Berita Belitung
Penulisan Cerita Rakyat pada Modul Mulok SD Bikin Resah Orang Tua, Begini Respon Budayawan Belitung
Penulisan Cerita Rakyat Asal Usul Pulau Belitung pada modul mata pelajaran muatan lokal (Mulok) membuat orang tua resah. Lantaran menilai gaya penulis
Penulis: Adelina Nurmalitasari |
POSBELITUNG.CO, BELITUNG - Penulisan Cerita Rakyat Asal Usul Pulau Belitung pada modul mata pelajaran muatan lokal (Mulok) membuat orang tua resah. Lantaran menilai gaya penulisan tidak sesuai diterima oleh anak sekolah dasar.
Artikel tersebut menceritakan kisah seorang putri yang sedang buang air kecil, lalu organ vital dijilati anjing peliharaan. Termasuk manusia dan hewan ini menjalin hubungan yang membuat sang putri mengandung.
Budayawan Belitung Fithrorozi, Kamis (19/8/2021) mengatakan koreksi penulisan legenda yang masuk dalam kurikulum pendidikan penting dilakukan. Sama pentingnya dengan memperhalus bahasa yang sesuai dengan sasaran pembaca yakni peserta didik.
Ia mengatakan, melunakkan bahasa menjadi bagian dari budaya dan transfer ilmu. Dalam kepenulisan, penulis harus memiliki perbendaharaan kata dan mampu menghaluskan bahasa dengan menggunakan peribahasa.
"Dalam hal ini, penulis harus pandai memanfaatkan wawasan untuk menggunakan kosa kata, peribahasa, dan pemilihan kata yang baik. Maka setiap lomba sastra, pemilihan kata selalu menjadi penting, karena kalau salah menuliskan bisa berakibat fatal," ucapnya.
Ditambah, pendidikan akan merangsang proses berpikir. Proses berpikir, dimulai dari pengenalan. Salah memberikan pengenalan akan membuat salah pemahaman. Padahal pemahaman ini akan menjadi pengetahuan.
Maka dari itu, penting menyelamatkan cara pengenalan untuk pembelajaran di kurikulum sekolah agar tidak dipahami dan menjadi pengetahuan yang salah bagi peserta didik.
"Ditahap pengenalan, memperkenalkan cerita rakyat harus dengan pemilihan kata dan peribahasa yang disesuaikan dengan sasaran pembaca," lanjut dia.
Selanjutnya, perlu dikaji lebih dalam apa yang melatarbelakangi intervensi budaya luar daerah yakni ada kisah Pulau Bali dan Negeri Parahiyangan (Sunda) karena anjing peliharaan yang sama-sama bernama Tumang, menjadi penting untuk dikaji lebih dalam.
"Tapi itu tahapan setelah pengetahuan disintesa. Untuk tahapan itu boleh dikaji oleh orang yang ahli," sambung Fithro.
Kemudian, pembelajaran muatan lokal perlu melibatkan unsur kebudayaan. Jangan hanya dilihat dari sudut pandang tekstual yakni kosa kata dan peribahasa, tapi juga kontekstual yakni budi bahasa.
Jika tekstual terlanjur tersebar, maka penutur, dalam hal ini guru muatan lokal maupun orang tua harus memberikan penguatan.
Benang merahnya, bisa dilihat bahwa binatang itu adalah makhluk, manusia juga makhluk. Cerita ini untuk menguatkan bahwa makhluk hidup adalah janin kehidupan yang merupakan pertalian antara tanaman yang dimakan di putri berarti alam, dengan sari pati binatang, dengan apa yang ada dari sari pati manusia. Itulah zat membangun manusia.
"Artinya, kelamaan kita bertemu, sari pati hewani berarti protein hewani itu bisa diceritakan seperti itu. Tidak ditonjolkan tekstual laku seperti cerita, tapi menonjolkan imajinasi. Jangan sampai anak tergiring bahwa ada manusia yang terlahir dari binatang walau dialektika semacam itu sudah lama ada," ucapnya
Kelanjutan cerita itu, ada unsur yang masuk dari binatang yang tidak baik, yakni liar, sifat yang bisa terbawa hingga dewasa. Cerita asal usul Pulau Belitung harus diceritakan utuh dan terangkai. Dari daratan yang didiami putri hanyut, kemudian anak yang dilahirkan menjadi kisah raja berekor.
"Pesan cerita ini, kalau pemimpin didasari nilai yang liar dan tidak teratur maka akan merugikan banyak orang. Satu rangkaian ini harus diceritakan utuh, tidak hanya menceritakan bahwa ada pulau ini, tapi kontekstual berupa pesan tersirat dari cerita ini sampai kepada pembaca," katanya.(Posbelitung.co/Adelina Nurmalitasari)