Viral Nasional

Meski Sudah Ditugaskan Urus Papua, Desakan Makzulkan Gibran Tidak Surut

Menurutnya sistem hukum Indonesia menjadikan etika dan moral sebagai pondasi utama, bukan sekadar kepastian normatif.

Editor: Teddy Malaka
Ist
DISKUSI - Sejumlah pakar hukum tata negara, aktivis demokrasi, hingga kalangan mahasiswa menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara etis dan moral. 

POSBELITUNG.CO, JAKARTA – Gelombang desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memakzulkan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka semakin meluas. Sejumlah pakar hukum tata negara, aktivis demokrasi, hingga kalangan mahasiswa menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 cacat secara etis dan moral. Putusan tersebut menjadi pintu masuk pencalonan Gibran dan kini dianggap tidak sah oleh sebagian kalangan.

Dalam acara diskusi di GMNI Jakarta Selatan, Selasa (15/7), mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan menegaskan bahwa pembacaan konstitusi harus dilakukan dengan pendekatan moral dan berlandaskan Pancasila.

Menurutnya sistem hukum Indonesia menjadikan etika dan moral sebagai pondasi utama, bukan sekadar kepastian normatif.

“Jika terdapat konflik kepentingan, maka putusan MK harusnya tidak sah. Norma hukum tidak bisa dipisahkan dari etik dan moral,” tegasnya.

Ia menilai pelanggaran etik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi tidak bisa dianggap selesai hanya karena proses pemilu telah rampung.

Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas juga menyoroti proses janggal dalam pengambilan Putusan MK No 90. 

“Seharusnya perkara itu tidak bisa didaftarkan ulang. Tapi ternyata pada hari Sabtu itu, Anwar Usman justru masuk kerja,” ujarnya. 

Ia menyatakan, jika Gibran ingin membersihkan namanya dari prasangka publik, maka seharusnya ia didorong untuk dimakzulkan.

“Ini bukan hanya soal politik, ini soal nama baik dan tanggung jawab konstitusional,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, pengamat Politik Ray Rangkuti menyoroti sikap DPR yang terbelah terkait pembacaan tuntutan terhadap Gibran. 

Ia mengidentifikasi dua kelompok: satu mendesak pembacaan segera dan satu lagi cenderung menunda.

Ray menyebut Golkar sebagai pihak yang berada dalam kelompok pertama, terutama karena desakan dari kalangan purnawirawan.

Sementara itu, suara perlawanan dari kalangan mahasiswa juga mulai menguat.

Ketua GMNI Jakarta Selatan Dendy Se mengatakan perjuangan melawan dinasti politik dan pelanggaran konstitusi merupakan bagian dari upaya untuk mengadili mantan presiden Jokowi pemakzulan Gibran.

“Mahasiswa tidak bisa diam. Ini adalah momentum untuk mengoreksi kejahatan kekuasaan,” tandasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved