Berita Belitung Timur

Kasus Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Babel, Empat dari Lima Smelter Disebut Tak Beroperasi

CV VIP disebut-sebut sebagai satu dari lima perusahaan smelter yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di IUP PT Timah.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
Pos Belitung Hari Ini, Sein 26 Februari 2024 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Tiga sepeda motor terpakir di area parkir motor yang tidak jauh dari gerbang besi berwarna biru. Keberadaan kendaraan roda dua itu sekaligus menegaskan kondisi perusahaan yang berkantor di lokasi tersebut.

"Enggak ada, enggak ada lagi (pekerja) yang ngantor. Ini hanya motor-motor kami yang jaga," ujar pria berseragam Satpam yang berjaga di kantor tersebut, Selasa (20/2/2024).

Kantor itu adalah kantor CV Venus Inti Perkasa (VIP) yang berlokasi di Kawasan Industri Ketapang, Jalan TPI, Kelurahan Temberan, Kecamatan Bukit Intan, Pangkalpinang.

CV VIP disebut-sebut sebagai satu dari lima perusahaan smelter yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di IUP PT Timah Tbk periode 2015-2018.

Para petinggi CV VIP pun kini mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Agung RI, Jakarta. Mereka antara lain Tamron alias Aon selaku beneficial ownership, Hasan Thije alias Asin selaku Direktur Utama, Kwang Yung alias Buyung selaku Komisaris, serta Ahmad Albani selaku manajer operasional.

Petugas keamaan CV VIP mengaku tidak tahu sudah berapa lama perusahaan itu tidak beraktivitas. Menurutnya, dia baru bekerja di tempat yang diakuinya adalah smelter atau perusahaan peleburan timah.

"Enggak lagi (beroperasional, red). Kurang tahu (sejak kapan tidak beroperasional), soalnya kami baru semua, dari Koba soalnya kami ini," kata pria yang ditemani dua pria lainnya yang juga adalah Satpam.

Kondisi serupa juga ditemukan Bangkapos.com saat mendatangi tiga smelter lainnya yang kebetulan berada di kawasan yang sama. Tiga smelter itu antara lain PT Tinindo Inter Nusa (TIN), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS).

Sedangkan satu smelter lainnya, yaitu PT Refined Bangka Tin (RBT) berlokasi di kawasan industri Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka. Bangkapos.com hanya berhasil menemui petugas keamanan di PT TIN, PT SIP, dan PT SBS. Para petugas keamanan itu menjawab bahwa tidak ada pekerja kantor yang bisa ditemui dan dimintai keterangan karena kantor sedang tidak beroperasi.

Situasi yang tampak sedikit ramai terlihat di PT SBS. Terdapat banyak motor yang parkir di parkiran perusahaan tersebut. Namun petugas keamanan perusahaan menyebut motor itu milik pekerja yang tinggal di mess perusahaan. Sedangkan untuk aktivitas perusahaan disebutnya sudah tidak beroperasi beberapa bulan terakhir.

"Untuk saat ini enggak ada orangnya karena sekarang lagi WFH (Work From Home), enggak ada yang produksi," jelas satpam tersebut kepada Bangkapos.com, Selasa (20/2/2024).

Dirinya menyebut bahwa untuk saat ini pabrik tersebut sedang tidak berjalan proses produksinya.

"Udah lama (tidak produksi, red), ada lah beberapa bulan," ungkapnya.

Moratorium tambang

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung menyerukan moratorium pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal itu menyusul besarnya dugaan kerugian negara akibat pertambangan yang terjadi Babel periode 2015-2022.

Direktur Eksekutif Walhi Babel, Ahmad Subhan Hafiz mengaku pihaknya mendorong moratorium aktivitas pertambangan untuk melihat potensi kerugian negara seperti kerusakan lingkungan, penghancuran terhadap identitas atau budaya lokal dan lain sebagainya.

"Ini yang harus dihentikan. Walhi mendorong agar moratorium pertambangan segera dilakukan," kata Hafiz saat ditemui Bangkapos.com pada Kamis (22/2/2024) lalu.

Menurutnya, kerugian akibat aktivitas pertambangan periode 2015-2022 bukan sekadar sejumlah seperti yang disampaikan Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero Saharjo sebesar Rp271,06 triliun.

Jumlahnya, kata Hafiz, lebih besar lagi mengingat kerusakan lainnya, selain seperti yang telah disampaikan Prof Bambang pada Senin (19/2/2024) di Jakarta.

"Selain kawasan hutan, sebenarnya juga bisa dihitung konteks kerugian yang lain. Belum yang di APL, di laut, di pesisir atau di DAS," ucap Hafiz.

Dia menjelaskan sekali lagi, moratorium yang dimaksud adalah dengan menghentikan semua aktivitas pertambangan untuk sementara waktu Lalu dilakukan audit lingkungan dan pemulihan lanskap secara keseluruhan serta menimbang-nimbang kembali apakah masyarakat Babel harus tetap bergantung pada pertambangan atau tidak.

"Apakah memang ada potensi lain yang bisa kita maksimalkan. Karena memang kejayaan di masa lalu kita bukan tambang, tapi pertanian, dari rempah-rempah, seperti lada. Ini yang harus dikembalikan pengetahuan itu di masyarakat adat," imbuhnya.

Kerugian lingkungan

Diberitakan sebelumnya, Prof Bambang Hero Saharjo hadir dalam jumpa pers yang digelar Kejaksaan Agung RI pada Senin (19/2/2024) lalu. Guru besar IPB itu mengungkapkan total kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pada perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 mencapai Rp271,06 triliun.

Bambang mengatakan nilai kerugian Rp271,06 triliun itu merupakan penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan.

"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271.069.688.018.700," kata Bambang.

Pakar forensik kehutanan itu menjelaskan dalam penghitungan kerugian ekologi atau lingkungan itu, pihaknya melakukan verifikasi di lapangan serta pengamatan dengan citra satelit dari tahun 2015 sampai 2022.

Berdasarkan verifikasi dan pengamatan citra satelit itu mendapatkan bukti-bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana bahwa adanya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Selain itu, aktivitas tambang timah tersebut tidak hanya dilakukan di luar kawasan hutan, tetapi juga dalam kawasan hutan.

"Kami merekonstruksi dengan menggunakan satelit pada tahun 2015 yang merah-merah ini adalah wilayah IUP (izin usaha pertambangan) dan non-IUP. Kami tracking 2016, 2017, 2018, 2019, 2020 sampai 2022, dilihat warna merah makin besar, ini adalah contoh saja," ungkapnya.

Selanjutnya dari hasil verifikasi tersebut, pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

Dengan membaginya kerugian lingkungan di kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Total kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan, yakni biaya kerugian lingkungan (ekologi) Rp157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp60,27 miliar dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 miliar sehingga totalnya Rp223,36 triliun.

Sedangkan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan (APL), yakni biaya kerugian lingkungan Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,62 miliar sehingga totalnya Rp47,70 triliun.

"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang.

Sudah 13 tersangka Hingga saat ini, penanganan kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 terus bergulir.

Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 tersangka setelah memeriksa sedikitnya 135 saksi. Semula penyidik menetapkan dua tersangka. Mereka adalah Tamron alias Aon (TN/AN) selaku beneficial ownership CV Venus Inti Perkasa (CV VIP) dan PT MCN serta Achmad Albani (AA) selaku manajer operasional tambang CV VIP.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyebut, kedua tersangka tersebut merupakan tersangka dalam pidana pokok. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Kuntadi dalam jumpa pers, Selasa (6/2/2024), merinci soal peran keduanya.

Disebutkan, pada 2018, CV VIP melakukan kerja sama sewa peralatan untuk peleburan timah dengan PT Timah Tbk. Kemudian, tersangka Tamron selaku pemilik CV VIP memerintahkan
Achmad selaku manajer operasional tambang CV VIP untuk menyediakan bijih timah yang diperoleh secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.

Biji timah tersebut dikumpulkan di perusahaan yang dibentuk sebagai perusahaan boneka, yakni CV SEP, CV MJP, dan CV MB. Kegiatan perusahaan boneka ini pun dibekali surat perintah kerja dari PT Timah Tbk agar kegiatan mereka mengangkut sisa hasil mineral timah secara borongan merupakan kegiatan legal.

Sepuluh hari berselang, pada Jumat (16/2/2024), penyidik kembali menetapkan lima tersangka baru. Mereka adalah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani alias Riza selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021; Emil Ermindra alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018; dan Suwito Gunawan alias Awi selaku pengusaha tambang di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung (Babel).

Selain itu, ada Gunawan alias MBG selaku pengusaha tambang di Kota Pangkalpinang serta Hasan Tjie alias Asin/ASN selaku Dirut CV VIP. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra adalah pihak yang menandatangani perjanjian dengan tersangka Suwito Gunawan alias Awi dan Gunawan alias MBG untuk penyewaan alat peleburan timah.

Suwito lalu memerintahkan Gunawan untuk mengumpulkan bijih timah yang diperoleh secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk dengan persetujuan PT Timah Tbk. Timah tersebut lantas dijual kepada PT Timah Tbk.

Adapun untuk mengumpulkan bijih timah yang ditambang secara ilegal, tersangka MBG atas persetujuan tersangka SG alias AW membentuk perusahaan boneka, yaitu CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada (RTP).

Catatan penyidik, pada kurun waktu 2019-2022, PT Timah Tbk mengeluarkan biaya pelogaman sebanyak Rp 975,5 miliar. Sementara uang yang dikeluarkan PT Timah Tbk untuk membayar bijih timah tersebut Rp 1,7 triliun. Keuntungan atas transaksi pembelian bijih timah tersebut diduga dinikmati tersangka Gunawan dan Suwito.

Tak juga berhenti, dua hari kemudian penyidik kembali menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk. Mereka adalah Kwang Yung alias Buyung Koba (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP dan Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS).

Kuntadi mengemukakan, BY diamankan di tempat persembunyiannya oleh penyidik. Sebelumnya, dilakukan pemanggilan paksa terhadap BY karena mangkir sehingga lalu dikejar. Yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan penyidik sebanyak tiga kali tanpa alasan.

Berbeda dengan BY, tersangka RI bersikap kooperatif. Ia secara sukarela menemui penyidik di Kejagung, menyerahkan diri, dan mengakui semua perbuatannya. Dari penyidikan, diduga tersangka BY dan RI bersama dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani alias Riza telah mengakomodasi hadirnya petambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Senin (19/2/2024), penyidik kembali menetapkan seorang tersangka berinisial RL (Rosalina).

RL adalah General Manager PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN) yang berada di Kota Pangkalpinang. Tersangka RL merupakan tersangka ke-10 dalam kasus tersebut. Dalam jabatannya tersebut, tersangka RL telah menandatangani kontrak kerja sama yang dibuat bersama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani alias Riza selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021 dan Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018.

Saksi langsung tersangka Rabu (21/2/2024) lalu, tim penyidik semula memeriksa Suparta (SP) selaku Direktur Utama di PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembang Usaha di perusahaan yang sama, sebagai saksi.

Status keduanya berubah menjadi tersangka seusai diperiksa. Penyidik mengaku telah memiliki dua alat bukti yang cukup untuk keduanya. Dalam kasus Suparta dan Reza Ardiansyah, menurut penyidik keduanya sebagai direksi PT RBT menginisiasi pertemuan dengan Tersangka MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk untuk mengakomodir penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Dalam pertemuan itu, tersangka SP dan tersangka RA menentukan harga untuk disetujui Tersangka MRPT, serta siapa saja yang dapat melaksanakan pekerjaan tersebut. Kegiatan ilegal tersebut disetujui dan dibalut oleh Tersangka MRPT dan Tersangka EE dengan perjanjian seolah-olah ada kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan PT Timah Tbk.

Tersangka SP dan Tersangka RA bersama-sama dengan Tersangka MRPT dan Tersangka EE menunjuk perusahaan-perusahaan tertentu sebagai mitra untuk melaksanakan kegiatan tersebut yaitu, PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN.

Pelaksana kegiatan ilegal tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh perusahaan boneka yaitu CV BJA, CV RTP, CV BLA, CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS yang seolah-olah di-cover dengan Surat Perintah Kerja pekerjaan borongan pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah.

Catatan panjang penyidik, hingga kini ada 12 tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu, terdapat seorang lagi yang menjadi tersangka perintangan penyidikan terkait kasus tersebut berinisial TT. Penetapan TT sebagai tersangka, pada Selasa (30/1/2024) terkait dengan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ), Pasal 21 UU Tipikor.

Tim penyidik menyebut tersangka TT melakukan upaya penghalang-halangan, seperti menggembok pintu tempat yang akan digeledah penyidik.

(u2/v1)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved