Kemanapun Pergi Presiden AS Bawa Tas Tombol Nuklir, Khawatir Salah Pencet, Seisi Dunia Hancur Lebur
Tas berisi instruksi, rencana serangan, dan kode untuk memulai serangan nuklir yang hanya dapat digunakan oleh presiden dan selalu dibawanya pergi
POSBELITUNG.CO -- Amerika Serikat salah satu negara yang memiliki senjata nuklir.
Untuk mengaktifkan senjata nuklir yang dimilikinya tak sembarangan.
Hanya orang nomor satu di Amerika Serikat yakni presiden saja yang bisa mengaktifkan senjata nuklir tersebut.
Peristiwa mengkhawatirkan senjata nuklir diaktifkan sempat terjadi di Amerika Serikat.
Saat itu Donald Trump kalah dalam pilpres AS 2020 melawan saingannya Joe Biden.
Baca juga: WHO Saja Sampai Bingung, Negara Ini Malah Bebas Covid-19, Negara Lain Babak Belur Dihajar Corona
Tak lama setelah Trump kalah, sempat gencar isu tentang pengaktifan tombol nuklir oleh Presiden Amerika Serikat.
Saat itu, Ketua DPR Nancy Pelosi sampai menghubungi jenderal tinggi Pentagon, Mark Milley, untuk memastikan Trump yang sedang kalut tidak menggunakan tombol nuklir.
Konstitusi AS menyebut bahwa presiden adalah satu-satunya orang yang memiliki wewenang utama untuk memerintahkan serangan nuklir.
Tombol nuklirnya sendiri berupa kode rahasia.
Tidak ada satu orang pun selain presiden yang bisa ikut campur.
Kongres, para pemimpin Pentagon, barisan jenderal, apalagi warga sipil, tidak bisa mengintervensi keputusan presiden untuk mengaktifkan tombol nuklir.
Baca juga: Amerika Serikat Bakal Cetak Sejarah, Jadi Negara Lemah, Tak Sanggup Bayar Utang Rp405 Ribu Triliun
Ke mana pun presiden AS bepergian, dia ditemani oleh seorang ajudan yang membawa Football Nuclear atau "koper nuklir", seperti diwartakan AFP pada 8 Januari 2021.
Tas itu berisi instruksi, rencana serangan, dan kode untuk memulai serangan nuklir yang hanya dapat digunakan oleh presiden.
Mengingat kebutuhan untuk mempertimbangkan tindakan, peralatan apa yang akan digunakan, dan target mana yang dipilih, keputusan seperti itu biasanya dilakukan dengan berkonsultasi dulu dengan kepala pertahanan.
Namun, begitu presiden memutuskan - entah setelah banyak pertimbangan atau dalam keadaan marah - baik militer maupun Kongres tidak dapat menolak perintah ini, kata laporan pada Desember 2020 tentang komando dan kontrol nuklir dari Congressional Research Service.