Feri Amsari Tuding Istana Lari dari Tanggung Jawab Terkait Jokowi Tak Bisa Intervensi Kasus Novel

Polemik tuntutan ringan penyerang Novel Baswedan, Jokowi tak bisa intervensi, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas

TRIBUN/FAHDI FAHLEVI
Penyidik KPK Novel Baswedan memberikan keterangan kepada jurnalis di kediamannya, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Minggu (14/6/2020). 

POSBELITUNG.CO -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, sebut Istana lari dari tanggung jawab, terkait polemik tuntutan ringan penyerang Novel Baswedan, Jokowi tak bisa intervensi.

Adapun pihak Istana Kepresidenan akhirnya memberi komentar soal tuntutan ringan bagi dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.

Seperti diketahui, jaksa penuntut umum menjatuhkan tuntutan satu tahun penjara bagi dua terdakwa yang merupakan anggota Polri.

Tuntutan ringan yang dijatuhkan pada Kamis (11/6/2020) pekan lalu itu langsung menjadi perhatian besar publik karena dianggap tak memenuhi rasa keadilan bagi Novel.

Kompas.com menghubungi sejumlah pejabat Istana untuk meminta tanggapan, namun semua enggan untuk bersedia berkomentar.

Begini Kata Staf Presiden soal Penyerang Novel Dituntut 1 Tahun, Penusukan Wiranto Dituntut 16 Tahun

Pihak Istana akhirnya baru buka suara menanggapi hal ini pada Selasa (16/6/2020) kemarin.

Melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adiansyah, Istana menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo tidak bisa mengintervensi sidang yang tengah berjalan.

Termasuk hal yang berkaitan dengan langkah jaksa penuntut umum menuntut kedua pelaku dengan hukuman satu tahun penjara.

"Kita serahkan saja kepada prosedur yang ada, Presiden tidak intervensi," kata Donny saat dihubungi, Selasa (16/6/2020).

Donny membenarkan banyak masyarakat yang merasa tuntutan bagi dua pelaku tak memenuhi rasa keadilan.

Meski demikian, ia menegaskan, presiden selaku pimpinan tertinggi di eksekutif tak bisa mencampuri urusan yudikatif.

"Presiden tidak bisa mencampuri urusan judisial, paling hanya memberikan dorongan penguatan agar keadilan ditegakkan dan bisa memuaskan semua pihak," kata Donny.

Investasi Berisiko Rendah, Obligasi ORI017 Cocok di Era New Normal

Ia pun mengajak seluruh masyarakat untuk mengikuti proses persidangan yang masih berlangsung.

Apabila vonis hakim juga dirasa tidak memenuhi rasa keadilan, pihak Novel bisa mengajukan banding.

"Sekali lagi kita serahkan pada prosedur yang ada.

Apabila dirasa tidak puas, atau terlalu ringan, ya ajukan banding.

Jadi saya kira gunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah itu," kata Donny.

irinya uga menegaskan bahwa komitmen dan sikap Presiden dalam memandang kasus penyerangan Novel ini masih sama sejak awal.

Jokowi tetap menilai kasus ini sebagai persoalan serius dan pelakunya harus ditindak tegas.

"Posisi presiden tidak berubah. Posisi tetap seperti itu," ujar dia.

Ayo Ikutan, Mahasiswa Kampus Keagamaan Negeri Bisa Dapat Keringanan Biaya UKT, Begini Caranya

Namun, saat ditanya apakah Presiden bakal mengevaluasi jaksa yang memberi tuntutan ringan atas kasus ini, Donny menyebut hal tersebut masih membutuhkan proses lebih lanjut.

"Kalau evaluasi nanti ada prosesnya, ada prosedurnya, ada tahapannya.

Masih jauh," kata dia.

Lari dari tanggung jawab

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, pihak Istana sedang lari dari tanggung jawab atas kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan.

Feri mengatakan, selama ini tidak ada yang meminta Presiden Jokowi melakukan intervensi pada kasus Novel Baswedan.

Menurut dia, yang diminta semua pihak adalah Presiden Jokowi memastikan bahwa proses hukum berjalan secara adil.

"Presiden perlu memastikan siapa yang akan menjalankan proses hukum itu dan bagaimana dia menjalankannya, sehingga upaya mewujudkan keadilan untuk sedikit luas bisa terwujud," ujar dia.

Feri mengatakan, Polri dan kejaksaan adalah bawahan dari presiden, sehingga wajar apabila Presiden Jokowi memastikan jajarannya bekerja sesuai dengan arah yang ditentukan sejak awal pemerintahan.

Arahan yang dimaksud adalah ucapan Presiden Jokowi yang menyebut pelaku penyiraman terhadap Novel Baswedan harus ditindak tegas.

"Kepolisian dan kejaksaan di tingkat ini kan saya lebih spesifik bicara kejaksaan.

Nah, ketika dia menuntut rendah, sementara presiden berkata tindak tegas pelaku penyiraman, itu kan sudah sangat kontradiktif," ucap dia.

Feri juga mengatakan, hal yang tidak boleh dilakukan presiden terkait keterlibatan dalam suatu kasus hukum adalah mengubah fakta.

Oleh karena itu, Feri berharap Istana tidak salah melihat batasan intervensi terkait kasus hukum.

"Jadi jangan presiden salah pahami, bahwa Istana bukan tidak boleh ikut campur Istana itu bukan mencampuri untuk mengubah fakta itu baru enggak boleh," ucap Feri.

Argumen JPU

Sementara itu, jaksa penuntut umum mempunyai alasan tersendiri kenapa hanya menuntut dua terdakwa dengan hukuman 1 tahun penjara.

JPU menilai kedua terdakwa yang merupakan anggota Polri itu tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Alasannya, cairan yang disiram Rahmat tidak disengaja mengenai mata Novel. Menurut JPU, cairan itu awalnya diarahkan ke badan Novel.

"Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan, tetapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen, sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," kata jaksa.

Namun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, alasan Jaksa memberi tuntutan ringan tak masuk akal.

"Argumentasi Jaksa yang menyatakan ketidaksengajaan pelaku untuk menyiram mata Novel sebagai dasar menuntut rendah merupakan penghinaan terhadap akal sehat," kata peneliti PSHK, Giri Ahmad Taufik.

Giri mengatakan, kesengajaan seharusnya dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki.

Adanya unsur perencanaan dalam proses tindak pidana dan pengunaan air keras telah mengindikasikan adanya kesadaran dari pelaku bahwa menyiramkan air keras kepada seseorang pasti akan menyebabkan luka berat pada tubuh.

Giri menilai, tuntutan minimal Jaksa kepada pelaku penyerangan Novel telah mencederai rasa keadilan tidak hanya bagi Novel dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat.

Tuntutan penjara 1 tahun dinilai tidak berdasarkan pada hukum dan fakta yang terungkap.

Tuntutan itu juga dianggap mengabaikan fakta motif terkait dengan ketidaksukaan terhadap Novel sebagai penyidik KPK yang membongkar kasus korupsi di institusi Kepolisian.

"Tuntutan dengan pidana rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya bagi aparat penegak hukum, utamanya pegawai KPK," ujar Giri.

(Tribunnewswiki.com/Putradi Pamungkas, Kompas.com/Ihsanuddin)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tuntutan Ringan Penyerang Novel Baswedan dan Istana yang Akhirnya Buka Suara" dan juga telah terbit di TRIBUNNEWSWIKI.COM berjudul Kasus Novel Baswedan: Jokowi Tak Bisa Intervensi, Feri Amsari Tuding Istana Lari dari Tanggung Jawab

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved