Sebutan Gunung Anak Krakatau Saat Ini Dinilai Tidak Tepat, Begini Sejarahnya

Gunung Anak Krakatau dikenal dunia sejak letusan terbesarnya pada 1883.

Editor: Dedi Qurniawan
Twitter/Sutopo_PN
Penampakan erupsi Gunung Anak Krakatau Minggu (23/12/2018) penyebab tsunami Banten dan Lampung, Sutopo sebut bukan yang terbesar. 

POSBELITUNG.CO - Jumat (10/4/2020) malam Gunung Anak Krakatau meletus dengan tinggi kolom abunya sekitar 500 meter.

Di luar itu, ahli menyebut bahwa sebutan Gunung Anak Krakatau yang sekarang dipakai orang sebenarnya tidak tepat.

Begini sejarahnya.

Gunung Anak Krakatau dikenal dunia sejak letusan terbesarnya pada 1883.

Dikutip Harian Kompas (26/12/2018), letusan itu merupakan yang terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI).

Letusan itu hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora pada 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 pada 2017.

Letusan Krakatau disebut berkekuatan 21.574 kali daya ledak bom atom meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984).

Selain melenyapkan Pulau Krakatau, letusan itu menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.

Kengeriannya dilukiskan catatan pribumi, seperti ”Syair Lampung Karam” yang ditulis Muhammad Saleh dan catatan kolonial.

Sedikitnya 36.417 orang meninggal dan hilang terseret gelombang atau tertimbun bahan letusan yang dimuntahkan gunung tersebut.

Letusan gunung api yang dahsyat itu merupakan puncak dari rangkaian ledakan yang terjadi sejak 20 Mei 1833.

Ketika itu Anak Krakatau meletus dengan memuntahkan abu gunung api dan uap air yang dilontarkan ke udara setinggi 11 kilometer dari Kawah Perbuatan.

Suara ledakannya saat itu terdengar hingga 200 kilometer.

Intensitas bertambah pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya pada Senin 27 Agustus.

Saat 27 Agustus itu batu dan abu halus dihembuskan ke angkasa.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved