Lipsus Pantai Bilik

Bupati Belitung Pernah Resmikan Restoran di Pinggir Pantai Bilik yang tak Ber-IMB

Sebuah rumah makan permanen berdiri di pesisir Pantai Bilik, Desa Tanjong Tinggi, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Pos Belitung/Dede Suhendar
Lemadang Seafood and Grill di pesisir pantai bilik Desa Tanjong TInggi Kecamatan Sijuk 

POSBELITUNG.COM, BELITUNG - Sebuah rumah makan permanen berdiri di pesisir Pantai Bilik, Desa Tanjong Tinggi, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Restoran yang sempat diresmikan Bupati Belitung Sahani Saleh (Sanem) itu diduga tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

"Itu memang tidak ada IMB. Saya tidak pernah memberikan rekomendasi sampai sekarang. Itu masuk wilayah RTH (ruang terbuka hijau), makanya saya masih berpatokan ke RTH itu," kata Kepala Desa Tanjong Tinggi Susandi kepada posbelitung.com, Sabtu (12/3/2016) lalu.

"Kami sudah memberikan teguran kepada rumah makan itu, dan kami sudah layangkan surat tertulis kepada ke pemerintah daerah yang ditujukan ke pak Bupati. Cuma sampai sekarang belum ada tindaklanjut," katanya lagi.

BACA: PT Ranati Portal Akses Masuk Pantai Bilik, Pengunjung Harus Jalan Kaki 100 Meter

Camat Sijuk Abdul Hadi mengatakan, restoran yang sudah berdiri, memang masih termasuk dalam kawasan RTH, tetapi di luar titik nol. Alasan pembangunan tersebut, terkait pelayanan kepada wisatawan yang datang berkunjung, terutama tamu event tertentu.

"Memang rekomendasi izin mendirikan bangunan (IMB) belum ada. Kemarin sudah sempat mau diurus, cuma karena pihak desa masih ada persoalan dengan perusahaan, makanya rekomendasi belum ada," katanya.

Terpisah, Staf PT Ranati, Amsyar Amie mengaku, Rumah Makan Lemadang itu merupakan bagian dari PT Ranati. Itu telah diresmikan pada 16 Januari 2016 lalu dan hingga kini terus beroperasi.

"Itu IMB-nya memang tidak ada. Kami sudah beberapa kali minta izin ke desa, cuma sampai sekarang belum dapat, pihak desa tidak memberikan rekomendasi," kata Amsyar.

Lantaran terlebih dahulu bangunan itu telah berdiri, tanpa ada perizinan. Amsyar menjelaskan, rencana semula sembari mendirikan bangunan, perizinan tetap diurus oleh pihaknya.

"Rencananya seperti itu, tapi ternyata tidak. Jadi bangunan sudah selesai, izin belum keluar. Tapi sampai sekarang kami berusaha membuat izin itu," ujarnya.

Minta dekat pantai

Pedagang kaki lima di area Pantai Bilik, Desa Tanjong Tinggi, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung tak putus agar bisa berdagang di sekitar pantai.

Meskipun beberapa kali ditertibkan satpol PP, mereka masih nekat berjualan di tanah yang dikuasai perusahaan.

Berbagai alasan dilontarkan mereka demi pembenaran sebagai warga pribumi. Bahkan mereka sempat mengancam akan mengadakan demo demi menuntut keadilan.

"Kalau seperti ini kan kami seperti maling di tempat sendiri. Seharusnya pemerintah bisa adil, kalau kami tidak boleh kok restoran boleh," ujar Uzaini perwakilan dari 35 pedagang kaki lima di area pantai, Sabtu (12/3) lalu.

Pria yang akrab disapa Bang Us ini mengakui kecemburuan pedagang semakin besar ketika pihak perusahaan mengubah pintu masuk pantai menjadi satu. Bahkan wisatawan harus memakirkan kendaraan di samping area restoran.

Akibatnya para wisatawan yang datang harus berjalan sekitar 100 meter ke pinggir pantai sambil menenteng perlengkapan, seperti tikar dan kotak bekal.

Bang Us menambahkan, sebenarnya para pedagang siap ditertibkan. Mereka hanya meminta solusi sebuah lokasi khusus mereka berjualan tak jauh dari area pantai.

"Intinya kami bukan mau mengambil hak tanah ataupun wilayah, walaupun kami adalah penduduk sini (Tanjungtinggi). Tapi kami ingin lokasinya (berjualan) tidak jauh dari area pantai," katanya.

Sekarang ini, para pedagang masih bertebaran di sekitar area pantai. Mereka menggunakan mobil pikap sebagai lapak, sedangkan barang yang dijual meliputi, makanan, minuman ringan, kelapa muda dan pernak pernik cinderamata, seperti batu akik, hingga hiasan kerang.

Bang Us menyatakan, beberapa waktu lalu sempat terjadi insiden perlawanan dari para pedagang ketika ingin ditertibkan. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, dikarenakan tidak bisa berjualan bebas seperti dulu.

"Apapun aturan dari pemerintah sebenarnya kami tidak akan melawan. Tapi tolong pemerintah juga pikirkan nasib kami," ujarnya.

Lahan kurang

Camat Sijuk Abdul Hadi mengatakan, persoalan antara pedagang dan pihak perusahaan bukanlah cerita baru. Hal ini dikarenakan tidak ada kejelasan pembangunan oleh pihak perusahaan.

Menurutnya penertiban pertama kali dilakukan menyasar warung makan yang terdapat di area pantai, tetapi relokasi itu belum maksimal.

"Idealnya kalau relokasi itu harus ada persiapan lahan, tapi untuk 23 warung, lahan yang diberikan itu tidak cukup. Kalau masalah jauh dekat itu relatif, tergantung cara mengemasnya agar mereka bisa dikunjungi wisatawan," ucapnya.

Kemudian, lanjutnya, seiring waktu, pihak perusahaan tidak tanggap dengan kondisi yang terjadi di lahan relokasi tersebut. Akibatnya pedagang yang tidak puas mencari lokasi lain, mulai menyewa tempat sampai kembali lagi ke area pantai.

Di samping itu, pihak perusahaan juga tidak komitmen, karena tujuan penertiban semula akan melakukan pembangunan, namun hingga saat itu tak kunjung dilaksanakan.

"Peluang inilah yang membuat para pedagang kembali lagi. Seharusnya setelah penertiban langsung dilakukan upaya pembangunan yang benar benar nyata," katanya.

Bikin MoU

Lebih lanjut Hadi meminta pihak perusahaan sebaiknya mempercepat rencana pembangunan di atas lahan sudah dimiliki. Ketika sudah ada keseriusan dari perusahaan, setidaknya bisa membuka peluang lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.

"Kalau masih sama seperti 20 tahun lalu, masyarakat pasti akan tetap menuntut. Karena berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat sekitar," ujarnya.

Selain itu, penertiban yang dilakukan berulang kali tanpa solusi yang tepat tidak akan memberikan efek positif. Dikarenakan, pembangunan yang menjadi tujuan penertiban tidak dilakukan oleh perusahaan.

Peluang tersebut, kata Hadi, menjadi celah bagi sebagian masyarakat pedagang kembali berjualan di area pantai. Seharusnya setelah penertiban, segera dilakukan upaya pembangunan yang benar benar nyata.

"Akan lebih jika ada MoU (memorandum of understanding) antara pihak perusahaan dengan pedagang. Jadi nasib mereka jelas, kapan harus berjualan lagi dan dimana lokasinya," katanya.

Ia berharap pihak perusahaan juga memikirkan nasib para pedagang tersebut, seiiring pembangunan yang akan dilakukan. Dalam artian, terjadi ikatan kerjasama dengan masyarakat untuk pekerjaan yang tidak perlu dilakukan perusahaan, seperti pengelolaan tempat parkir.

Kemudian, di sisi lain, pemda harus memperjelas aturan kepemilikan lahan. Dalam artian terdapat tenggang waktu bagi investor terhadap pelaksanaan pembangunan.

Jika dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, pihak perusahaan tak kunjung membangun, maka lahan tersebut bisa diambil kembali oleh pemda.

Sehingga tidak terdapat kesan penguasaan lahan.

Terpisah, Staf PT Ranati Amsyar Amie menyatakan, pedagang yang melakukan perlawanan, akan tetap ditertibkan. Pihaknya sudah memanggil pedagang lalu menyediakan lahan di lokasi bukit itu, tetapi yang mau hanya 10 pedagang. (n3/n1)

lokasi rth publik
Tanjungpendam: 10 hektare
Pantai Bilik (Tanjungtinggi): 20 hektare
Tanjungbinga: 5 hektare
Tanjungkelayang: 2 hektare
Sumber : Bappeda Belitung. (N3)


Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved