Berita Pangkalpinang

Pemkot Pangkalpinang Ajukan Sepuluh Raperda Baru, Begini Kata Wali Kota

Sepuluh rancangan peraturan daerah (Raperda) kembali diajukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pangkalpinang ke legislatif setempat pada Tahun 2022 ini.

Penulis: Cepi Marlianto |
Bangkapos.com/Dok
Wali Kota Pangkalpinang, Maulan Aklil 

POSBELITUNG.CO , BANGKA – Sepuluh rancangan peraturan daerah (Raperda) kembali diajukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pangkalpinang ke legislatif setempat pada Tahun 2022 ini.

Sedikitnya ada 10 Raperda yang diajukan eksekutif yang dimulai Program Pembentukan Perda atau Propemperda, yang merupakan tahap awal dari lima tahap pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan dan tahap pengundangan.

Wali Kota Pangkalpinang, Maulan Aklil mengatakan, terdapat beberapa dasar hukum di dalam penyampaian Program Pembentukan Perda ini didasarkan pada Pasal 239 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Kemudian Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri-Red) Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,” kata dia kepada Bangkapos.com usai Rapat Paripurna di DPRD setempat, Senin (11/7/2022).

Molen sapaan akrab Maulan Aklil memaparkan, sepuluh Propemperda pada tahun 2023 itu terdiri dari Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2022.

Lalu, Raperda tentang Perubahan APBD tahun Anggaran 2023. Raperda tentang APBD tahun Anggaran 2024. Raperda tentang Perubahan atas Perda Kota Pangkalpinang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Raperda tentang Perubahan Kedua atas Perda Kota Pangkalpinang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Pangkalpinang.

Raperda tentang Pencabutan Perda Nomor 5 Tahun 1976 tentang Penjualan Rumah-Rumah Negeri Milik Pemerintah Daerah Madya Daerah Tingkat lI Pangkalpinang.

Raperda tentang Pencabutan Perda Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pajak Atas Izin Penjualan Minuman Keras. Raperda tentang Pencabutan Perda Nomor 3 Tahun 1989 tentang Retribusi Masuk Tapak Kawasan Wisata Pasirpadi Pangkalpinang.

“Terakhir Raperda tentang Pencabutan Perda Nomor 16 Tahun 1989 tentang Pemberian Uang Perangsang Pemungutan Pendapatan Asli Daerah (PAD-Red) Kota Madya Daerah Tingkat lI Pangkalpinang,” jelasnya.

Di samping itu sambung dia, terdapat Raperda inisiatif yang diajukan oleh DPRD nantinya akan digabungkan bersamaan dengan Raperda yang diajukan oleh pihaknya. Dimana hal itu telah tertuang di dalam keputusan DPRD Kota Pangkalpinang tentang Penetapan Program Pembentukan Perda Tahun 2023.

Dari kesepuluh Raperda yang diajukan untuk ditetapkan ke dalam Propemperda Tahun 2023 yang diajukan itu, pada prinsipnya pemerintah kota akan segera mempersiapkan atau menyusun penjelasan atau keterangan dan naskah akademik.

Hal itu sebagaimana amanat dari Undang-Undang Dasar otonomi daerah yang dinilai merupakan momentum yang tepat untuk menciptakan hukum yang lebih sesuai dengan konteks lokal.

Otonomi daerah mengamanatkan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

“Pelaksanaan otonomi daerah berdampak besar pada pola penyelenggaraan pemerintah di daerah,” sebutnya.

Oleh karena itu Molen berharap, dengan pemenuhan serangkaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk asas materi muatan yang tepat diharapkan dapat menjadikan peraturan daerah yang implementasi dan memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat di daerah.

“Sehingga dapat menguatkan sinergi DPRD dan seluruh organisasi perangkat daerah yang ada. Ini supaya terwujudnya Perda taat asas, norma dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” kata Molen.

Molen menyatakan, pengajuan sepuluh Raperda tersebut sesuai dengan konsep negara hukum. Pada prinsipnya pengajuan Raperda telah sesuai dengan nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Landasan Yuridis didasarkan pada pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu. Landasan sosiologis mencerminkan kenyataan penerimaan hukum dalam masyarakat.

“Dan landasan filosofis menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat dari kaidah hukum itu, dan apa yang menjadi cita hukum,” ungkapnya.

Diakui dia, secara konseptual memang sulit untuk menyatukan ketiga nilai tersebut, karena ketiga nilai tersebut merupakan nilai yang saling tegak lurus dan tidak dapat dikesampingkan oleh yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya nilai keadilan dan nilai kepastian hukum.

Jika nilai keadilan diutamakan maka akan mengesampingkan nilai kepastian hukum begitu juga sebaliknya. Selaras dengan hal tersebut, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan batasan terhadap pembentukan Raperda yang akan dibentuk, adapun larangan tersebut bersifat normatif limitatif.

“Di mana setiap Raperda yang dibentuk dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan,” kata Molen.

Lebih lanjut kata dia, asas .ateri muatan merupakan nal yang sangat penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan daerah, asas materi muatan yang tepat juga sangat bermanfaat sebagai parameter dalam menuangkan isi peraturan daerah.

Kekeliruan pemahaman terhadap materi muatan dapat mengakibatkan tumpang tindihnya antara materi muatan peraturan daerah dengan ketaatan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Terhadap kewenangan mengatur yang dimiliki, maka pemerintah daerah dapat mengelola semua potensi daerah termasuk membuat dan membentuk produk hukum sesuai dengan masalah yang dihadapi.

“Keunikan dan kebutuhan daerah melalui mekanisme pembuatan produk hukum daerah dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan daerah sebagai salah satu landasan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” jelasnya.

Walaupun begitu ucap Molen, produk hukum daerah merupakan sebuah instrumen regulasi yang harus terintegrasi dengan sistem otonomi daerah.

Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem otonomi daerah itu sendiri yang bersendikan kemandirian dan bukan merupakan suatu bentuk kebebasan suatu satuan pemerintahan yang merdeka penuh.

“Bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri namun tetap dalam koridor,” katanya. (Posbelitung.co/Cepi Marlianto)

 

 

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved