rokok. "Hadiah dari dia."
"Siapa dia?"
"Goldthorpe! la berpesan agar diberikan kepada tukang gantung." Astaga!
Didekati penyogok
Sejak pengalaman Kirky itu saya tahu bahwa karier saya sebagai penggantung orang pun sewaktu-waktu bisa berakhir. Saya agak risau.
Bagi tukang las di pertambangan, pekerjaan sebagai algojo sungguh berharga, karena memungkinkan saya untuk bepergian ke kota-kota jauh, berkenalan dengan orang-orang dari tingkat yang lebih tinggi dan mendapat penghargaan karena mengeksekusi penjahat.
Suatu hari ketika saya menjemput Pierrepoint karena kami bersama-sama mendapat tugas mengeksekusi Nicholas Crosby di Penjara Manchester, saya didekati salah seorang tamu pub Pierrepoint.
la mengaku teman Pierrepoint. Dengan licinnya ia mengajak saya 'bisnis'. Ia meminta saya memasang kamera kecil di balik dasi baju saya untuk memotret adegan penggantungan.
Imbalannya besar sekali, berlipat-lipat gaji tukang las tambang atau tukang gantung orang sekalipun!
Walaupun ia licin sekali, untungnya saya tidak terpeleset. Saya tidak senang kepadanya. Saya menolak. Saya malah melapor pada Albert Pierrepoint, tapi orang itu sudah pergi.
Tahun 1950 merupakan tahun sibuk. Saya membantu menggantung sembilan belas kali penggantungan yang dilakukan di Inggris tahun itu.
Panggilan pertama yang saya terima di tahun berikutnya ialah untuk ikut menggantung tiga orang dalam waktu dua hari di Penjara Wandsworth.
Di penjara inilah saya bertemu dengan dua Harry Allen. Yang pertama Anda sudah kenal, yaitu Harry penjual es krim sahabat saya. Harry yang lain berasal dari Manchester. Ia mengenakan dasi kupu-kupu!
Setelah melihat tujuh penjara, saya mengira semua kamar eksekusi sama saja. Ternyata saya keliru. Di Wandsworth ini kamar eksekusihya bukan main.
Semua serba berkilat saking bersihnya, termasuk lantainya. Bahkan ujung tali gantungan pun mempunyai embel-embel hiasan warna-warni.
Joseph Brown dan Edward Smith adalah pembunuh seorang tua pemilik toko, sedangkan James Virrels yang berumur 55 tahun membunuh induk semangnya gara-gara bertengkar soal roti isi selai.
Pierrepoint dan saya menggantung Smith, sedangkan kedua Harry Allen menangani Brown. Penggantungan dilakukan berbareng. Semuanya lancar. Itulah terakhir kalinya saya bekerja sama dengan Harry Allen sahabat saya.
Saya dengar kemudian dari Pierrepoint bahwa ia terpaksa melepaskan pekerjaan sambilan ini, karena diancam akan dipecat oleh bosnya, juragan es krim.
Keesokan harinya tinggal Pierrepoint dan saya mengurusi Virrels. Ia kelihatan tua sekali dan sangat ketakutan. Walaupun sulit, ia bisa berjalan sendiri ke penggantungan.
Ketika tiba saat membuka pakaiannya, saya dapati ia mengeluarkan kotoran. Tidak benar cerita orang bahwa semua korban hukuman gantung kehilangan kontrol atas pengeluarannya. Dari pengalaman saya, cuma Virrels sendiri yang demikian.
Bernafsu ingin digantung
Bulan April 1951, ketika James Inglis akan dijatuhi hukuman mati, Hakim Gorman bertanya, "Barangkali ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"
Inglis menjawab, "Saya merasa diadili dengan adil. Kini yang saya inginkan hanya satu: secepatnya digantung."
Hadirin begitu terkejut, tetapi Inglis memang bukan asal berbicara. Inglis tersenyum ketika kami menjemputnya di sel. Kedua belah tangannya ia kebelakangkan tanpa diminta.
Sambil tersenyum ia melangkah ke ruang eksekusi. Hampir saja Pierrepont ia tinggalkan di belakangnya! Terpaksa dua pengawal dan saya terbint-birit membuntutinya. Kami seperti berlari ke kamar eksekusi.
Sebelum saya sempat berdiri tegak di tepi pintu jebakan, Inglis sudah merosot ke bawah. "Tujuh detik!" seru pemegang stopwatch. Bahkan Pierrepomt yang sudah menggantung lebih dari enam ratus orang merasa tercengang, apalagi para pejabat penjara.
"Buset, saya dikejar narapidana yang akan digantung!" katanya.
Setelah ltu saya masih mengeksekusi beberapa orang lagi. Kemudian karier saya sebagai penggantung orang berakhir tiba-tiba secara misterius.
Terakhir saya menggantung orang di Winson Green, Birmingham. Leslie Green dijatuhi hukuman gantung karena membunuh seorang wanita dengan kejam.
Ia begitu brutal, sehingga sampai saat terakhir pun tidak menunjukkan penyesalan. Untuk membantu mengeksekusi Green saya mendapat honor 5 guinea, bukan 3 guinea seperti biasanya.
Namun, sejak itu saya tidak pernah mendapat kesempatan menggantung orang lagi. Konon saya berbuat kesalahan ketika melakukan eksekusi di Wandsworth.
Namun, karena saat itu saya sudah menerima tawaran untuk menggantung Green, kesempatan itu tidak dicabut lagi.
Di Wandsworth Pierrepoint tidak banyak cakap dan kedua pengawal juga begitu, sehingga saya menyalurkan kebutuhan saya untuk berbicara dengan orang-orang yang hadir. Saat itu jumlahnya agak lebih banyak daripada biasa.
Saya tidak tahu bahwa orang yang saya ajak berbicara itu antara lain kepala penjara di Birma, yang diundang menyaksikan hukuman gantung di Inggris. Mungkin ada kata-kata saya yang kurang berkenan.
Selain itu ketika membuka pakaian korban sehabis ia digantung, saya sempat berkomentar karena begitu terkesan dan kagum melihat alat vitalnya yang berukuran istimewa.
Rupanya hal itu dianggap kurang pantas.
Sebenarnya setelah itu saya masih mendapat beberapa tawaran. Cuma saja semua dibatalkan, karena mereka tidak jadi dihukum mati. Amplop coklat murah yang terakhir datang tanggal 22 Januari 1952.
Undangan tetap tak datang ketika saya berganti profesi menjadi pengelola kantor pos. Sekarang saya sudah pensiun.
Sudah lebih dari 35 tahun berlalu sejak saya terakhir membantu menggantung orang. Hukuman mati pun sudah dihapuskan di Inggris (1965) dan undang-undang kerahasiaan yang harus dipegang algojo sudah diubah.
Sampai saat ini saya masih tetap yakin akan manfaat hukuman mati. Soalnya, 22 tahun setelah hukuman mati dihapuskan, 37 orang meninggal dibunuh oleh orang yang pernah membunuh sebelumnya.
Orang sering bertanya: apakah saya tidak pernah dihantui oleh orang-orang yang saya gantung? Memang pernah saya bermimpi seram dua kali. Dalam mimpi itu saya menjadi terpidana mati. Tangan saya ditelikung, lalu saya digiring ke tali gantungan.
Saya berteriak-teriak dan terbangun dalam keadaan berkeririgat dingin. Pada mimpi yang pertama saya cuma tiba di pintu kamar eksekusi. Pada mimpi kedua saya sempat sampai di atas pintu jebakan.
Mudah-mudahan sih saya tidak bermimpi untuk ketiga kalinya .... (Syd Dernley dan David Newman, The Hangman's Tale)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1990)