540 Ribu Postingan saat Ketik Imlek, Begini Sejarah hingga Mitos Raksasa Pemakan Manusia
Ketik #imlek di Instagram Muncul 540 Ribu Postingan,Ini Sejarah hingga Mitos Raksasa Pemakan Manusia
POSBELITUNG.CO -- Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa.
Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama pada penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).
Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Tahun ini Imlek jatuh pada 5 Februari 2019 atau tahun anjing.
Berbagai persiapan menjelang Imlek pun sudah dilakukan orang Tionghoa.
Tak terkecuali media sosial.
Berbagai pernak-pernik Imlek sudah berseliweran di internet.
Bangkapos.com mencoba menelusurinya di instagram.
Saat di kolom pencarian diketik hastag imlek ternyata sudah 540,172 postingan.
Banyak dari postingan itu berisi asesoris mulai dari pakaian seperti baju, celana, sepatu, tas dan lainnya termasuk berbagai jenis penganan khas Imlek dan amplop angpao.
Tradisi Angpao
Bangkapos.com melansir travelkompas.com menyebutkan tradisi membagikan angpao bisa jadi hal yang paling ditunggu oleh anak-anak saat perayaan Imlek.
Tradisi memberi uang di Tahun Baru China memang telah lama dilakukan dan bahkan menyebar ke tradisi perayaan lain.
"Cerita mengenai angpao banyak yang paling umum adalah bungkusan merah guna mengusir setan," kata Ketua Program Studi China Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Hermina Sutami saat dihubungi oleh KompasTravel.
Angpao sendiri memiliki arti bungkusan merah. Pada buku 5000 Tahun Ensiklopedia Tionghoa 1 karya Christine dan kawan-kawan, terbitan St Dominic Publishing tahun 2015 disebutkan bahwa warna merah di China juga identik dengan api.
Melambangkan kemeriahan dan kehangatan. Maka tak heran warna merah mendominasi ornamen Imlek.
Selain arti dari warna merah, angpao juga memiliki makna filosofi transfer kesejahteraan atau energi.
"Transfer kesejahteraan dari orang mampu ke tidak mampu, dari orangtua ke anak-anak, dari anak-anak yang sudah menikah ke orangtua," ujar Budayawan Budi Santosa Tanuwibawa.
Tradisi Tionghoa juga mengenal pemberian ang pao yang diberikan tujuh hari menjelang Imlek. Budi menyebut hal ini sebagai Hari Persaudaraan.
"Ini mewajibkan orang yang merayakan Tahun Baru Imlek untuk membantu sesama yang tak mampu merayakannya," kata Budi.
Menariknya dalam tradisi memberi angpao ada peraturan tidak tertulis.
Sebelum menerima angpao, anak-anak mengucapkan selamat tahun baru dengan membungkus kepalan tangan kanan dengan tangan kiri.
Sebab tangan kanan berkesan agresif.
Pemberi angpao biasanya adalah orang yang telah menikah. Jadi selain anak-anak, orang yang belum menikah masih berhak mendapatkan angpao.
Bukan hanya berbagi rezeki tetapi juga doa agar cepat mendapat jodoh. Jika orang yang belum menikah ingin memberikan uang, dapat memberi uang tanpa dibungkus amplop merah tersebut.
Tidak ada aturan untuk besaran jumlah uang di angpao. Semua disesuaikan dengan kemampuan yang memberi. Tradisi memberi angpao ini juga ada di momen perayaan lain, seperti Lebaran.
"Budaya Betawi mengadopsi kebiasaan keturunan Tionghoa ini untuk memberikan angpao kepada anak-anak kecil. Amplopnya sudah tidak berwarna merah lagi, tetapi hijau," kata Hermina.
Sejarah
Dilansir dari Wikipedia Indonesia, sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan satu semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China.
Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalender Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian).
Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.
Tujuannya agar perayaan tahun baru bisa sesuai dengan masyarakat Tiongkok yang pada umumnya adalah masyarakat agraris. Pada masa dinasti Zhou, perayaan tahun baru dilaksanakan pada saat winter solistice atau dongzhi.
Pada masa dinasti Qing, Kang Youwei ( 1858-1927 ) , seorang reformis Ruism menyarankan agar menggunakan Kongzi era yang dihitung dari tahun kelahiran Kongzi.
Sedangkan Liu Shipei (1884-1919 ) menolak hal itu dan mengusulkan agar tahun kalender Tionghoa dihitung dari tahun kelahiran Huangdi.
Yang menjadi suatu masalah adalah kapan Huangdi dilahirkan untuk dijadikan patokan perhitungan Huangdi Era.
Liu Shipei memperkirakan tahun 2711 BCE adalah tahun kelahiran Huangdi, jadi tahun 2008 CE adalah tahun 4719 H.E.
Song Jiaoren ( 1882-1913 ) memperkirakan tahun 2697 BCE adalah tahun kelahiran Huangdi, dan akhirnya banyak orang yang sepakat untuk menerima tahun 2697BCE sebagai awal Huangdi Era.
Dari angka inilah sekarang tahun baru Imlek ini bisa disebut tahun baru Imlek 4708 H.E. Selain masyarakat luas, umat Taoisme juga menyebutkan bahwa Huangdi Era adalah tahun yang digunakan oleh umat Taoisme dan mereka menyebutnya Daoli atau kalender Tao.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa di luar negeri dan umat Taoisme lebih suka menggunakan Huangdi Era karena Huangdi atau kaisar kuning ini dalam sejarah Tiongkok dianggap sebagai bapak bangsa etnis Han atau orang Tionghoa secara umumnya.
Dan para Taois menggunakan Huangdi Era, karena dalam kepercayaan Taoisme kaisar Kuning ini adalah pembuka ajaran agama Tao. Alasan inilah yang membuat timbulnya Huangdi Era dan Dao Era, di mana Huangdi Era dan Dao Era sama saja hanya penyebutan Dao Era atau Daoli digunakan oleh para Taois.
Ritual
Tahun baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari.
Satu hari sebelum atau pada saat hari raya Imlek, bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur seperti yang dilakukan pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur).
Oleh sebab itu, satu hari sebelumnya atau pada saat Hari Raya Imlek para anggota keluarga akan datang ke rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang, atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang.
Sebagai bentuk penghormatan dan sebagai tanda balas-budi maka pada saat acara sembahyang dilakukan pula persembahan jamuan makan untuk arwah para leluhur.
Makna dari adanya jamuan makan untuk arwah leluhur adalah agar kegembiraan dan kebahagian saat menyambut hari raya Imlek yang dilakukan di alam manusia oleh keturunannya juga dapat turut serta dinikmati oleh para leluhur di alam lain.
Selain jamuan makan juga dilakukan persembahan bakaran Jinzhi (Hanzi=金紙;sederhana=金纸;hanyu pinyin=jīnzhǐ;Hokkien= kimcoa;harafiah=kertas emas) yang umumnya dikenal sebagai uang arwah (uang orang mati) serta berbagai kesenian kertas (紙紮) zhǐzhā (pakaian, rumah-rumahan, mobil-mobilan, perlengkapan sehari-hari, dan pembantu).
Makna persembahan bakaran Jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh keturunannya adalah agar arwah para leluhur tidak menderita kekurangan serta sebagai bekal untuk mencukupi kebutuhannya di alam lain.
Praktik jamuan makan dan persembahan bakaran Jinzhi dan zhǐzhā yang dilakukan oleh keturunannya untuk arwah para leluhur di alam lain merupakan bentuk perwujudan tanda bakti dan balas-budi atas apa yang telah dilakukan oleh orang-tuanya saat masih hidup kepada anak-anaknya di alam manusia.
Pada malam tanggal 8 menjelang tanggal 9 pada saat Cu Si (jam 23:00-01:00) Umat melakukan sembahyang lagi.
Sembahyang ini disebut Sembahyang “King Thi Kong” (Sembahyang Tuhan Yang Maha Esa) dan dilakukan di depan pintu rumah menghadap langit lepas dengan menggunakan altar yang terbuat dari meja tinggi berikut sesaji, berupa Sam-Poo (teh, bunga, air jernih), Tee-Liau (teh dan manisan 3 macam), Mi Swa, Ngo Koo (lima macam buah), sepasang Tebu, dan tidak lupa beberapa peralatan seperti Hio-Lo (tempat dupa), Swan-Loo (tempat dupa ratus/bubuk), Bun-Loo (tempat menyempurnakan surat doa) dan Lilin Besar.
Pada hari Cap Go Meh, tanggal 15 Imlek saat bulan purnama, Umat melakukan sembahyang penutupan tahun baru pada saat antara Shien Si (jam 15:00-17:00) dan Cu Si (jam 23:00-01:00). Upacara sembahyang dengan menggunakan Thiam hio atau upacara besar ini disebut Sembahyang Gwan Siau (Yuanxiaojie).
Sembahyang kepada Tuhan adalah wajib dilakukan, tidak saja pada hari-hari besar, namun setiap hari pagi dan malam, tanggal 1 dan 15 Imlek dan hari-hari lainnya.
Mitos
Menurut legenda, dahulu kala, Nián (年) adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa.
Untuk melindungi diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen.
Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah.
Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengusiran Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun Baru.
Guò nián (Hanzi tradisional: 過年; bahasa Tionghoa: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir Nian".[2][3]
Dalam buku Jingchu sui shi ji 荊楚歲時記, catatan kebisaan tahun baru Jingchu yang dibuat di zaman dinasti selatan ( 420-589 BE ) dan ditulis oleh Zong Lin ( 501-565 BE ). Buku itu yang menulis mitos tentang nian .
Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊Hongjun Laozu, dewa Taoisme dalam kisah Fengsheng Yanyi. Dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu. (bangkapos.com/Edy Yusmanto/kompastravel/Wikipedia)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/belitung/foto/bank/originals/imlek.jpg)