Pos Belitung Hari Ini

LIPSUS - Status Kota Layak Anak Bisa Terancam, Sosiolog UBB Sarankan Dinas Terkait Proaktif

Munculnya kasus penculikan, pelecehan, atau kekerasan anak dinilai bisa mengancam status KLA yang disandang sebuah kota.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
POS BELITUNG HARI INI - Pos Belitung Hari Ini edisi Kamis, 4 September 2025, memuat headline berjudul LIPSUS - Status Kota Layak Anak Bisa Terancam. 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Status Kota Layak Anak (KLA) atau Kota Ramah Anak bukan sekadar label. Karenanya, permasalahan anak sepatutnya menjadi perhatian.

Munculnya kasus penculikan, pelecehan, atau kekerasan anak dinilai bisa mengancam status KLA yang disandang sebuah kota.

Demikian disampaikan Sosiolog Universitas Bangka Belitung, Fitri Ramdhani Harahap saat ditemui Bangka Pos Group di Kampus UBB, Balunijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (1/9/2025).

“Yang menjamin kota ramah anak itu bukan sekadar label adalah peran nyata dari dinas terkait. Tidak bisa ada alasan menunggu laporan. Kalau ada isu atau cerita, dinas harus menjemput bola, memastikan masalahnya clear. Kalau diabaikan, bisa terjadi lagi kepada anak lain, baik di daerah itu maupun di daerah sekitarnya,” ujar Fitri.

Fitri juga menegaskan orang tua adalah pihak terdekat yang memiliki tanggung jawab utama dalam melindungi anak.

Ia mengingatkan bahwa kesadaran ini harus dibangun sejak dini.

“Orang tua harus membangun komunikasi yang baik, kasih tahu anak apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jangan biarkan anak berjalan sendiri tanpa pengawasan. Bahkan di sekolah, kita tidak tahu apakah anak benar-benar belajar atau justru bolos, dan yang lebih serius, ada juga kasus pelanggaran dan kekerasan yang dilakukan guru. Karena itu, meskipun anak sudah berangkat ke sekolah, orang
tua tetap harus waspada,” terangnya.

Selain keluarga, faktor lingkungan juga memegang peran penting. Fitri menyarankan agar masyarakat menjaga lingkungan agar tetap kondusif, aman, dan terawasi.

“Mulai dari tetangga yang saling sapa, tokoh masyarakat yang menasihati orang tua, hingga RT yang mengawasi warganya. Semua harus saling peduli. Jangan hanya karena bukan anak kita, lalu kita diam saja. Kalau ada anak nakal dibiarkan, lama-lama anak kita yang bermain dengan mereka juga ikut-ikutan berperilaku buruk,” ungkapnya.

Fitri juga menekankan pentingnya literasi bagi orang tua di era digital.

“Orang tua jangan hanya sibuk scroll TikTok untuk hiburan, tapi juga gunakan untuk belajar cara mendidik anak dan menjaga lingkungan tetap aman. Dengan begitu, literasi digital bisa bermanfaat untuk membangun keluarga dan lingkungan yang kondusif,” tambahnya.

Usia SMP lebih rentan

Menurut Fitri, anak-anak usia SMP ke bawah lebih rentan menjadi korban penculikan, pelecehan, hingga perundungan (bullying). Hal itu karena cara berpikir mereka masih belum matang dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

“Anak-anak usia SMP ke bawah biasanya lebih mudah dibujuk dengan tawaran atau iming-iming. Mereka belum bisa berpikir panjang seperti anak SMA. Jadi, kerentanan itu harus diantisipasi sejak dini oleh orang tua dan lingkungan,” katanya.

Dalam kacamata sosiologi, motif pelaku tindak kekerasan anak sering kali berakar dari penyimpangan perilaku. Fitri menjelaskan, banyak pelaku justru dulunya merupakan korban.

“Sering kali pelaku pernah mengalami trauma masa kecil, misalnya melihat kekerasan rumah tangga, diabaikan orang tua, atau tumbuh di lingkungan negatif. Pola asuh yang salah juga berpengaruh besar. Kalau trauma itu tidak dilampiaskan atau ditangani, bisa semakin parah dan akhirnya mendorong pelaku melakukan hal-hal buruk kepada anak-anak lain,” paparnya.

Sebagai penutup, Fitri mengajak seluruh masyarakat untuk tidak abai terhadap anak-anak di sekitar mereka.

“Secara sosial, semua harus saling menjaga. Jangan diam kalau ada anak nakal atau anak yang berperilaku menyimpang. Kalau kita biarkan, anak-anak lain juga akan ikut-ikutan. Maka orang tua harus mendekatkan diri kepada anak, menasihati, dan mengawasi dengan penuh kasih sayang,” tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, dua anak di Kota Pangkalpinang diduga hampir menjadi korban penculikan atau tindak pidana lainnya pada Kamis (28/8/2025) lalu. Bocah laki-laki, berumur 7 tahun dan 10 tahun, mengamini ajak seorang pemuda di kawasan kolong Jembatan 12. 

Pemuda misterius itu mengiming-imingi para bocah itu hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dan Rp200 ribu. Dua bocah tersebut sempat mengiringi sang pemuda, berjalan kaki sejauh kurang 4,5 kilometer.

Beruntung informasi kehilangan yang beredar di media sosial menghentikan aktivitas tersebut. Sang bocah ditahan warga di kawasan Selindung, Kota Pangkalpinang.

Meski marah terhadap sang pemuda, orang tua dua bocah itu tidak melapor ke polisi atau pihak terkait. Mereka lebih banyak bersyukur setelah kepulangan sang buah hati.

Tidak menutup mata

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Pangkalpinang, Agustu Afendi menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa menutup mata terhadap kejadian tersebut. 

Menurutnya, kasus anak hilang ini sekaligus menambah daftar panjang persoalan perlindungan anak di Pangkalpinang yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah besar.

“Kalau ada kasus hilangnya anak, tentu kami pastikan akan berkoordinasi dengan pihak berwenang. Kalau memang terjadi kekerasan atau trauma, tugas kami adalah melakukan pendampingan, baik secara psikologis maupun hukum. Itu memang kewajiban kami,” kata Agustu saat ditemui Bangka Pos Group di kantornya, Rabu (3/9/2025).

Dia juga tidak menampik jika kasus anak bakal berdampak pada penurunan status KLA yang disandang sebuah kota. Tahun ini, Agustu menyebut Kota Pangkalpinang mengalami penurunan status KLA dari sebelumnya Madya menjadi Pratama. Penurunan ini menjadi perhatian serius pihaknya.

“Ini harus jadi evaluasi besar. Kalau mau naik lagi, tidak bisa hanya pemerintah yang bergerak. Dunia usaha, pihak swasta, masyarakat, komunitas, semua harus terlibat. Kota Layak Anak itu memang harus dibangun bersama,” tegasnya.

Ia menjelaskan, penilaian KLA kini lebih menitikberatkan pada data dan laporan daerah, bukan lagi kunjungan lapangan sepenuhnya. Oleh karena itu, dokumentasi capaian indikator harus lebih rapi, akurat, dan sesuai kenyataan di lapangan.

“Kalau datanya tidak lengkap, ya otomatis hasil penilaian juga turun. Itu yang sedang kita perbaiki,” tambahnya.

Penurunan status, kata Agustu, juga terjadi di daerah lain. 

“Bangka Selatan juga turun. Bahkan secara nasional, banyak kota yang mengalami hal serupa. Jadi ini bukan hanya Pangkalpinang, tapi tren dari hasil evaluasi terbaru,” ungkapnya. 

Kekerasan seksual dan perundungan paling banyak

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Pangkalpinang mencatat tren kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Pangkalpinang masih cukup tinggi.

Pada tahun 2024, setidaknya ada 114 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, naik dari 89 kasus pada 2023. Sementara hingga pertengahan 2025, sudah ada sekitar 70 kasus yang dilaporkan.

“Kalau untuk perempuan, yang paling banyak itu kekerasan fisik dan psikis dalam rumah tangga. Mulai dari pemukulan, penyiksaan, sampai ancaman. Sedangkan untuk anak-anak, kasus yang paling sering adalah kekerasan seksual dan bullying/perundungan,” ujar Agustu Afendi, Kepala DP3AP2KB Kota Pangkalpinang, Rabu (3/9/2025).

Ia menambahkan, pelaku sering kali justru orang terdekat korban, bahkan anggota keluarga sendiri.

“Ada kasus paman yang melakukan pelecehan terhadap keponakannya. Jadi memang ini yang berbahaya, karena pelaku biasanya orang yang dipercaya,” ujarnya.

Selain kekerasan seksual, fenomena bullying juga terus meningkat. Kasus perundungan ditemukan dalam berbagai bentuk, mulai dari ejekan, hinaan, kekerasan fisik, hingga pelecehan oleh teman sebaya.

“Bullying itu dampaknya luar biasa. Anak bisa minder, stres, bahkan trauma berkepanjangan. Apalagi sekarang ditambah bullying di dunia maya atau cyberbullying, risikonya makin besar,” jelasnya.

Menurut Augustu, pembangunan fasilitas ramah anak memang penting, tetapi kasus kekerasan tidak selalu berbanding lurus dengan status Kota Layak Anak (KLA).

“Kekerasan lebih banyak terjadi di keluarga atau lingkungan sosial. Jadi kalaupun status KLA naik, kalau keluarga tidak peduli, kasus tetap bisa terjadi,” terangnya.

Ia menyoroti peran teknologi yang semakin kuat dalam kehidupan anak-anak.

“Handphone sekarang bisa jadi guru, bisa jadi teman. Tapi kalau tidak ada pengawasan orang tua, anak bisa terpapar konten berbahaya, bisa kena cyberbullying, bahkan jadi korban eksploitasi online,” katanya.

Augustu mengingatkan agar keluarga menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak.

“Mulailah dari keluarga Anda. Perhatikan dengan seksama keluarga, selalu terbuka, dan sayangi keluarga. Itu benteng pertama perlindungan anak,” pesannya.

DP3AP2KB berkomitmen untuk terus merespons setiap laporan yang masuk, baik terkait kasus anak hilang, kekerasan, maupun perundungan.

Pendampingan dilakukan tidak hanya sebatas penegakan hukum, tetapi juga pemulihan psikologis agar korban bisa kembali pulih dan percaya diri.

“Pendampingan itu penting. Anak-anak korban kekerasan harus tetap bisa melanjutkan hidup tanpa trauma berkepanjangan. Itu yang kami perjuangkan,” tegas Agustu.

Ia optimistis Kota Pangkalpinang bisa kembali naik status menjadi Kota Layak Anak Madya, bahkan lebih tinggi, asalkan sinergi semua pihak terus ditingkatkan.

“Target kita jelas, minimal kembali ke Madya. Kalau bisa Nindya, bahkan Utama. Potensi itu ada, tapi harus dikerjakan bersama-sama. Anak-anak butuh lingkungan yang aman dan sehat. Kalau semua bergerak, saya yakin Pangkalpinang bisa benar-benar jadi kota yang ramah anak,” pungkasnya. (x1)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved