Virus Corona
Tak Peduli Kasus Covid-19 Tinggi, WHO dan Unicef Paksa Indonesia Buka Lagi Pembelajaran Tatap Muka
Meskipun ada daerah di Indonesia yang kasus covid-19 tinggi, WHO dan Unicef merekomendasikan agar sekolah tatap muka dibuka lagi dengan prokes ketat
POSBELITUNG.CO – Selama pandemi covid-19, sekolah Indonesia telah 18 bulan menerapkan pembelajaran online atau daring.
Kasus covid-19 di Indonesia sempat meledak hingga pemerintah harus memberlakukan pembatasan yang dikenal dengan PPKM.
Sementara hari ini, Selasa 21 September 2021 tercatat kasus covid-19 sebanyak 3.263. Jumlah ini bertambah sehari sebelumnya yang hanya 1.932.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) Indonesia telah berhasil menurunkan kasus covid-19.
Baca juga: Heboh Selebgram si Kuda Poni, Saat Asik Live Tanpa Busana Diciduk Polisi, Tak Perawan Ngaku Sepi Job
Dengan hasil ini diminta untuk segera membuka dan melanjutkan pembelajaran tatap muka di seluruh sekolah di tanah air.
Bahkan di daerah dengan tingkat Covid-19 yang tinggi, WHO merekomendasikan agar sekolah tetap dibuka kembali.
Rekomendasi tersebut keluar setelah selama 18 bulan sekolah di Indonesia memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Adapun pembukaan sekolah harus dilakukan secara aman mengingat adanya penularan varian delta yang tinggi.
Pembukaan sekolah harus dilakukan dengan langkah-langkah untuk meminimalkan virus, seperti menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat di antaranya menjaga jarak fisik setidaknya satu meter, dan mencuci tangan dengan sabun secara teratur.
“Jadi, penting bahwa ketika kami membuka sekolah, kami juga mengendalikan penularan di komunitas-komunitas itu,” ujar Dr Paranietharan, Perwakilan WHO untuk Indonesia dalam keterangan tertulis sebagaimana disampaikan dalam laman resmi WHO, 16 September 2021.
Dampak penutupan sekolah
WHO juga menyebut dengan protokol keamanan yang ketat, sekolah dapat menjadi lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak daripada di luar sekolah.
Baca juga: Kejamnya KKB Lamek Taplo, Pratu Ida Bagus Gugur Ditembak saat Evakuasi Jenazah Nakes di Jurang
Dalam keterangannya, WHO juga menyampaikan, penutupan sekolah berdampak tidak hanya pada pembelajaran siswa.
Tetapi juga pada kesehatan dan kesejahteraan di tahap perkembangan kritis anak yang dapat menimbulkan efek jangka panjang.
Selain itu, anak-anak yang tidak bersekolah juga menghadapi risiko eksploitasi tambahan termasuk kekerasan fisik, emosional dan seksual.
Dalam keterangan tersebut, WHO maupun UNICEF juga menyoroti peningkatan pernikahan anak, dan kekerasan anak yang menunjukkan tingkat mengkhawatirkan.
Peradilan agama mencatat kenaikan tiga kali lipat permintaan dispensasi perkawinan, dari 23.126 pada 2019 menjadi 64.211 pada 2020.
Prioritas utama program pembukaan sekolah
Sementara itu, perwakilan UNICEF Debora Comini menyampaikan, sekolah bagi anak-anak lebih dari sekedar ruang kelas.
Sekolah memberikan pembelajaran, persahabatan, keamanan dan lingkungan yang sehat.
Menurutnya, semakin lama anak-anak tidak bersekolah, maka mereka tak lagi mendapatkan hal tersebut.
“Ketika pembatasan Covid-19 dilonggarkan, kita harus memprioritaskan pembukaan kembali sekolah yang aman sehingga jutaan siswa tidak menderita kerusakan seumur hidup pada pembelajaran dan potensi mereka,” kata dia.
Baca juga: Ini Dua Aturan Wajib saat Naik Pesawat Selama PPKM di Indonesia, Tapi Tak Berlaku di Jabodetabek
Ia mengingatkan, ketika pembukaan sekolah dilakukan, maka sekolah harus memberikan respons pemulihan yang tepat guna meminimalkan dampak penutupan sekolah jangka panjang pada kehidupan anak-anak yang terjadi selama ini.
UNICEF menyerukan mengenai tiga prioritas utama yang harus dilakukan sekolah terkait pemulihan tersebut, yakni:
- Program yang ditargetkan untuk membawa semua anak dan remaja kembali ke sekolah dengan aman di mana mereka dapat mengakses layanan untuk memenuhi pembelajaran individu, kesehatan, kesejahteraan psikososial, dan kebutuhan lainnya.
- Membuat rencana penyegaran kembali pembelajaran atau remedial untuk membantu siswa mengejar pembelajaran yang hilang sambil tetap melanjutkan materi akademik baru.
- Dukungan bagi guru untuk mengatasi kehilangan pembelajaran, termasuk melalui teknologi digital.
Survei sekolah daring
UNICEF juga menyoroti, pada masa anak-anak tidak bersekolah dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan, banyak anak menghadapi kendala dalam pendidikannya.
Sebuah survei yang dilakukan pada kuartal 2020 di 34 provinsi dan 247 kabupaten menunjukkan bahwa lebih dari setengah (57,3 persen) kendala internet yang memadai sulit didapatkan.
Selain itu sekitar seperempat orang tua menyebut mereka kekurangan waktu dan kapasitas untuk mendukung anak-anak melakukan PJJ.
Adapun hampir tiga dari empat mengaku khawatir ketinggalan pembelajaran.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat WHO dan UNICEF Desak Indonesia Segera Gelar Sekolah Tatap Muka...",