Gangguan Bipolar Jadi Faktor Penyebab Bunuh Diri Terbesar

Gangguan kepribadian bisa membuat orang memiliki ide-ide bunuh diri yang lebih tinggi.

Penulis: Adelina Nurmalitasari | Editor: M Ismunadi
Posbelitung.co/Adelina Nurmalitasari
Dialog Ruang Kita Pos Belitung bersama dokter spesialis kedokteran jiwa Ngestituti Pramusita, Kamis (18/3/2021). 

POSBELITUNG.CO, BELITUNG - Bunuh diri menjadi penyebab kematian terbesar kedua di dunia. Baik pada kondisi sebelum pandemi maupun setelah pandemi, kasus bunuh diri marak terjadi.

Penyebabnya pun beragam, bisa disebabkan kondisi psikologis, maupun penerimaan pasien terhadap kondisi fisik seperti ketika menderita Covid-19.

Hal itu disampaikan dokter spesialis kedokteran jiwa RSUD Marsidi Judono Tanjungpandan dr. Ngestituti Pramusita, Sp.KJ, Kamis (18/3/2021).

Ia mengutarakan bahwa faktor risiko keinginan bunuh diri bisa karena stres organik yang mencakup fisik, misalnya menderita penyakit kronis yang berbahaya yang menyakiti diri.

Ada juga karena stres non organik atau psikologis, ini bisa membuat orang melakukan percobaan bunuh diri.

Serta memiliki gangguan kepribadian sehingga orang memiliki ide-ide bunuh diri yang lebih tinggi.

"Yang dominan stres non organik atau psikologis. Kalau dari jurnal WHO yang pernah saya baca, 70 persen pasien yang melakukan bunuh diri menderita gangguan mental bipolar. 20 persen penyalahgunaan napza atau alkohol sehingga menimbulkan depresi berkepanjangan, terakhir pasien psikosis sehingga memiliki keinginan bunuh diri," kata dia ketika berbincang dengan host dialog ruang kita Jarry Limmaz.

Lebih lanjut, kata dokter Ngestituti, sebenarnya bunuh diri tidak bisa ditilik berdasarkan usia. Karena kenyataannya hal tersebut bergantung pada kemampuan manajemen stres.

Penanganan terhadap orang yang memiliki keinginan bunuh diri dalam lingkup kedokteran jiwa, curhat disebut juga ventilasi, yakni bentuk psikologis supportif yang meringankan beban pasien. 

"Saat dokter mendengarkan keluh kesah pasien, apapun itu baik masalah pribadi dan rumah tangga dibicarakan dengan dokter, itu namanya ventilasi. Tidak hanya mendengarkan begitu saja, kalau dengan teman atau keluarga disebarkan kemana-mana, kalau bisa didengarkan dan diberikan solusi, yang memilih pasien sendiri. Memberikan opsi serta mengarahkan ke hal yang baik," jelasnya.

Menurutnya, sejauh ini dalam penanganan pasien yang memiliki keinginan bunuh diri, ada bermacam-macam karakteristik.

Ada yang tanpa harus menggali sudah keluar sendiri permasalahan bisa psikoterapi dan beri obat. Tapi kalau ada kesulitan mengkomunikasikan permasalahan misalnya pada orang yang menderita skizofrenia hingga pasien autis, tentu penanganannya berbeda.

"Penanganan kalau dulu saya dulunya ada tim psikoterapi untuk menangani pasien yang sulit diagnosis dan psikoterapi konseling, setelah bisa diajak berkomunikasi baru dikonseling. Penanganan berbeda-beda," ucapnya.

Dokter Ngestituti pun mengatakan bahwa bunuh diri termasuk kedaruratan jiwa yang memerlukan proses penyembuhan yang panjang dan lama. Observasi tergantung pasien, psikiater itu minimal lima tahun dan bisa sampai seumur hidup.

Mengobati pasien tidak hanya ngobrol dan memberikan obat, tapi juga support system, yakni dilihat dari dukung keluarga teman-teman. Semakin banyak support system, maka pasien bisa membaik lebih cepat. (Posbelitung.co/Adelina Nurmalitasari)

Caption: Dialog Ruang Kita Pos Belitung bersama dokter spesialis kedokteran jiwa Ngestituti Pramusita, Kamis (18/3/2021). Posbelitung.co/Adelina Nurmalitasari

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved