Begini Kondisi Menonton Film di Bioskop Tempo Doeloe, Heboh Rebutan Kertas Iklan Hingga Kacang Arab

Lebih-lebih setiap kali diputar film baru. Penggantian film biasanya terjadi 3-4 malam sekali dan diumumkan kepada khalayak ramai dengan...

Istimewa
Bioskop Capitol di Jakarta tempo dulu. 

Sebuah orgel listrik yang berbentuk seperti lemari di sudut depan bangsal di bawah layar, mengalunkan lagu-lagu Barat berirama walz, tango, mars dan Iain-lain.

Musik itu berusaha membantu penonton mengisi waktu luang sambil menantikan pertunjukan mulai. Para penonton malah asyik dengan kesibukan masing-masing.

Musik orgel tenggelam dalam kebisingan yang memenuhi ruangan, lengkap dengan teriakah para penjaja makanan yang juga merembes masuk ke dalam bangsal.

Panah-panah kertas beterbangan

Sekitar 7-8 menit menjelang jam 7.30 terdengar sebuah bel berbunyi nyaring. Tanda bahwa pertunjukan segera akan dimulai.

Para pemain 'orkes mini' yang sebelumnya main di luar gedung, beriringan masuk ke bangsal dan mengambil tempat duduk di kursi-kursi deretan depan yang tersedia bagi mereka.

Tugas mereka sekarang berubah: di luar untuk menarik perhatian khalayak, di dalam sebagai pengiring adegan film yang sebentar lagi akan terbentang di layar putih.

Namun sebelum itu, mereka menghibur penonton dengan beberapa lagu.

Beberapa menit sebelum jam 7.30 bel berdering lagi. Bunyi bel ketiga kali langsung disusul pemadaman lampu-lampu di dalam bangsal.

Serentak di atas layar tampak gambar Ratu Wilhelmina yang kontan disambut lagu Wilhelmus oleh orkes mini tadi.

Tetapi suara musik itu terbenam dalam sorak-sorai para penonton diselingi siulan melengking. Itulah ungkapan rasa gembira bahwa pertunjukan yang ditunggu sejak jam 7.00 atau malah sebelumnya, akhirnya dimulai juga.

Panah-panahan kertas yang tadi telah disiapkan, melayang-layang dan menukik di sana-sini, jatuh ke pangkuan orang. Malah ada yang mendarat di ubun-ubun sementara penonton!

Begitulah suasana di kelas II dan kelas III bioskop-bioskop di benedenstad tiap menjelang pertunjukan dimulai, khususnya pertunjukan pertama jam 7.30.

Keadaan di kelas I ke atas tampaknya lebih tertib. Penonton di situ pada umumnya dari lapisan masyarakat lebih atas.

Keadaan di bioskop-bioskop di bovenstad lebih tertib lagi. Misalnya Globe Bioscoop, di mana saya pernah diajak menonton semasa masih remaja.

Publiknya pun lain: lebih 'keren' tampaknya. Di antaranya terdapat banyak orang-orang Belanda yang mungkin pegawai-pegawai tinggi atau para pemimpin perusahaan, terutama di kelas I ke atas.

Sebelum pertunjukan dimulai, penonton menanti dengan tenang dan tertib. Mereka menikmati musik yang dibawakan orkes mini dari panggung di depan layar.

Orkes itu memainkan lagu-lagu Barat berdasarkan naskah musik dengan not-not balok. Setiap anggota orkes memang dapat membaca not balok.

Penampilan gambar Ratu Wilhelmina di atas layar yang diiringi lagu Wilhelmus disambut para penonton  dengan berdiri, tentu saja dipelopori oleh para penonton Belanda tadi.

Diselingi 'gambar mati’

Film-film yang diputar di bioskop-bioskop itu tentu saja bisu, hitam-putih dan ukuran layar kecil. (Film bersuara dan berwarna baru masuk ke sini rnenjelang tahun 1930. Film-film layar lebar baru pada tahun enam puluhan)

Sesuai dengan selera  masyarakat di bagian-bagian kota bersangkutan, di benedenstad kebanyakan diputar film-film action: terutama film-film Western (cowboy).

Selera masyarakat di bovenstad lebih condong kepada film-film drama.

Di daerah 'kota' film-film Western sangat digemari. Lebih-lebih kalau dibintangi aktor-aktor kesayangan penonton, yang bukan saja tampan tetapi juga pandai main jotosan.

Misalnya Eddie Polo, Harry Cary, Hoot Gibson dan sebagainya. Saya masih ingat nama-nama ini karena saya tergolong salah satu penggemar mereka di waktu masih remaja.

Harry Cary terkadang masih muncul dalam film-film TV pada tahun 70-an.

Pertunjukan berlangsung satu jam lebih tanpa istirahat seperti kebiasaan sekarang. Istirahat (kerennya: pauze) memang tidak perlu.

Pada masa itu bioskop-bioskop belum menggunakan proyektor ganda (masing-masing berkapasitas 4 reel). Proyektor yang dipergunakan berkapasitas 1 reel, lagipula hanya sebuah.

Jika satu reel sudah terputar habis, terpaksa berhenti dulu untuk  memasang reel baru pada proyektor.

Waktu menunggu bagi penonton diisi dengan penampilan slide-slide reklame atau film-film yang akan datang. Waktu itu istilah populernya 'gambar mati'.

Maka kalau dalam satu kali pertunjukan diputar 6 reel film, terjadilah lima kali selingan 'gambar mati', tiap kali selama beberapa menit.

Kalau beberapa menit itu dikali lima, maka kita akan mendapatkan jumlah waktu yang kira-kira sama dengan jangka waktu istirahat dalam pertunjukan-pertunjukan film sekarang.

Diiringi orkes

Bagi para penggemar film zaman pesawat ruang angkasa sekarang ini, nonton film bisu tempo doeloe niscaya akan merasa canggung.

Paling tidak, mereka akan merasa kehilangan suara-suara dan bunyi-bunyi yang biasa terdengar dari film-film bersuara zaman sekarang.

Namanya film bisu, maka segalanya serba bisu, sunyi sepi. Adegan sebuah jalan yang sangat ramai, misalnya, atau adegan seseorang marah-marah, menendangi meja-kursi atau menggebrak pintu, demikian juga adegan-adegan orang berbicara serba membisu.

Untuk adegan percakapan, dialog diganti dengan teks.

Teks-teks ini bukan di bawah gambar, seperti terjemahan dialog film sekarang, tetapi 'memotong-motong' adegan bersangkutan, sehingga mengganggu urut-urutan adegan.

Bagi para penonton bioskop tempo doeloe, hal itu bukan hambatan. Lebih-lebih karena kehadiran orkes mini tadi, yang lagu-lagunya berfungsi sebagai musik pengiring setiap adegan.

Sama dengan ilustrasi musik film-film bersuara zaman sekarang, lagu-lagu yang dialunkan orkes mini itu disesuaikan dengan corak adegan yang sedang berlangsung di layar.

Adegan-adegan serius diiringi lagu-lagu tenang, misalnya walz atau irama lambat. Adegan-adegan mengharukan atau sedih dikuatkan dengan lagu-lagu sedih pula.

Dalam bioskop-bioskop di 'kota' biasanya lagu Stambul II. Lagu-lagu mars yang berirama cepat menyambut serta mengiringi adegan-adegan yang hebat dan seru; seperti kejaran:kejaran di atas kuda, perkelahian dan sebagainya.

Bang Amat, pemain biola yang cekatan

Pemimpin orkes serta pemain melodi (biasanya pemain biola) harus cekatan sekali.

Mereka harus bisa beralih dari irama yang satu ke irama yang lain bertepatan dengan perkembangan adegan-adegan di layar putih.

Terlambat beberapa detik saja niscaya akan memancing teriakan-teriakan kurang senang dari penonton.

Orkes pengiring bioskop Orion di Glodok pada zaman itu dipimpin oleh pemain biola Amat.

Di antara para penonton langganan Orion pada masa itu, juga di kalangan remaja penggemar bioskop, ia cukup populer.

Usianya sudah 40 tahun lebih, mungkin mendekati 50 tahun, dan berkacamata. Dia sangat cekatan dalam mengalihkan irama musiknya bolak-balik.

Secara berkelakar teman-teman saya mengatakan bahwa bang Amat seorang pemain biola yang tiada taranya.

"Juara biola mana," demikian tanya mereka, "yang dapat menggesek biola tanpa menjepit di antara dagu dan pundak, melainkan cukup ditopangkan di dada kiri?"

Bang Amat memang sering memperlihatkan sikap menggesek biola yang aneh ini. Sementara mata terus mengikuti perkembangan adegan-adegan di layar, jari-jari tangan kiri terus-menerus menari-nari di atas dawai dan tangan kanan menggerakkan alat penggesek seperti orang menggergaji.

Setiap saat dia  siap untuk langsung beralih dari irama yang satu ke irama yang lain. Benar-benar suatu prestasi yang patut diketengahkan.

Kendati demikian, kadang kala bang Amat pun diteriaki penonton karena terlambat mengganti irama.

Apalagi jika pertunjukan kedua, yang dimulai jam 9.00 malam, sudah semakin mendekati akhirnya.

Maklum, mungkin ia sudah agak ngantuk! 

 (Ditulis oleh Tanu Trh. Seperti dimuat dalam Buku Batavia; Kisah Jakarta Tempo Doeloe – Intisari)

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved