Amankah Ibu Hamil Mengkonsumsi Mie Instan Tiap Hari, Berikut Penjelasan dari Ahli Gizi
Ahli mengatakan makanan pengganti jika tidak ada nasi atau beras sesungguhnya boleh mengonsumsi makanan mie instan
POSBELITUNG.CO - Sejak pandemi covid-19 dan diberlakukannya bekerja dari rumah atau work from home (WFH) jumlah ibu hamil di Indonesia mengalami peningkatan.
Disaat pandemi ini, disaat perekonomian ikut terganggu tentunya asupan makanan bagi ibu hamil perlu diperhatikan.
Hal ini dilakukan agar bayi dikandungannya tetap sehat dan tidak kekurangan gizi.
Nah, saat barang-barang menjadi mahal dan tidak ada kemampuan untuk membelinya, terkadang mi instan menjadi pilihan.
Apakah mengonsumsi mi instan aman bagi ibu hamil?
Ahli Gizi Universitas Gadjah Mada Toto Sudargo menjamin itu aman bagi ibu hamil.
Bagaimana bisa?
Ini penjelasan ahli gizi
Toto menjelaskan bahwa sumber karbohidrat ada banyak macamnya.
Sementara itu makanan pokok di Indonesia adalah beras, lalu tepung terigu atau gandum, ubi, singkong, ketela, kentang dan seterusnya.
Dia mengatakan semua itu merupakan bentuk makanan pengganti, jika tidak ada nasi atau beras sesungguhnya boleh mengonsumsi itu.
Tambahnya, apalagi mi. Menurutnya mi itu cukup baik, tapi ada syaratnya.
"Sepanjang dia mengonsumsi tidak terlalu ekstrim, mie terus, tetap baik nggak ada masalah. Selain itu harusnya seorang ibu hamil mengonsumsi ditambah telur, sayuran, dan sebagainya," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (23/6/2020).
Lanjutnya, mi aman dikonsumsi jika disertai protein hewani dan sayuran lengkap.
Pelengkap mi tersebut seperti tomat, wortel, telur, caesim, udang, dan sebagainya.
"Saya jamin aman. Saya merekomendasikan sebagai ahli gizi. Yang penting ada protein hewani, sayur," kata dia menegaskan.
Bahkan ketika pagi-pagi ibu hamil ingin mengonsumsi mi instan, dia memperbolehkan, dengan syarat diiringi dengan makanan berserat lain dalam satu mangkuk.
"Yang jadi bahaya ketika mengonsumsi hanya mi instan saja," ujar dia.
Lanjutnya, sajian mi instan sebanyak 35-40 gram atau satu kemasan, mengandung 190 sampai 200 kalori. Jadi tidak bahaya.
Lalu, menurutnya tidak ada batasan mengonsumsi mi instan per hari atau per minggu.
Mengenai perlu tidaknya membuang air yang digunakan untuk merebus mi instan, menurutnya itu tidak wajib.
Tujuan orang-orang membuang air bekas rebusan mi adalah untuk mengurangi natrium benzoat yang terkandung di dalamnya.
"Tapi sebenarnya tidak ada masalah (jika tidak dibuang), karena sebagian garamnya akan direduksi oleh sayur (saat memasak mie dengan sayur)," kata dia. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bolehkah Ibu Hamil Makan Mi Instan? Ini Penjelasan Ahli Gizi",
Serangan Jantung Pria Dibawah Usia 40 Tahun Alami Peningkatan
Selama ini kita ketahui resiko terbesar orang yang terkena serangan jantung terjadi pada pria yang berusia diatas 50 tahun.
Ternyata sebaliknya, resiko serangan jantung tidak hanya pada pria berusia diatas 50 tahun saja.
Banyak kita temui saat ini pria berusia dibawah 40 tahun terkena serangan jantung atau serangan kardiovaskular.
Bahkan sekarang ini pria yang jauh lebih tua, dengan usia di atas 65 tahun, mengalami penurunan hampir 40 persen untuk rawat inap akibat serangan jantung dalam 20 tahun terakhir.
Penelitian yang telah dipresentasikan pada pertemuan American College of Cardiology musim semi lalu juga menunjukkan, mereka yang belum mencapai usia 40 tahun mengalami peningkatan risiko serangan jantung lebih tinggi daripada sebelumnya.
"Dulu, sangat jarang mengetahui seseorang di bawah usia 40 datang dengan keluhan serangan jantung, dan sekarang orang-orang yang mengalami ini berusia 20-an dan awal 30-an."
Begitu kata Ron Blankstein, MD, ahli jantung preventif di Brigham and Women's Hospital di Boston, AS.
"Berdasarkan apa yang kita lihat, kita bergerak ke arah yang salah."
Jumlah penderita penyakit jantung di usia 20-an dan 30-an meningkat selama dua dekade terakhir, dan para ilmuwan menemukan aterosklerosis, kerusakan arteri dan penyumbatan yang menyebabkan gangguan jantung serius di arteri pria pada usia muda
Pertanyaannya, bagaimana statistik tersebut bisa muncul? Para ahli menyimpulkan empat teori.
1. Berat badan seseorang semakin bertambah
Di AS, persentase anak-anak dan remaja obesitas meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1970-an, dan beratnya sulit turun saat dewasa karena berbagai alasan, termasuk kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji.
Sebuah survei yang dilakukan Centers for Disease Control and Prevention menemukan, pria berusia 20 - 39 tahun memiliki kemungkinan 82 persen untuk mengonsumsi makanan cepat saji daripada pria berusia 60 tahun ke atas.
Artinya, mereka mendapat lebih banyak kalori tanpa banyak nutrisi di dalamnya.
Perlambatan generasi dalam aktivitas fisik, termasuk karena lebih banyak waktu di depan layar dan di belakang kemudi, juga mempertahankan berat badan dan mengeraskan arteri.
Bobot yang terus bertambah sangat menyulitkan jantung kita, dan membuat seluruh bagian tubuh bekerja lebih keras.
Lemak di sekitar tubuh sebenarnya bisa melepaskan bahan kimia yang menyebabkan peradangan, memicu penumpukan di pembuluh darah, masuk ke pembuluh arteri lebih jauh dan mengganggu aliran darah ke jantung kita.
2. Kebiasaan merokok dan menghisap vape pada pria lebih muda
Tentu saja, sebagian besar pria yang berusia di atas 65 tahun sudah menghentikan kebiasaan merokok.
Namun, mayoritas pria di antara usia 25 - 44 tahun masih merokok, yang kemudian menyebabkan masalah pada kardiovaskular mereka.
Satu batang rokok sehari sudah dapat meningkatkan risiko pria terkena penyakit arteri koroner hingga hampir 50 persen, demikian menurut sebuah studi di British Medical Journal (BMJ).
Kemudian, orang-orang yang berpikir mereka dapat menghindari risiko itu dengan mencari alternatif seperti menghisap vape justru semakin membahayakan diri mereka.
Pengguna rokok elektrik mendorong risiko penyakit jantung mereka 40 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak menghisap vape, dan risiko stroke meningkat hingga 71 persen.
3. Mengalami stres sejak muda
Sebuah survei yang dilakukan American Psychological Association menemukan, orang berusia 22 - 39 tahun adalah kelompok yang paling stres.
Stres dapat memperburuk peradangan pada arteri koroner, yang menyebabkan pembekuan darah.
Hal itu juga bisa memicu tekanan darah tinggi dan kebiasaan buruk, seperti mencari kenyamanan dengan makanan, minum berlebihan, dan meninggalkan olahraga.
Sebuah penelitian di 52 negara mencatat, orang yang melaporkan stres permanen di tempat kerja atau di rumah memiliki risiko lebih dari dua kali lipat mengalami serangan jantung.
4. Mengabaikan risiko dan gejala serangan jantung
Gejala serangan jantung yang membuat pria berusia 70 tahun cemas tidak disadari oleh pria berusia 30 tahun, bahkan jika gejalanya meliputi mual terus-menerus dan berkeringat, atau perasaan seperti adanya bola besar di dada.
Ada kecenderungan, seseorang yang masih di bawah 40 tahun yakin serangan jantung tidak terjadi padanya.
Bahkan, dokter bisa saja menolak kenyataan bahwa pria di bawah usia 40 tahun dapat terkena serangan jantung.
Menurut Dr. Blankstein, beberapa dokter bisa saja meresepkan statin penurun kolesterol atau terapi aspirin yang mencegah pembekuan pada pria di usia muda.
Jika dokter tidak memperhatikan gejala serangan jantung, justru kita yang harus memperhatikannya.
Apabila faktor risiko dan hasil laboratorium menunjukkan kita berpotensi mengalami masalah pada jantung, pastikan membicarakan kepada dokter terkait perubahan apa yang mungkin kita butuhkan.
Faktor risiko yang harus kita perhatikan antara lain tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, kelebihan berat badan, diabetes, penggunaan narkoba, merokok, jarang melakukan aktivitas fisik, tingkat stres tinggi, konsumsi alkohol berlebih, dan diet tidak sehat.
Karena kita tidak dapat mengendalikan usia, riwayat keluarga, atau kelompok ras, beri perhatian ekstra pada faktor risiko yang bisa kita cegah.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/belitung/foto/bank/originals/ilustrasi-perempuan-hamil-di-kediri.jpg)