Istri Bung Karno Blak-blakan Soal Dugaan Kematian Tak Wajar Sang Suami
Sejauh mana kebenaran cerita Dewi Soekarno itu? "Kemungkinan Bapak meninggal tak wajar memang ada
Kartu pos dari wina
Pembatasan-pembatasan itulah yang menurut Guruh makin memperburuk kondisi ayahnya. "Siapa, sih, orangnya yang enggak sedih diperlakukan seperti itu? Otomatis Bapak merasa sangat tertekan. Enggak heran kalau kondisi kesehatannya makin hari makin parah," keluhnya.
Tim dokter yang menangani Bung Karno saat itu pun, menurut Guruh, belum berupaya maksimal. "Waktu itu memang peralatan medis di sini sangat terbatas. Bahkan mesin pencuci darah saja Indonesia belum ada. Sementara sakit ginjal Bapak semakin parah. Nah, kenapa saat itu enggak diupayakan supaya Bapak bisa berobat ke luar negeri, misalnya?" tanya Guruh.
Diakui Guruh, ayahnya juga menempuh usaha penyembuhan secara tradisional. "Kebetulan Bapak dapat bantuan obat-obat tradisional Cina dari Mao Tse Tung (pemimpin RRC saat itu - Red.). Dan saya rasa itu wajar-wajar saja, karena berbagai upaya harus ditempuh demi kesembuhan Bapak," ungkapnya.
Meski demikian, bukan berarti Bung Karno menampik pelayanan tim dokter kepresidenan. Dikatakan Guruh, "Selain menjalani perawatan secara tradisional, Bapak tetap minum obat-obat yang diberikan tim dokter, kok. Setiap saya menjenguk, sehabis makan siang Bapak selalu minum vitamin dan obat-obat dari dokter."
Guruh juga tak sependapat jika ada pendapat yang mengatakan Bung Karno menolak dioperasi. "Sebab, waktu itu Bapak sempat menjalani operasi ginjal ke Wina, Austria. Malah Bapak sempat mengirimkan postcard buat saya dan kakak-kakak. 'Saya baik-baik saja di Wina,' begitu Bapak menulis di kartu itu," kenangnya sambil menerawang.
Masih berseragam sekolah
Ada satu kenangan berkesan yang dialami Guruh pada hari ulang tahun ayahnya, 6 Juni 1970. Ketika itu, cerita Guruh, "Kondisi Bapak sudah sangat lemah. Beliau hanya bisa berbaring di tempat tidur. Entah kenapa, saya terpikir ingin sekali membuat foto kenang-kenangan saat Bapak ulang tahun itu."
Guruh dan kakaknya, Rachmawati, saat itu berhasil mendapat izin menjenguk ayahnya. Diam-diam, Guruh juga mengantungi kamera kecil di sakunya.
"Begitu penjaganya enggak ada, saya langsung minta Mbak Rachma duduk di samping Bapak. Cepat-cepat saya potret mereka. Kalau enggak salah cuma sempat dua kali jepretan. Habis, saya takut kalau penjaganya balik dan memergoki saya," tuturnya sembari memeragakan cara menyelipkan kamera ke sakunya.
Begitulah, foto itu dengan selamat bisa dicetak. Setelah jadi, "Ada seorang teman Mbak Rachma meminjamnya. Rupanya, oleh teman Mbak Rachma itu, foto tadi disebarluaskan ke luar negeri lewat Kantor Berita United Press."
Guruh tak menduga, gara-gara tersebarluasnya foto itu, ia dapat masalah. Suatu hari, sepulang dari sekolah, "Saya diberi tahu Ibu (Bu Fatmawati - Red.), sebentar lagi akan ada polisi militer menjemput saya. Mereka mau menginterogasi perihal foto Bapak dengan Mbak Rachma."
Benar saja, tak lama kemudian Guruh dijemput. Masih dengan mengenakan seragam sekolah, "Saya dibawa ke Markas Polisi Militer di Jalan Guntur, Jakarta. Sebelum saya berangkat, Ibu berpesan agar saya tenang-tenang saja "
Kepada Guruh, para petugas menanyakan, apa alasannya memotret Bung Karno. Guruh yang tetap tenang seperti anjuran ibunya menjawab, "Itu, kan, hak saya. Wong saya ini anaknya."
Tak cuma Guruh yang dijemput, tapi juga Rachmawati. "Hanya saja, Mbak Rachma dipanggil pada waktu yang berlainan."