Ahli Medis di Negara ini Selidiki Gejala Baru Corona pada Pasien: Ringan tapi Tidak Sembuh-sembuh

Pusat medis utama di Amerika Serikat tengah mencari tahu mengapa beberapa pasien Covid-19 terus memiliki gejala selama ...

freepik
Ilustrasi Corona 

Berkat layanan COVID Watch, sebuah layanan SMS yang melakukan check-in setiap hari dengan pasien Covid-19 di rumah, Dr. Jessica Dine menyadari ada sejumlah pasien yang gejalanya tak kunjung hilang.

Dine kini bekerja sama dengan pasien-pasien tersebut agar lebih memahami gajala penyakit mereka.

Dine dan timnya mulai dengan mengesampingkan penyebab jelas dari gejala jangka panjang.

"Hal pertama yang saya lakukan adalah memastikan tidak ada sesuatu yang baru terjadi, agar kami tidak melewatkan sesuatu," kata Dine, seperti infeksi sekunder, komplikasi virus atau efek samping dari perawatan.

Jika Dine dan timnya dapat mengesampingkan penyebab lain, mereka memiliki dua hipotesis untuk apa yang terjadi.

Yang pertama adalah kemungkinan virus masih berada di suatu tempat di dalam tubuh, tidak terdeteksi melalui pengujian.

Ini Jadwal UTMBK IPB 2020, Tahun Ajaran Baru di Kampus IPB Dimulai Tanggal 31 Agustus 2020

Yang kedua adalah bahwa virus hilang dari tubuh tetapi pasien mengalami apa yang disebut sebagai sindrom peradangan pasca-virus, di mana sistem kekebalan tubuh masih "meningkat" bahkan setelah virus hilang.

"Yang kami butuhkan adalah penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan dari mana gejalanya berasal," kata Dine.

Satu teori adalah bahwa peradangan yang dipicu oleh COVID-19 dapat merusak sistem saraf otonom, yang memengaruhi fungsi-fungsi tubuh seperti pencernaan, berkeringat, tidur, detak jantung, dan tekanan darah.

Dr. Mitchell Miglis, ahli saraf di Universitas Stanford, menganut teori ini.

Ia mengatakan nampaknya bagi sebagian orang, "tubuhnya masih rusak" bahkan ketika virusnya sudah lama hilang.

"Butuh waktu sangat lama untuk pulih sepenuhnya," katanya.

Gejala virus Corona (Kemenkes.go.id)
Gejala virus Corona (Kemenkes.go.id)

Miglis menambahkan bahwa masih terlalu dini untuk mengetahui apakah kondisi pasien-pasien seperti itu akan membaik atau apakah gejalanya akan berlanjut sebagai penyakit kronis.

Miglis dan timnya di Stanford mulai mengembangkan registri untuk melacak pasien COVID-19 dengan gejala jangka panjang dari waktu ke waktu.

Anya Geraldine Bikin Heboh, Sudah Berusia 24 Tahun Masih Ngedot, Sang Mama: Giginya Bisa Tonggos

Akan tetapi, tidak ada terapi khusus untuk jenis peradangan jangka panjang yang dicurigai dokter tersebut.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved