Pantai Doreng Sikka, Mutiara tak Terjamah

Matahari persis lurus di atas kepala. Burung pantai beterbangan di dahan bakau yang tengah mengering.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Pantai Doreng dengan pasir putih yang belum mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Sikka, Nusa Tenggara Timur. 

Batu yang dibangun dengan ketinggian sekitar 5 meter persis di bibir pantai itu patah tahun 1992 saat terjadi gempa dan tsunami di Sikka. Warga kemudian mengganti dengan kayu ulin, tapi berbentuk salib yang sama.

Perjalanan menuju Pantai Doreng menyusuri pesisir Watu Cruss ke arah timur. Jalan sepanjang 10 kilometer menuju Doreng masih berlubang, berkelok, dan banyak tikungan tajam dan membahayakan. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas di sepanjang jalan itu.

Ketika memasuki Bukit Nen Bura, tampak hamparan pasir putih sepanjang empat kilometer, dengan lebar ke arah daratan sekitar 70 meter. Di bagian pesisir pantai itu terlihat rimbunan pohon kelapa memanjang, mengikuti pantai pasir putih tersebut.

Tidak ada perahu nelayan yang sandar seperti di kebanyakan pantai lainnya. Warga sekitar tidak tahu melaut, kecuali berladang dan mengolah hasil perkebunan seperti kelapa.

Bernadus Kardiman (44), tokoh masyarakat Desa Nen Bura, Kecamatan Doreng, mengatakan, nama pantai itu sebenarnya Nen Bura, tetapi masyarakat Sikka pada umumnya lebih suka menyebut Pantai Doreng. Pantai terdapat di Desa Nen Bura. Kata nen bura berasal dari bahasa Sikka artinya pasir putih.

Tak diperhatikan

Kardiman menyebutkan, Pantai Doreng masuk dalam agenda pariwisata pemda, tetapi tidak pernah mendapat perhatian sama sekali. Jalan menuju pantai ini pun masih sangat buruk sehingga turis-turis yang berkunjung ke pantai mengeluhkan soal jalan.

Masyarakat sudah menyampaikan masalah jalan dan pembangunan pantai wisata ini, tetapi belum ditanggapi pemerintah kabupaten.

”Pantai ini ibarat gadis cantik yang belum dijamah,” kata Kardiman, sambil tersenyum.

Ia mengatakan, pada akhir tahun 2004, seorang turis berkebangsaan Inggris, yakni Steven Park, telah mengontrak tanah di pantai itu seluas satu hektar selama 20 tahun untuk membangun penginapan dan pusat hiburan.

Namun ketika terjadi Bom Bali II (2005), tempat hiburan dan karaoke milik Steven di Bali pun hancur berantakan. Steven pun menghentikan kegiatan di Pantai Doreng dan memilih pulang ke negaranya.

Turis-turis asing sering mengunjungi Pantai Doreng, tetapi jumlahnya hanya sangat sedikit, hanya sekitar lima orang per bulan. Para turis itu mempersoalkan buruknya akses dari Maumere menuju Doreng.

Mereka juga mempersoalkan tidak tersedianya fasilitas pendukung di pantai, seperti air bersih, rumah penginapan, serta fasilitas mandi cuci dan kakus (MCK).

Beruntung bagi mereka, karena ada yang mampu menarik perhatian, yakni kegiatan menenun kaum perempuan Desa Nen Bura di sekitar pantai itu.

Simon Susar, warga Desa Nen Bura, mengatakan, anak-anak sekolah sering bermain di pantai itu pada hari libur. Gelombang laut tidak membahayakan bagi pelayaran, tetapi warga tidak memiliki tradisi menangkap ikan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved