Potensi LTJ di Babel Bernilai Triliunan

Rp133,4 Triliun Tersimpan di Provinsi Bangka Belitung, Dinas ESDM Belum Mendata Potensi LTJ

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyimpan “harta karun” yang dinilainya ditaksir mencapai Rp133,48 triliun.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
POS BELITUNG HARI INI - Pos Belitung Hari Ini edisi Senin, 10 November 2025, memuat headline berjudul Rp133,4 T Tersimpan di Babel. 
Ringkasan Berita:
  • Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyimpan “harta karun” yang dinilainya ditaksir mencapai Rp133,48 triliun.
  • Harta karun itu berasal dari Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth dari enam smelter tambang ilegal di Babel yang telah disita negara dan diserahkan kepada PT Timah Tbk pada 6 Oktober 2025 lalu.
  • Jumlahnya diperkirakan mendekati 40.000 ton. Kala itu presiden juga menyebut satu ton monasit, satu di antara unsur LTJ yang ada di limbah smelter, harganya bisa mencapai 200 ribu dollar AS.
 

 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyimpan “harta karun” yang dinilainya ditaksir mencapai Rp133.480.000.000.000 atau Rp133,48 triliun. 

Harta karun itu berasal dari Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth dari enam smelter tambang ilegal di Babel yang telah disita negara dan diserahkan kepada PT Timah Tbk pada 6 Oktober 2025 lalu.

Presiden Prabowo Subianto, yang menyaksikan langsung serah terima enam smelter tesebut, mengatakan, LTJ yang berasal dari limbah smelter- smelter itu belum diurai.

Jumlahnya diperkirakan mendekati 40.000 ton. Kala itu presiden juga menyebut satu ton monasit, satu di antara unsur LTJ yang ada di limbah smelter, harganya bisa mencapai 200 ribu dollar AS. 

Jika dikalkulasikan dengan kurs dollar AS pada Minggu (9/11/2025) kemarin, 1 dollar AS=Rp16.685, maka 1 ton monasit bernilai Rp3.337.000.000 atau Rp3,337 miliar.

Dan jika jumlahnya mencapai  40.000 ton seperti disampaikan Presiden Prabowo, maka monasit yang ada di enam smelter sitaan itu bernilai Rp133,48 triliun.

Plt Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Babel, Reskiansyah mengakui adanya potensi LTJ di Babel.

Diwakili Noprial Riady, staf Bidang Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan Dinas ESDM Babel, dia menyebut keberadaan LTJ di Babel erat kaitannya dengan mineral ikutan timah.

“Kalau keberadaan logam tanah jarang (LTJ) itu sendiri di kita adanya di mineral ikutan seperti timah. Jadi mineral ikutan timah itu kan mineral dari monazit, zirkon, senotim, dan ilmenit. Nah, logam tanah jarang ini terutama adanya di mineral monazit dan senotim,” kata Noprial saat ditemui Bangka Pos Group di Kantor Dinas ESDM Babel, Selasa (4/11/2025).

Dia menerangkan, LTJ bukan mineral utama seperti timah. LTJ ikut terbentuk dan tersimpan dalam mineral ikutan hasil proses penambangan timah. 

“Kalau ditambang, pasir yang bercampur itu masih harus melalui proses pemisahan. Biasanya di sakan, timah dipisahkan karena berat jenisnya lebih besar. Nah,setelah pemisahan pasir yang ringan dan pengolahan bahkan dalam pasir timah itu banyak mengandung mineral ikutan, termasuk monazit dan senotim,” tambahnya.

Diserahkan ke PT Timah

Seperti diberitakan, pada 6 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subiantoberkunjung ke Babel dan menyaksikan serah-terima Barang Rampasan Negara (BRN) di kawasan smelter PT Tinindo Internusa, Kota Pangkalpinang.

BRN itu berasal dari penindakan yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.

Smelter Tinindo merupakan satu dari enam smelter yang menjadi BRN. Presiden Prabowo menyaksikan proses penyerahan BRN yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari Jaksa Agung kepada Wakil Menteri Keuangan, kemudian dari Wakil Menteri Keuangan kepada CEO Danantara, dan selanjutnya dari CEO Danantara kepada Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro.

“Dan, di tempat-tempat smelter itu sebagaimana kita lihat sudah ada tumpukan tanah jarang dan juga ingot-ingot timah. Nilainya dari enam smelter dan barang-barang yang disita mendekati Rp6-7 triliun,” kata Prabowo kepada wartawan, seperti dilansir Setkab.go.id, Senin (6/10/2025).

“Tapi, tanah jarang yang belum diurai mungkin nilainya lebih besar, sangat besar, tanah jarang. Monasit, ya. Monasit itu satu ton itu bisa ratusan ribu Dolar, 200 ribu Dolar. Monasit. Padahal, total diketemukan limbahnya puluhan ribu ton, mendekati 40 ribu ton. Kita bisa bayangkan kerugian negara dari enam perusahaan ini saja, kerugian negara total potensi kira-kira 300 T. Kerugian negara sudah berjalan 300 triliun, ini kita hentikan,” lanjutnya.

“Saya ucapkan terima kasih kepada aparat, Panglima TNI, Angkatan Laut, Bakamla, Bea Cukai, semua pihak yang telah bergerak dengan cepat sehingga bisa diselamatkan aset-aset ini. Dan, ke depan berarti ratusan triliun itu bisa kita selamatkan untuk rakyat kita,” tegas Prabowo.

Di tempat yang sama, Dirut PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro mengaku optimistis bisa memanfaatkan BRN yang diterima pihaknya.

Dia menegaskan, langkah awal yang akan dilakukan yakni melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi aset dan lokasi yang diserahkan.

“Kami akan pelajari kondisi smelter dan alatnya terlebih dahulu. Mungkin butuh perbaikan sebelum digunakan untuk meningkatkan produksi. Setelah satu hingga dua minggu evaluasi, baru kami tentukan langkah selanjutnya,” kata Restu saat ditemui di kawasan smelter Tinindo, Senin (6/10/2025).

Lebih lanjut, Restu mengungkapkan bahwa PT Timah juga akan mengkaji potensi pengelolaan mineral ikutan seperti monasit, ilmenit, dan zirkon yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

“Monasit, ilmenit, dan zirkon memiliki potensi besar. Jika sebagian aset yang kami terima sudah siap diproduksi, kami akan segera memanfaatkannya,” tuturnya.

Mengenai dampak ekonomi dan nilai tambah dari aset rampasan tersebut, Restu mengatakan hasilnya baru akan terlihat setelah proses evaluasi rampung.

“Kami belum dapat memastikan nilai ekonominya meningkat atau tidak, karena belum melihat kondisi keseluruhan. Setelah evaluasi selesai, kami akan menyusun langkah-langkah peningkatan produksi,” ucapnya.

Mengandung Radioaktif

Noprial Riady, staf Bidang Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan Dinas ESDM Babel, mengatakan pemanfaatan LTJ tidak semudah menambang timah.

Noprial menjelaskan bahwa proses pemisahan mineral ikutan ini masih dilakukan secara fisik seperti menggunakan magnetic separator, specific gravity, atau meja goyang (shaking table).

“Tahapan ini baru sebatas pemisahan fisik. Artinya masih berupa pasir, belum sampai pada unsur logam tanah jarang murni. Butuh teknologi yang lebih tinggi untuk memurnikannya,” ujar Noprial.

Selain itu, dia menyebut mineral ikutan seperti monazit dan senotim yang mengandung unsur radioaktif (thorium dan uranium) tidak boleh dijual atau diolah sembarangan.

“Sepanjang dia masih dalam bentuk monazit, regulasinya tidak memperbolehkan dijual. Karena itu termasuk mineral radioaktif yang diawasi ketat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten),” tegasnya.

“Jadi pengusaha boleh mengusahakan mineral tersebut sepanjang unsur radioaktifnya sudah terpisah dari unsur logam tanah jarang. Tapi sebelum itu, tidak boleh,” imbuh Noprial.

Lebih lanjut, Noprial mengatakan pemerintah daerah tidak punya kewenangan terkait pengelolaan LTJ. Sesuai regulasi, kewenangannya ada di pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM.

“Pemerintah daerah tidak bisa masuk ke wilayah pengelolaan logam karena sudah menjadi kewenangan pusat. Kami hanya berwenang di sektor mineral bukan logam dan batuan,” jelasnya.

Karena berkaitan regulasi itu juga, Dinas ESDM tidak memiliki data mengenai potensi LTJ di Babel.

Noprial menambahkan sebagai tindak lanjut, pemerintah pusat telah membentuk Badan Mineral Indonesia (BMI) yang akan mengelola mineral ikutan di seluruh Indonesia, termasuk di Babel.

“BMI ini nanti akan menjadi pengelola utama. Sekarang mereka sedang menyusun kebijakan dan arah pengembangan di tingkat nasional,” tambah Noprial. 

Skala Mini Pilot Plant

Ketua Kelompok Riset Teknologi Logam Tanah Jarang, Pusat Riset Teknologi Mineral Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Dr Eng Widi Astuti mengatakan Indonesia telah melakukan riset pengolahan dan pemurnian Logam Tanah Jarang (LTJ) dari monasit dan senotim yang berasal dari Bangka Belitung. 

Riset itu menghasilkan teknologi kunci ekstraksi LTJ dari monasit dan senotim hingga skala mini pilot plant.

“Saat ini, BRIN masih melanjutkan riset untuk optimasi proses dan melakukan kajian tekno ekonomi proses yang sudah dihasilkan,” ujar Widi dalam keterangan tertulisnya kepada Bangka Pos Group, Minggu (9/11/2025).

Dia menyebut awalnya riset dilakukan Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) yang sejak September 2021 dilebur ke dalam BRIN. Riset itupun masih berlanjut hingga Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Industri Mineral (BIM).

“Prof Brian Yuliarto selaku Kepala BIM telah berkoordinasi dengan Tim LTJ di BRIN sejak dari awal pembentukan BIM. Untuk saat ini BRIN terlibat dalam membantu menyiapkan Teknologi Pengolahan dan Pemurnian LTJ dari Monasit berbasis hasil riset BRIN,” katanya.

Widi menjelaskan Pusat Riset Teknologi Mineral BRIN berperan dalam penguasaan teknologi kunci khususnya teknologi pengolahan dan pemurnian LTJ.

Penguasaan teknologi pengolahan dan pemurnian LTJ dilakukan berdasarkan karakteristik dari bahan baku mineral induk dan mineral atau unsur ikutannya.

“Secara spesifik, sampai dengan saat ini teknologi pemurnian dan pemisahaan masing-masing individual unsur LTJ dari bahan baku monasit sudah dikuasai sepenuhnya dari mulai bahan baku berupa konsentrat LTJ hidroksida hingga mendapatkan prototipe Lantanum oksida, Cerium oksida, Ytrium oksida, Nd-Pr oksida, dengan kemurnian di atas 98 persen,” ujar Widi.

Dia menambahkan teknologi pengolahan dan pemurnian LTJ dari sumber lain selain monasit juga sedang dikembangkan oleh Pusat Riset Teknologi Mineral BRIN, seperti dari bahan baku abu terbang batu bara (coal fly ash) dari hasil pembakaran batu bara di PLTU.

“Kami sudah menguasai hingga mendapatkan prototipe berupa LTJ Oksalat dan LTJ Hidroksida dari abu terbang batu bara tersebut serta saat ini kami masih mengembangkan riset tahap pemisahan per individual unsur LTJ, seperti pemisahan Itrium, Lantanum, Neodimium dan Cerium,” katanya.

“Selain itu, saat ini kami juga sedang mengembangkan teknologi pengolahan dan pemurnian LTJ dari bahan baku IAC (Ion Adsorption Clay) dari beberapa Lokasi yaitu Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Kami sudah menguasai proses pelindian dan perolehan konsetrat LTJ dan dilanjutkan dengan pemisahan LTJ individual sampai mendapatkan prototipe Lantanum oksida, Cerium Oksida dan konsentrat LTJ Berat dan LTJ Ringan. Saat ini kami sedang riset pemisahan individual unsur dari masing-masing konsentrat LTJ berat dan LTJ ringan tersebut,” imbuh Widi.

Meski sudah menguasai teknologinya, Widi menyebut Pemisahan REE atau LTJ dari semua sumber, termasuk mineral ikutan timah pasti membutuhkan reagen kimia untuk memisahkan unsur-unsur REE individu dari konsentratnya.

Reagen-reagen berupa ekstraktan dan ion penukar yang dibutuhkan dalam proses ini belum tersedia di dalam negeri, sehingga harus impor yang biasanya membutuhkan waktu dan biaya lebih besar.

“Itu salah satu kendala teknis yang biasanya dialami dalam penelitian mengenai pemisahan REE,” katanya

Terlepas dari kendala itu, Widi memastikan BRIN sudah memiliki roadmap lengkap transformasi riset mulai dari skala laboratorium, skala bench, mini pilot plant, hingga tahap industrialisasi

“Industrialisasi LTJ akan menjadi kolaborasi antara BRIN dan industri berbasis teknologi kunci yang telah kami hasilkan,” ujar Widi. (x1)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved