Traveling

Wisata Budaya di Bangka Belitung, Mengintip Kisah dan Ritual Suku-suku di Pulau Terpencil

Wisata Budaya di Bangka Belitung, Mengintip Kisah dan Ritual Unik Suku-suku di Pulau Terpencil. Berikut Ulasannya :

Gedenkboek Billiton, 1927/Repro Wahyu Kurniawan
ILUSTRASI: Kulek Terakhir 

POSBELITUNG.CO -- Suku Sawang adalah kelompok etnis yang hidupnya berpindah-pindah di laut kawasan pantai pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Di Pulau Bangka, mereka menyebar di daerah Lepar Pongok dan Pangkalan Baru, sedangkan di Pulau Belitung mereka menyebar di daerah Membalong dan beberapa daerah lainnya. Suku Sekak di Pulau Bangka sering juga disebut dengan orang Sakai atau orang Mapur karena sebagian besar kehidupannya dihabiskan di laut.

Hal inilah yang membuat mereka terkadang disebut dengan Orang Laut. Di sisi lain, suku Sawang di Pulau Belitung dikenal sebagai Ameng Sewang.

Seperti dikutip pada Laman Wikipedia disebutkan, bahasa yang dipakai oleh suku Sawang adalah bahasa Sekak. Bahasa Sekak termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu namun dialek bahasa Sekak sangat berbeda pada dialek bahasa suku bangsa asli lain di daerah tersebut.

Komunitas masyarakat Sawang di Pulau Bangka oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dikategorikan sebagai komunitas adat.

Baca juga : Wisata Budaya Suku Badui, Mereka Mengaku Keturunan Batara Cikal, Dewa yang Diutus Turun ke Bumi

Di sisi lain, Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkategorisasikan komunitas masyarakat Sawang sebagai komunitas adat.

Kehidupan di atas perahu menyebabkan mereka sangat tergantung pada keadaan alam. Apabila keadaan laut sedang tidak memungkinkan, maka mereka akan tinggal di rumah perahu.

Mereka menetap sementara di pemukiman yang dibangun di tepi pantai. Biasanya, mereka tinggal di darat hanya untuk beberapa saat saja.

Waktu yang singkat itu menyebabkan mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan suku bangsa lainnya. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mereka pada waktu itu digolongkan sebagai “masyarakat terasing”.

Asal-usul

Pengembara laut di perairan Bangka dan Belitung pada umumnya dipanggil atau disebut dengan Orang Laut, namun banyak juga yang menyebutnya pada sebutan Sekak, Sekat, Sika dan Sekah.

Arti dari nama tersebut tidak dapat dijelaskan. Riedel berpendapat jika nama tersebut diduga berkaitan dengan sekat atau pantai muara di sungai-sungai di Melayu sangatlah tidak meyakinkan.

Hal tersebut kemungkinan hanya “pembelokan” atau “pemlesetan” dari nama Sekana(k), suatu nama dari manusia perahu perompak yang berasal dari Lingga. Mereka adalah orang-orang keturunan panglima yang menguasai Jahore, yang selama puluhan tahun dilecehkan di perairan Pantai Bangka.

Setelah melakukan pembajakan di perairan Kepulauan Riau-Lingga, mereka diusir dan pergi ke Pulau Bangka untuk melanjutkan hidup dan tinggal menetap di perahu-perahu kecil.

Apabila anggapan mengenai asal-usul nama sekah tersebut benar, maka hal tersebut dapat bermakna bahwa Orang Laut telah berbaur dengan orang Sekana. Suku Sekah sendiri memang memiliki reputasi yang sangat buruk di awal abad ke-19 akibat pembajakan yang dilakukan bersama dengan orang Rayat dari Lingga. Kegiatan yang dilakukan seperti bajak laut Lingga tersebut dibiayai dan didorong oleh seorang tokoh lokal Melayu Belitung.

Satu di antara sejumlah versi mengenai asal-usul suku Sawang menyebutkan bahwa orang Sekak yang berdiam di Pulau Bangka merupakan keturunan Orang Laut, yang berasal dari pulau-pulau kecil yang sekarang termasuk ke dalam wilayah negara Malaysia.

Dalam pengembaraannya sebagai nelayan nomaden, Orang Laut kemudian menetap di Kubung, Kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka. Keturunan dari Orang Laut inilah yang kemudian dikenal sebagai orang Sekak.

Baca juga : Wisata Budaya, Mengenal Asal-usul Suku Dayak di Kalimantan, Simpan Kisah Sakral Penuh Pantangan

Versi lain dari sejarah lisan mengenai asal-usul Suku Sawang mengatakan bahwa kata sawang berasal dari nama pohon yang sering disebut dengan pohon bukat atau pohon sawang.

Dengan buah sawang serta ilmu gaib yang dimiliki oleh nenek moyang mereka, maka orang Sawang mampu membunuh para perompak atau bajak laut yang disebut dengan Lanun. Lanun yang juga sering disebut dengan Ilanun merupakan warga asli Kepulauan Laluna di Filipina bagian selatan.

Mereka adalah perompak laut yang sangat ditakuti oleh padagang yang melintas di perairan Asia Tenggara. Setelah orang Sawang mampu membunuh para perompak, maka orang-orang Lanun yang masih hidup menyatakan menyerah dan mengajak berdamai dengan orang Sawang. Mereka pun menjalin hubungan perkawinan dan anak-anak hasil perkawinan antara orang Sawang dengan Lanun lantas tersebar di berbagai kepulauan di Nusantara dan Filipina.

Tradisi orang Sawang yang mengembara di laut dan tidak pernah terikat dengan tempat bermukim secara permanen telah menyebabkan terjadinya persebaran yang luas anak keturunan orang Sawang dan Lanun. Persebaran mereka diduga ada di sekitar Kepulauan Sulu, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung, bahkan sebagian dari warga masyarakat Melayu Belitung merupakan keturunan dari orang Sawang dan Lanun.

Karakteristik

Suku Sawang menjadi terkenal ketika Andrea Hirata dalam buku novelnya yang berjudul "Laskar Pelangi" menyebutkan tentang keberadaan orang Sawang di Belitung Timur serta mendeskripsikan tentang karakteristik fisik dan perilaku sosial dari suku Sawang.

Warna kulit orang Sawang pada umumnya cokelat dan relatif lebih gelap apabila dibandingkan dengan orang Bangka dan Belitung pada umumnya. Bisa dikatakan warna kulit orang Sawang terlihat legam karena terlalu banyak terpapar sinar matahari. Rambut mereka lurus dan sebagian yang lain bergelombang dan kaku seperti mayang mengurai. Selain itu, badan mereka juga terlihat kekar dan tegap.

Generasi kedua dan ketiga dari suku Sawang yang tinggal di darat sudah sulit dibedakan dengan masyarakat Bangka dan Belitung pada umumnya karena banyak sekali terjadi perkawinan dengan warga suku bangsa lain yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Perkawinan antara suku Sawang dengan orang dari suku lain merupakan sesuatu yang biasa terjadi pada umumnya.

Tradisi Muang Jong

Masih dikutip pada Laman Wikipedia disebutkan, Suku Sawang di daerah ini percaya kekuatan di laut itu akan memberikan keselamatan sekaligus keberkahan.

Makanya pada waktu-waktu tertentu digelar acara yang dinamakan pada istilah Muang Jong (Buang Jong).

Muang Jong atau Upacara Muang Jong dilaksanakan tiga hari tiga malam berturut-turut.

Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun.

Pelaksanaannya kemudian diikuti oleh semua orang Sawang dari berbagai wilayah di sekitar Pulau Belitung.

Upacara Muang Jong akan diawali pada tradisi mengambil kayu di hutan oleh masyarakat Sawang.

Sang dukun akan lebih dulu masuk hutan untuk menentukan kayu yang dapat diambil.

Ketika dukun sudah memastikan area hutan mana yang dapat diambil kayunya, masyarakat kemudian berduyun-duyun memasuki hutan keesokan harinya diiringi oleh sang dukun.

Sesampainya di dalam hutan yang dituju, dukun akan mengadakan komunikasi secara gaib dengan makhluk halus penghuni hutan.

Baca juga : Wisata Budaya Pulau Belitung, Di Balik Kisah Makan Bedulang dan Lesong Panjang, Kini Resmi Jadi WBTb

Dukun akan memberikan sinyal kepada warga ketika sudah diperbolehkan untuk menebang pohon.

Tradisi Muang Jong dilaksanakan setiap tahun di daerah setempat.

Tujuannya sebagai sarana untuk memohon diberikan perlindungan dan keselamatan bagi siapapun yang mencari nafkah di laut.

Dikutip pada berbagai sumber disebutkan, ritual bahari ini dapat menjadi bagian ungkapan rasa syukur, tolak bala dan berbagai kasih sayang dengan makhluk penghuni laut lainnya.

Prosesi ritual adat mulai persiapan hingga puncak Muang Jong akan dilakukan oleh Suku Sawang atau Suku Laut yang masih eksis hingga saat ini di Desa Selinsing, Kecamatan Gantung.

Intinya Muang Jong kurang lebih bermakna ritual adat memohon keselamatan saat melaut.

Tradisi Suku Sawang atau Suku Sekak merupakan ritual yang luar biasa dan masih dipertahankan.

Pada ritual tersebut para pelaku ritual akan melakukan aktivitas seolah "menyanyi" pada setiap prosesi.

Banyak orang menilai aktivitas itu adalah menyanyi biasa.

Padahal itu adalah mantra pada Acara Muang Jong yang dinilai bisa menimbulkan kesan magis saat ritual berlangsung.

Ritual ini boleh dikatakan sangat langka mungkin tidak ada lagi di tempat lain.

Momen ini juga menunjukkan bahwa ritual tersebut terus eksis dan konsisten dilestarikan keasliannya. 

Nah, anda tertarik berwisata melakukan traveling ke Pulau Belitung ? Anda pasti puas setelah mengenal berbagai tradisi budaya dan juga suku di daerah ini.

Selain terkenal pada keindahan panorama pantainya, masih banyak tawaran menarik di pulau ini. Selamat mencoba ! (Posbelitung.co/Wikipedia)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved