Sejarah Pulau Belitong
Menelisik Pulau Kalimuak, Ada Terowongan yang Disebut Tembus Sampai ke Museum
Kalimuak yang selama ini terlihat sederhana ternyata menyimpan begitu banyak cerita di dalamnya.
POSBELITUNG.CO, BELITUNG - Sebuah benda keramat beserta tiga makam, dan sebuah tugu kuno menyerupai mercusuar tampak berdiri tegak di balik rimbunnya pepohonan Pulau Kalimuak, Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Belitung, Rabu (24/9) sore.
Kalimuak yang selama ini terlihat sederhana ternyata menyimpan begitu banyak cerita di dalamnya.
Patrik (37) tampil modis dengan senyum ramah ketika menyambut kedatangan Pos Belitung di Dermaga Umum Pelindo II Tanjungpandan, muara Sungai Seburik.
Topi berburu, kaca mata retro cokelat muda, dan sandal slop putih membuat kehadirannya begitu mencolok di tengah sekumpulan nelayan di tepi dermaga tersebut.
Warga Desa Juru Seberang yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan ini siap memandu perjalanan menuju Pulau Kalimuak yang kental dengan citra klenik.
Ia juga membawa rekannya Heri, seorang pria yang lebih muda dengan setelan kasual dan bertugas mengawasi haluan perahu.

“Kita jalan santai, cuma 15 menit sudah sampai ke Kalimuak,” kata Patrik kepada Pos Belitung.
Jarak Pulau Kalimuak memang sangat dekat dari obyek wisata Pantai Tanjungpendam.
Namun, tak banyak orang pernah ke sana, apalagi menengok langsung seisi pulau tersebut.
Cuaca cerah dan angin yang tak terlalu kencang membuat perahu motor patrik berjalan mulus.
Perahu berukuran 8x1 meter itu akhirnya merapat di dermaga Pulau Kalimuak tanpa menemui kendala berarti.
Sebuah gapura bergaya Tiongkok setinggi kurang lebih enam meter berdiri tegak bak penyambut tamu. Setelah melewati gapura, terdapat dua unit gazibu beton berwarna merah lengkap dengan meja dan kursi permanen untuk bersantai.
Nuansa Tiongkok terasa begitu kental dengan adanya sebuah pendopo di tepi laut yang dilengkapi altar untuk sebagian warga Tiong Hoa berdoa dan menggelar ritual.

Secara geografis, Pulau Kalimuak merupakan sebuah bukit setinggi kurang lebih 35 meter di atas permukaan laut.
Untuk mencapai puncak, terdapat 99 buah anak tangga di belakang gazibu.
Tangga itu terbuat dari coran semen dengan kemiringan kurang lebih 55 derajat.
Menaiki tangga ini lumayan bikin capek dan membuat kaki serta pinggang terasa pegal.
Namun rasa capek itu seolah sirna ketika mendapati sebuah pendopo di ujung anak tangga.
Nuansa klenik mulai terasa ketika menyaksikan untaian kelambu yang menyelubungi pendopo tersebut. Sementara di sebelahnya, terdapat sebuah bangunan seukuran mushola berwarna hijau sebagai tempat untuk berdoa dan menggelar ritual.
Di tengah-tengah pendopo tersebut terdapat sebuah beton berbentuk tabung setinggi kurang lebih 70 sentimeter dan diameter 60 sentimeter.
Menurut Patrik, beton yang dibalut kain putih dan merah tersebut pada masa kolonial Belanda berfungsi sebagai kaki meja bundar.

Konon kabarnya meja itu terbuat dari batu giok.
Sayang meja tersebut raib dan hingga kini tak pernah ada kabarnya.
Lalu entah sejak kapan kata Patrik, kaki meja yang tersisa akhirnya menjadi benda yang dikeramatkan oleh sebagian warga Tiong Hoa asal Belitong.
Nuansa keramat makin kuat dengan keberadaan tempat dupa.
Selain itu terdapat juga sejumlah barang yang sengaja digantung pada ranting-ranting pohon.
Barang-barang itu sebagian besar berupa botol air mineral, di samping juga terdapat korek gas, bekas minuman kaleng, dan piring plastik.
Menurut Patrik, selain menjadi keramat, beton tersebut juga memiliki mitos tersendiri.
Konon barang siapa berhasil memeluk keramat tersebut maka permohonannya bakal terkabul.

Mereka yang punya tujuan tertentu mendatangi keramat itu dengan membawa sesajian berupa ayam atau kambing.
Patrik masih ingat ketika masa kecilnya dulu sering menyambangi Kalimuak untuk memburu sesajian tersebut.
Kebiasaan berburu sesajian itu pun masih berlaku hingga generasi masa kini.
Setidaknya itu terbukti dengan masih ditemukannya sejumlah perangkap tradisional di sekitar keramat tersebut.
“Ayah saya keturunan Orang Juru, perantau asal Johor (Malaysia), dulu ia sering marah kalau kami mengambil sesajian di sini, karena sesajian itu katanya untuk orang buang sial,” tutur Patrik.
Masih di deretan yang sama, sebuah pemandangan berbeda mengundang decak kagum.

Di sana terdapat sebuah tugu kuno dari era kolonial Belanda.
Tugu setinggi kurang lebih 12 meter tersebut memiliki empat bidang datar dengan lebar pangkal sepanjang tiga meter dan pondasi berukuran 4x4 meter.
Keberadaan tugu tersebut pernah tergambar dalam sebuah foto Kalimuak yang diambil pada kurun waktu 1910-1930.
Namun kebenaran foto itu sempat disanksikan lantaran banyak orang hanya mengenal Kalimuak dari kejauhan.
Sayang kata Patrik, tidak ada yang tahu secara pasti sejak kapan dan untuk tujuan apa tugu itu dibangun.
Sebaris dari tugu tersebut, terdapat sebuah benda buatan berbentuk kubus di mana pada bagian atasnya juga mengerucut menyerupai piramid.
Benda berukuran lebar 2 meter dan tinggi 1,3 meter itu terbuat dari batu karang dan diplester dengan semen.
Kondisinya tampak tak terawat dengan lilitan tumbuhan rambat dan sebagian besar plester semennya pun telah mengelupas.

Benda buatan ini tampak berada dalam barisan lurus bersama tugu dan beton keramat.
Tepat di arah barat laut dari barisan tersebut terdapat sebuah makam bertambak kayu bercorak Melayu Islam.
Dari posisinya, makam itu tampak tak biasa karena berada di tepi bagian curam dari puncak Kalimuak.
Belum lagi puas mendapat jawaban tentang asal usul makam tersebut, perjalanan menelusuri Kalimuak kemudian dilanjutkan dengan berbalik arah ke sisi tenggara.
Di sana, pada bagian kaki bukit Patrik menunjukkan sebuah makam yang sudah dikemas secara permanen.
Makam yang juga bercorak Islam ini memiliki pendopo berlantai porselin untuk memudahkan para peziarah yang masih rutin berkunjung pada waktu tertentu.
Tak jauh dari makam tersebut, terdapat sebuah bangunan dari masa kolonial Belanda yang sudah terbungkus lilitan akar beringin.
Bangunan yang seluruhnya terbuat dari semen ini berukuran kurang lebih 3x2,5 meter dan memiliki tinggi kurang lebih empat meter.
Menurut Patrik, bangunan yang tak memiliki jendela ini sempat menjadi bagian dari instalasi untuk mengisolasi penderita kusta.
Sekitar 10 meter di belakang bangunan tua tersebut, terdapat lagi sebuah makam bercorak Melayu Islam.
Letaknya persis di sisi selatan pulau dan berdiri di atas kaki bukit dengan kemiringan sekitar 20 derajat.
Sewaktu Pos Belitung berkunjung ke pulau ini pada pertengahan Mei 2014 lalu, bentuk fisiknya masih terbuat dari tambak semen sederhana.
Namun, makam tersebut kini sudah terlihat lebih bagus dengan tambak semen berlapis porselin warna biru.
Sementara kedua nisannya dibungkus dengan kain kuning dan pada bagian ujung tambak ditulis si empunya makam, yakni Datuk Raden Saleh Pata.
“Kabarnya ada orang yang mendapat mimpi dan membayar nazarnya dengan membelikan tambak baru, biar terlihat lebih rapi,” kata Patrik.
Perjalanan di Pulau Kalimuak kemudian berlanjut ke sisi timur di mana terdapat sebuah sumur tua berbentuk persegi empat sedalam kurang lebih dua meter.
Tidak ada bagian yang menjulang di atas tanah seperti sumur pada umumnya.
Sumur berukuran kurang lebih 1x1 meter ini pun sempat dikaitkan dengan cerita tentang terowongan bawah tanah.
“Katanya sumur ini tembus sampai museum, ada semacam terowongan yang menghubungkan Pulau Kalimuak dengan museum, tapi itu cuma cerita-cerita orang dan sudah lama sekali, belum ada yang pernah mengecek kebenarannya,” kata Patrik.

Sentuhan arsitektur era kolonial bisa dibedakan dengan jelas di pulau ini.
Cirinya adalah penggunaan batu karang yang diolah sedemikian rupa hingga memiliki bidang datar menyerupai bata merah.
Penggunaan karang itu di antaranya bisa dilihat pada bekas anak tangga, sumur, talud, selokan, dan benda buatan di sebelah tugu kuno.
Penggiat Budaya Belitong Fithrorozi (43) yang juga ikut dalam perjalanan itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sedari tiba di pulau ini, ia terus bertanya sembari sibuk mengambil foto.
Untuk seorang Fithrorozi, perjalanan kali ini adalah yang pertama sepanjang hidupnya.
“Ternyata tak seperti yang diceritakan oleh orang-orang, pulau ini ternyata jauh lebih banyak menyimpan cerita dibandingkan Pulau Lengkuas,” kata Fithro kepada Pos Belitung.
Kalimuak memang tak hanya menawarkan klenik lewat berbagai benda yang dikeramatkan di dalamnya.
Pulau ini ternyata juga mampu mendorong orang untuk menggapai mimpi dengan cara yang lebih rasional.
Selepas satu jam mengitari Kalimuak, Heri langsung mengungkapkan impiannya dari pulau tersebut.
Sembari mengawasi haluan perahu dalam perjalan pulang, ia menjelaskan bayangan masa depan yang melintas ke kepalanya.
Menurutnya, Kalimuak berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata yang bisa dikunjungi secara regular.
Caranya dengan menyediakan perahu yang didesain khusus untuk melayani rute Tanjungpendam-Kalimuak.
Wacana sederhana ini masih mendapat tanggapan skeptis dari sebagian pelaku usaha perahu penyebrangan Pasar Ikan-Juru Seberang.
Padahal, wacana ini bisa menjadi solusi ketika Jembatan Juru Seberang jadi dibangun.
“Memang untuk mendorong ini kita harus beri contoh lebih dulu, karena nanti setelah ramai dan terbukti maju, pasti kawan-kawan lain akan ikut,” kata Heri kepada Pos Belitung.
Langkahnya sudah dimulai dengan mengumpulkan papan untuk membuat perahu.
Namun butuh waktu lama sampai perahu berukuran 10x2 meter itu selesai.
Pasalnya papan yang sudah dikumpulkan harus dikeringkan terlebih dulu agar nanti lebih awet ketika sudah digunakan untuk membangun perahu.
“Setidaknya bulan dua (Februari 2015) perahu saya itu sudah bisa jalan, nanti perahu itu tak hanya untuk untuk melayani rute Kalimuak saja, tapi juga bisa ke Gusong Bugis dan Gusong Penyok,” kata Heri.
Mimpi Heri ini boleh jadi akan membuka jalan bagi banyak orang untuk mengenal lebih jauh tentang keberadaan Kalimuak.
Sebuah pulau yang selama ini begitu dekat, tapi terasa amat jauh untuk dikunjungi.
Tulisan ini dibuat dari hasil observasi dan wawancara Pos Belitung, September 2014.
Meski sudah lama berlalu, tapi setidaknya bisa membantu kalian yang ingin mendapatkan gambaran mengenai pulau Kalimuak.
Situasi terkini bisa jadi telah berubah.
Agar lebih yakin, tidak ada salahnya kalian datang langsung ke sana.
Caranya sederhana, hubungi pengurus HKm Juru Seberang Bersatu di pantai Gusong Bugis.
Nanti mereka yang akan memandu kalian ke sana.
Selamat mencoba!
(posbelitung.co/Wahyu Kurniawan)