Sumpah Pemuda
Kisah W.R. Supratman Wartawan yang Memperdengarkan Indonesia Raya di Kongres Pemuda II
Gara-gara lagu yang digubahnya, penjajah membenci dan menahannya. Namun berkat biolanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Ketika akan dinaikkan statusnya menjadi guru penuh, dengan syarat dipindah ke Singkang di pedalaman dekat Danau Tempe, ia mengundurkan diri sebagai guru.
Selain karena letaknya terpencil, daerah itu juga masih ada perusuh yang menyerang pos-pos polisi.
Dengan bekal ilmu menggesek biola yang diperoleh dari kakak iparnya, tahun 1920 ia menjadi anggota Black – White Jazz Band. Kelompok musik pimpinan van Eldik ini sering tampil di rumah petinggi Belanda, juga di gedung Balai Kota.
Dari main band, ia memperoleh honor cukup besar dibandingkan dengan gajinya sebagai guru.
Tahun 1923 W.R. Supratman menjadi juru tulis di kantor dagang Firma Nedem. Lalu pindah kerja di kantor pengacara dengan gaji cukup besar. Tapi musik tetap ditekuninya.
Pintar main musik dan juga berduit, ia menjadi idola noni-noni. Di usia awal 20-an, "Meneer Supratman" - demikian mereka menyebutnya - sering ganti teman kencan.
Setiap malam Minggu selesai nge-band, ia pergi berdansa dengan mereka. Tapi tak satu pun gadis betul-betul memikat hatinya.
Berita politik di surat kabar dan ceramah politik H.J.F.M. Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), menggugah minatnya menghadiri rapat, ceramah, dan diskusi berbau politik yang diselenggarakan putra-putri Indonesia. Meski hanya pendengar, keterlibatannya merisaukan keluarga van Eldik.
Politieke Inlichtingen Dienst (PID), jawatan polisi rahasia Belanda, selalu mengamati gerak-geriknya. W.R. Supratman merasa gerah dan tak lagi hadir dalam setiap kegiatan politik.
Juli 1924, ia tiba di Surabaya. Tinggal bersama keluarga Kusnandar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah, kakak kandungnya nomor dua. Akhir tahun 1924, ia menuju ke Cimahi, Jawa Barat.
Kegiatan politik terus diikuti lewat surat kabar Bandung, Kaoem Moeda. Ia pun tergelitik untuk melamar sebagai wartawan, dan diterima sebagai wartawan pembantu.
Untuk tambahan pemasukan, ia merangkap sebagai violis kelompok jazz band yang tampil tetap di Gedung Societeit Bandung. Honornya dua kali lipat gaji sebulan sebagai wartawan.
Tahun 1925 ia pindah ke Surat Kabar Kaoem Kita, juga terbit di Bandung, sebagai pemimpin redaksi. Namun gajinya belum juga memenuhi keperluan hidupnya. Ia lantas merangkap menjadi pembantu kantor berita PAIT (Pers Agehtschap India Timur). Celakanya, PAIT tidak sanggup membayar semestinya, bahkan dua bulan gajinya belum dibayar.

W.R Supratman
Melego pakaian, sepatu, dan arloji
Setelah ±4 bulan di Kaoem Kita, W.R. Supratman mengadu nasib ke Jakarta. Bersama Parada Harahap, ia mendirikan Biro Pers Alpena (Algemene Pers en Nieuws Agent'schap). Belum genap setahun, Alpena senin-kamis kekurangan modal. Ia pun terpaksa melego pakaian, sepatu, dan arlojinya untuk bisa menyambung hidup di Jakarta. Hanya tinggal satu setel jas-celana putih, pakaian kerja dekil, sepasang sepatu, sarung, peci, kacamata, sebuah tas kulit, dan koper pakaian.


 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											