Keputusan MA Soal PK Ahok Ini Jadi Kabar Buruk Bagi Ahok dan Para Pendukungnya

Namun di tengah upaya mengajukan langkah hukum terbaru, Ahok dan pendukungnya mendapat kabar buruk ini. Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi...

TRIBUNNEWS/ROMMY PUJIANTO/POOL
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mendengarkan pembacaan vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. TRIBUNNEWS/ROMMY PUJIANTO/POOL 

POSBELITUNG.CO - Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sedang menanti hasil Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) terkait kasus penistaan agama yang mengantarnya ke penjara.

Ahok terbukti melakukaan penodaan agama sehingga mendapat hukuman penjara dua tahun.

Di tengah proses menghuni sel, Ahok mengajukan PK terhadap kasusnya ini per 2 Februari 2018 lalu.

Namun di tengah upaya mengajukan langkah hukum terbaru, Ahok dan pendukungnya mendapat kabar buruk ini.

Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi memastikan upaya pengajuan PK ini akan jadi yang pertama dan terakhir bagi Ahok.

"Kalau melihat apa yang sudah digariskan Mahkamah Agung itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain," kata Suhadi dalam program AIMAN yang tayang di Kompas TV, Senin (5/3/2018).

Padahal, pada 2014, MA menerbitkan surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan PK, yang pada intinya memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali.

Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin.

Mengapa Ahok tidak punya kesempatan yang sama?

"MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali. UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh di-PK," ujarnya.

Suhadi menjelaskan, PK lebih dari sekali ini diupayakan terpidana mati lantaran putusan hukuman mati tidak kunjung dieksekusi kejaksaan.

PK juga menjadi cara mengulur-ulur hukuman.

"Kematian tidak bisa ditukar dengan apa pun, jadi orang berusaha menghindari," katanya.

Keadaan yang bisa membuat perkara ditinjau kembali lebih dari sekali yakni jika ada putusan yang bertentangan satu dengan lain.

Misalnya, penggugat menang di pengadilan tata usaha negara (PTUN), tetapi kalah di ranah perdata sehingga tidak bisa dieksekusi.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved