Produsen Mobil Listrik Eropa Tergantung Indonesia, Jokowi Siap Tarung Tetap Tolak Ekspor Bijih Nikel

Industri baja dan mobil listrik Eropa bergantung dengan Indonesia. Menolak sawit Indonesia, Jokowi tak mau ekspor biji nikel ke Uni Eropa

Penulis: Hendra | Editor: Hendra
Instagram @jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Yakni dengan mendesak Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO) untuk membentuk panel guna membahas sengketa tersebut ( Uni Eropa gugat RI soal nikel).

Sementara Indonesia tetap berpegang pada kebijakan larangan eskpor bijih nikel.

Karena Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menegaskan bahwa, Indonesia siap menghadapi gugatan Uni Eropa.

Menurut Lutfi, Indonesia baru mendapatkan notifikasi bahwa Uni Eropa tetap akan melanjutkan proses sengketa ke WTO yang jadi wasit perdagangan antar-negara itu.

"Tentunya kami sangat kecewa bahwa sudah ada konsultasi yang begitu lama. Tetapi ini bagian dari pada interaksi kita dengan dunia internasional, kita akan layani dan jalankan tuntutan tersebut," ujar Lutfi dalam keterangannya dikutip pada Senin (18/1/2021).

Jokowi: Kita Lawan Uni Eropa

Presiden Joko Widodo benar-benar marah kepada Uni Eropa yang menggugat Indonesia.

Pasalnya Uni Eropa hanya ingin mengincar dan menguasai bijih nikel Indonesia saja, tetapi malah menolak minyak sawit Indonesia.

Imbasnya harga sawit Indonesia pun anjlok.

'Ngapain Takut, Kita Lawan, Gugat Uni Eropa' demikian pernyataan tegas dari Presiden Jokowi.

Presiden Joko Widodo pun marah atas sikap serakah Uni Eropa ini.

Sebab disatu sisi Uni Eropa menolak sawit, tetapi disatu sisi mereka mengincar nikel atau tepatnya bijih nikel milik Indonesia.

Bijih nikel Indonesia dikenal sangat berkualitas tinggi hingga menjadi incaran utama Uni Eropa.

Seperti diketahui, Diam-diam Indonesia menjadi pihak penggugat soal ekspor sawit yang kini ditekan oleh Uni Eropa soal kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE, yang berdampak kepada dilarangnya ekspor minyak sawit ke Eropa.

Mereka mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

Akibatnya reputasi minyak sawit yang selama ini menjadi salah satu andalan Indonesia menjadi berkurang.

Dampak di dalam negera adalah menurunnya harga sawit dan anjlok kualitas dan persaingan harga di mata dunia.

Tentunya yang paling terimbas adalah petani sawit, yang diketahui bahwa Indonesia adalah pemasok terbesar minyak kelapa sawit kepada dunia, bersama Thailand dan Malaysia.

Kebijakan ini memang mempengaruhi ekspor minyak sawit, yang selama aman dikonsumsi seperti minyak goreng.

Kemudian untuk energi industri dan keadaraan karena minyak sawit juga bisa diolah menjadi biofuel dan biodisel.

Gugatan Indonesia sudah dilakukan sejak 2019 lalu ke WTO, Organisasi Perdagangan Dunia.

Selain, menjadi penggugat ekspor minyak sawit, Indonesia justru digugat karena memutuskan untuk tidak mengekspor bijih nikel yang kini menjadi andalan Indonesia, hal ini disampaikan oleh Perdagangan ( Mendag) Muhammad Lutfi, Jumat (15/1/2021) kemarin. Lutfi menyatakan kekecewaan kepada Uni Eropa di WTO tersebut.

Sementara, Presiden Jokowi menganggap kebijakan ini, sejalan dengan larangan ekspor mineral mental sejalan dengan upaya hilirisasi agar industri peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri bisa berjalan.

Dampaknya Indonesia menjadi Indonesia telah mampu menjadi negara penghasil stainless steel terbesar kedua setelah China.

Namun kebijakan Indonesia ini justru digugat Uni Eropa. Hal inilah yang membuat Presiden Jokowi Marah besar.

Indonesia pun pasang genderang perang dalam tanda kutif perang dagang dengan Uni Eropa terkait dengan Bijih Nikel.

Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku tak mempermasalahkan gugatan Uni Eropa tersebut.

Menurutnya, selama ini Indonesia tak mendapatkan banyak nilai tambah karena puluhan tahun hanya mengekspor bijih mineral mentah.

"Pak, kita mau tarung, apapun kita hadapi. Kita hentikan ekspor nikel ore keluar, ini sudah digugat sama Uni Eropa, digugat di WTO," kata Jokowi di Musrenbang RPJMN di Istana Negara, pada 16 Januari 2020.

"Kalalu defisit transaksi berjalan sudah beres siapapun yang gugat kita hadapi. Tapi ini juga kita hadapi, ngapain kita takut?" ujar dia lagi.

Menurutnya, alasan larangan ekspor mineral mental sejalan dengan upaya hilirisasi agar industri peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri bisa berjalan.

Dengan nilai tambah dari mineral mentah yang diolah dalam negeri, juga bisa menambah lapangan kerja serta memperbaiki defisit neraca berjalan.

Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Barang, barang kita, nikel, nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?" lanjut dia.

Program hilirisasi tambang mineral, kata Jokowi, dilakukan bertahap.

Bahkan di masa mendatang, pemerintah juga akan melarang ekspor bijih mentah lain selain nikel.

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18 persen pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Menolak sawit

Selain jadi tergugat dalam kasus nikel, Indonesia juga berposisi sebagai penggugat di WTO dalam sengketa ekspor minyak sawit dan produk turunannya seperti biodiesel.

Pada 9 Desember 2019 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO.

Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.

Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.

Data statistik BPS menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif pada lima tahun terakhir.

Nilai ekspor FAME mencapai 882 juta dollar AS pada periode Januari–September 2019, atau menurun 5,58 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018 sebesar 934 juta dollar AS.

Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96 persen dari 3,27 miliar dollar AS pada periode Januari–September 2018 menjadi 3,04 miliar dollar AS secara tahunan (year on year).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Uni Eropa, Gigih Tolak Sawit Indonesia, Tapi Butuh Nikelnya",  dan "Kronologi Larangan Ekspor Bijih Nikel yang Berujung Gugatan Uni Eropa", 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved