Jumlah Mal di Jogja Sudah Overload, Warganya Dinilai Makin Doyan Belanja

Mal mendorong sikap konsumtif bahkan hedonistic. Selain itu sudah terbukti mendistorsi pemanfaatan fasilitas publik seperti kemacetan lalu lintas.

Tribun Jogja/ Fauziarakhman
Ilustrasi 

Jika pertumbuhan mal terus bertambah ditakutkan apa yang terjadi di hotel akan terjadi juga di mal.

Seperti diketahui, jumlah hotel di Yogya saat ini sangat banyak, hotel akan ramai saat waktu tertentu saja dan akan terjun bebas okupansinya di hari biasa.

Terkait dengan mal di Bantul, Dambung meminta bupati bisa bijak menyikapi dan mengambil keputusan dengan melihat kondisi mal yang ada saat ini. Menurutnya perlu ada studi terlebih dahulu dari sekian mal yang sudah berdiri di Yogya, terkait dengan okupansi dan sebagainya.

"Kalau pak Bupati, pak Harsono bijak. Jangan latah, jangan kagetan, liat bentuke mal kaya gitu, isinya mal gimana? kinerjanya gimana?," terang Dambung.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf menilai mal yang ada di Yogya saat ini lebih berfungsi sebagai tempat rekreasi, menyerap tenaga kerja, menyumbang PAD dan mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Namun juga memiliki sisi distorsi bagi ekonomi daerah.

"Mal mendorong sikap konsumtif bahkan hedonistic. Selain itu sudah terbukti mendistorsi pemanfaatan fasilitas publik seperti kemacetan lalu lintas. Untuk skala Yogyakarta, dari mal yang sudah ada sekarang sudah sangat cukup jumlahnya," ujar Ma'ruf.

Bisa Mematikan Bisnis Mal

Ma'ruf pun menilai sudah tidak diperlukan lagi penambahan mal di Yogya. Lebih baik pemerintah melakukan modernisasi manajemen pasar tradisional. Tata kelola pasar tradisional dan fisik bangunan diubah sehingga menjadi pusat ekonomi rakyat dan obyek wisata belanja. Ini akan lebih sesuai dengan kondisi Yogya.

Contoh di luar negeri menurutya, banyak pasar yang justru lebih ramai dibandingkan mal. Secara visi, Yogyakarta juga berbeda dengan kota besar yang lainnya, seperti Singapura dan Jakarta yang memang visinya menjadi pusat belanja tradisional. Oleh karena itu mal dibangun berhimpit.

Jika tetap dipaksakan maka bisa dipastikan mal di Yogya akan bernasib sama dengan mal yang ada di Jakarta yang jumlahnya sangat banyak. Mal bisa saja sepi penyewa, karena sifat mal adalah bisnis properti khususnya sewa space yang mendukung bisnis perdagangan dan jasa.

"Kapasitas ekonomi Yogyakarta termasuk daerah sekitar Yogyakarta juga tidak setinggi jika dibandingkan dengan Jabotabek. Maka kalau mal bertambah justru akan mematikan bisnis mal tersebut," kata pengamat ekonomi ini.

"Seperti hotel, ketika tidak ada moratorium izin hotel, maka hampir pasti hotel kecil dan secara umum hotel di Jogja justru runtuh bersamaan. Peak season hanya pas libur panjang, selain itu akan sepi. Mal juga akan seperti itu," lanjutanya.

Menambah Titik Kemacetan

Mal juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, bukan rahasia umum lagi adanya mal menimbulkan titik-titik kemacetan baru. Ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas udara yang semakin buruk karena polusi. Ini yang menjadi salah satu sorotan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta.

Direktur Eksekutif WALHi Yogyakarta, Halik Sandera mengatakan bahwa pembangunan skala besar pasti akan berdampak terhadap kualitas lingkungan. Perlu dikaji secara detil terkait dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

"Mal pastinya akan menimbulkan lokasi kemacetan baru yang akan berdampak menurunnya kualitas udara. Mal pasti akan merubah gaya hidup warga lebih konsumsif dan menyebabkan semakin meningkatnya produksi sampah," ujarnya.(*)

Penulis: dnh

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved