POSBELITUNG.CO, BANGKA - Deru kincir menambah suara gemercik air di lokasi lahan seluas 32 hektare di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu.
Puluhan kincir terpasang di 40 kolam tambak di lokasi tersebut. Kincir ini memiliki fungsi krusial di tambak yang mampu menghasilkan 3 ribu ton udang vaname dalam satu kali musim panen.
Hasil produksi tambak udang vaname milik PT Semeru Teknik itu semakin menggiurkan ketika dikonversi menjadi rupiah.
Dengan harga rata-rata Rp70 ribu per kilogram pada musim panen sebelumnya, perusahaan itu mendulang Rp210 miliar dari 3 ribu ton udang yang dipanen.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penjualan udang vaname menempati posisi teratas jika diurutkan berdasarkan nilai rupiahnya.
Tercatat di kuartal II tahun 2025 ini, sebanyak 5.361.949 kilogram (Kg) udang Vaname terjual ke luar daerah.
Angka penjualannya mencapai Rp9.154.535.260.361 atau sekitar Rp9,1 triliun.
Sayangnya, jumlah penjualan itu tidak secara maksimal terserap menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Babel. Pasalnya, setelah dijual ke luar daerah, udang vaname dari Babel justru diekspor ke mancanegara.
Negara di Eropa dan Amerika menjadi tujuan ekspor hasil budidaya Indonesia tersebut.
Kepala Bidang Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya dan Pengolahan Hasil Perikanan DKP Babel, Arief Febrianto mengatakan hasil panen udang vaname dari tambak-tambak lokal di Babel tidak bisa langsung diekspor ke pasar internasional.
Para pelaku usaha terpaksa mengirim hasil panen ke Jakarta atau Lampung terlebih dahulu untuk diolah sesuai standar global, baru kemudian diekspor.
Menurutnya, praktik ini membuat daerah kehilangan potensi PAD nonpajak yang semestinya bisa diperoleh jika ekspor dilakukan langsung dari Babel.
“Manfaat langsung bagi Babel menjadi berkurang. Kita hanya menikmati dampak tidak langsung seperti perputaran ekonomi lokal di tingkat tambak, tapi bukan penerimaan ekspor resmi. Potensi tersebut akan terus mengalir keluar daerah. Kurang maksimal bagi PAD Babel,” kata Arief saat dihubungi Bangka Pos Group pada Rabu (13/8/2025).
Arief menambahkan, saat ini ada beberapa komoditas perikanan yang bisa langsung diekspor dari Babel.
Di antaranya adalah udang kipas, ikan tenggiri, kerapu, dan beberapa jenis ikan lainnya.
“Tapi udang vaname berbeda. Unit pengolahan ikan kita di Babel masih berada di tahap menengah, sementara pasar udang ini lebih banyak ke Eropa dan Amerika yang menuntut standar pengolahan yang lebih tinggi. Karena itu, udang vaname dikirim segar dulu ke daerah lain untuk diproses sesuai standar, lalu baru diekspor,” ujarnya.
Tidak Signifikan
Sementara itu, Kepala UPT Badan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BPPMHKP) DKP Babel, Dedy Arief Hendriyanto, menambahkan bahwa produksi udang vaname di Babel rata-rata mencapai 15.000–22.000 ton per tahun.
Dengan harga rata-rata Rp48 ribu per kilogram, nilai penjualan bisa mencapai sekitar Rp1,056 triliun.
Meski produksinya besar, tren pertumbuhan budidaya udang vaname di Babel tidak menunjukkan kenaikan signifikan dalam tahun terakhir.
Bahkan, sejumlah petambak mengeluhkan harga jual yang fluktuatif dan cenderung menekan margin keuntungan.
“Banyak pelaku tambak yang bilang harga kurang bersahabat, sehingga mereka tidak bersemangat meningkatkan produksi. Ini juga menjadi tantangan, karena ketika harga rendah, produksi cenderung turun,” kata Dedy.
Harga Tetap Rendah
Ali Muhti, pimpinan PT Semeru Teknik, mengaku rantai penjualan udang vaname turut ‘merugikan’ pihaknya. Katanya, jalur penjualan hasil panen petambak lokal yang harus transit ke Jakarta atau Sumatera, membuat nilai jual anjlok dan daerah kehilangan kesempatan menikmati keuntungan penuh dari rantai pasok internasional.
Kondisi tersebut membuat pelaku usaha sulit berkembang.
“Harga jual di tingkat petambak kini hanya sekitar Rp80 ribu per kilogram, turun dari Rp120 ribu pada masa puncak tahun 2021. Selisih Rp40 ribu per kilo itu, kalau ratusan ton, nilainya sangat besar. Modal dan risiko kami di tambak tidak sebanding dengan harga yang diterima,” ujar Ali Muhti kepada Bangka Pos Group, Rabu (13/8/2025).
Dia juga mengakui minimnya fasilitas pengolahan dan penyimpanan berpendingin di Babel membuat udang vaname tidak bisa langsung diekspor. Hingga saat ini, lanjutnya, belum ada investor yang mau membangun food processing di Babel yang bisa membuat udang vaname langsung diekspor.
“Padahal kalau ada, udang bisa langsung diproses dan diekspor dari Bangka Belitung. Selama sistem seperti ini, petambak hanya jadi penonton,” tegasnya.
Lebih jauh, Ali menduga kondisi yang terjadi saat ini akibat adanya pihak-pihak yang mengendalikan harga di pasaran.
“Saat tarif Amerika masih 32 persen, harga udang sempat turun Rp10 ribu. Tapi ketika tarif diturunkan jadi 19 persen, harga tetap saja sama. Ini membuat saya curiga ada pihak yang bermain di jalur distribusi dari Bangka ke Jakarta atau Sumatera,” ujarnya.
Baru 40 kolam
Terpisah, Dwi Handoyo S.PI, Manajer Operasional PT Semeru Teknik menyebut saat ini pihaknya baru mengoperasikan 40 dari 60 kolam di lokasi tambak yang ada di Kabupaten Bangka Selatan.
Dari kegiatan budidaya udang vaname, perusahaan biasanya bisa melakukan panen sebanyak dua kali dalam satu tahun.
“Biasanya setahun bisa dua kali panen. Setelah panen, kolam harus dikeringkan, dibersihkan, diolah airnya, baru tebar benih lagi. Proses persiapan ini memakan waktu sekitar satu bulan,” kata Dwi saat ditemui di kantornya, Kamis (14/8/2025).
Dwi menyebut bibit udang PT Semeru Teknik berasal dari dua lokasi, Bali dan Lampung. Sedangkan hasil panen merekajual ke PT Global Marine.
Menurut Dwi, udang yang dipanen akan disortir berdasarkan ukuran, seperti Size 30 (30 ekor per kilogram) hingga Size 40 semua sortir sampai pengemasan dilakukan oleh PT Global Marine.
Udang yang tidak masuk spesifikasi ekspor dijual ke pasar lokal Babel.
“Udang yang sesuai spesifikasi kami jual ke mitra di Pangkal Balam. Dari sana mereka kirim ke Jakarta, baru dipasarkan atau diekspor. Kami hanya sebatas membudidayakan dan menjual ke mereka. Untuk harga terakhir, bulan lalu kisaran Rp70–80 ribu per kilo,” kata Dwi.
“Kalau dihitung dengan harga rata-rata Rp70 ribu per kilogram, nilainya sekitar Rp210 miliar,” jelasnya.
Langsung dari Pangkalbalam Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah menggelar kegiatan Akselerasi Ekspor sebagai langkah konkret mendorong peningkatan daya saing produk unggulan daerah di pasar global.
Hal itu ditandai pelepasan ekspor komoditas lada dan ikan segar dari Pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang pada Jumat (8/8/2025) lalu. Hadir dalam kesempatan tersebut Kepala Badan Karantina Indonesia Sahat M. Panggabean, Gubernur Babel Hidayat Arsani, Kepala Badan Karantina Babel Hasim, unsur forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda), dan undangan lainnya.
Adapun lada yang diekspor sebanyak 51 ton senilai Rp8,1 miliar dengan negara tujuan Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, ikan segar yang diekspor mencapai 89,5 ton senilai Rp3,2 miliar dengan negara tujuan Malaysia dan Australia.
“Esensinya kedatangan hari ini adalah produk-produk ekspor sertifikatnya itu berasal dari daerah yang tercatat secara nasional dari daerah asal, kemudian negara mitra itu tahu visibility-nya ikan yang dikonsumsi itu dari Provinsi Bangka Belitung, dan data itu diminta oleh negara-negara mitra kita,” kata Sahat kepada awak media usai pelepasan ekspor lada dan ikan segar.
Ia juga menyebutkan, seluruh proses ekspor kini telah terintegrasi secara digital antara Karantina, Bea Cukai, KSOP, dan pemerintah daerah.
Hal ini menjadikan pengiriman barang lebih efisien dan terpercaya.
“Dari hulu ke hilir prosesnya sudah jelas dan itulah nilainya yang tinggi. Kolaborasi ini merupakan model yang baik dan ini upaya kita untuk melakukan akselerasi ekspor untuk mengangkat produk unggulan di daerah, baik perikanan, pertanian, dan apa pun itu,” ujar Sahat.
Sementara itu, Gubernur Babel, Hidayat Arsani memberikan apresiasi tinggi atas dukungan dari Badan Karantina Indonesia. Menurut Hidayat, kegiatan Akselerasi Ekspor sebagai tonggak penting dalam mendorong ekspor yang terstruktur dan sesuai prosedur internasional.
“Terima kasih atas pendampingan dari Balai Karantina RI. Dulu, kita kirim barang tidak tahu prosesnya. Sekarang, semua komoditas ekspor telah terdaftar dan teregister secara resmi, lengkap dengan prosedur Karantina dan Bea Cukai. Ini langkah maju agar ekspor kita tidak lagi bermasalah di negara tujuan,” tuturnya.
Punya Potensi Besar
Badan Mutu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Bangka Belitung menilai Babel punya potensi besar untuk menjadi daerah pengekspor udang vaname.
Bukan hanya dari sisi produksi udang Vaname, tapi juga kesiapan BMKKP sebagai garda terdepan dalam menjamin kualitas udang vaname dalam kegiatan ekspor.
Kepala BMKKP Babel, Dedy Arief Hendriyanto mengatakan produksi udang vaname di Babel rata-rata mencapai 15.000–22.000 ton per tahun. Jumlah ini setara dengan 1 persen dari total target produksi udang nasional yang berada di kisaran 2 juta ton per tahun.
Meski kontribusi produksi cukup besar, Babel belum bisa melakukan ekspor langsung udang vaname ke luar negeri, termasuk ke Amerika Serikat yang merupakan pasar terbesar udang.
Pengiriman harus melalui Jakarta atau Lampung terlebih dahulu, sehingga harga yang diterima tetap mengacu pada harga domestik, bukan harga ekspor.
“Sekarang Babel untuk udang vaname kita kirim ke Jakarta atau Lampung dulu baru diekspor, harga yang berlaku tetap harga domestik. Misalnya udang ukuran 60 di Jawa harganya Rp68.000 per kilogram, ketika jual dari Babel jauh lebih rendah karena biaya logistik,” kata Dedy saat ditemui Bangka Pos Group di kantornya, Senin (12/8/2025).
Dedy menjelaskan sebetulnya ekspor langsung sangat memungkinkan jika fasilitas penyimpanan dan pembekuan di Babel sudah memenuhi standar internasional, terutama standar pasar Amerika yang merupakan pasar terbesar Indonesia untuk udang vaname.
“Babel belum memiliki fasilitas pembekuan (cold storage) udang bisa disimpan beku hingga setahun dan dikirim langsung sesuai jadwal pasar, logistik kita juga belum terpenuhi. Sebenarnya bisa saja udang dikemas dan dibekukan di sini, sehingga PAD Babel bertambah. Tambak udang banyak, tetapi proses hilirisasi belum ada, sarana kurang memadai, dan belum ada investor yang mau berinvestasi
di sini,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, Babel sudah mampu melakukan ekspor langsung untuk komoditas lain, seperti cumi-cumi ke Malaysia dan Singapura, serta ikan dan udang kipas ke Australia.
“Untuk komoditas itu semua pengemasan dan pembuatan dokumen ekspor dilakukan di Babel, sehingga pendapatan daerah meningkat signifikan,” tegasnya.
“Kalau udang tambak seperti vaname bisa diekspor dengan pola yang sama, kontribusinya terhadap PAD Babel pasti besar,” tambahnya.
Peluang pasar internasional untuk udang Indonesia disebut Dedy sangat terbuka. India, yang menjadi eksportir udang terbesar dunia, kini dikenai tarif perdagangan 50 persen oleh Amerika Serikat, sedangkan Indonesia hanya 19 persen.
“Ini peluang besar bagi udang vaname kita tentu pembeli lebih memilih Indonesia yang memiliki tarif lebih murah sebelum tarif ini berubah tentu harus dimanfaatkan sebaik mungkin,” ujarnya.
Namun, pasar Amerika mensyaratkan standar mutu yang ketat, termasuk pemeriksaan Food and Drug Administration (FDA) yang melarang kandungan antibiotik tertentu.
“Kalau tidak ada jaminan mutu, bisa langsung ditolak. Badan Mutu KKP adalah competent authority yang berwenang menjamin hal itu,” tegasnya.
Dedy juga menjelaskan bahwa udang yang dikirim ke Amerika umumnya tanpa kepala karena kepala dianggap limbah di sana. Padahal, jika diolah di Babel, kepala udang bisa dijual untuk pasar lokal atau industri lain, menambah nilai ekonomi. (x1)