POSBELITUNG.CO -- Presiden RI ke-2 Soeharto resmi mengakhiri jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun pada 21 Mei 1998, tepat 25 tahun silam.
Soeharto resmi lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI usai gelombang protes dan kerusuhan di seluruh negeri.
Namun, sebelum Soeharto lengser, berbagai rentetan peristiwa telah menunjukkan tanda-tanda hilangnya pengaruh sang Jenderal besar ini.
Jatuhnya Soeharto membawa kebebasan baru tidak hanya bagi orang Indonesia, tetapi juga bagi etnis Tionghoa yang mengalami diskriminasi oleh rezim Orde Baru (Orba).
Soeharto dikenal mengadopsi kebijakan untuk mengasimilasi etnis minoritas Tionghoa dan menjadikan mereka lebih 'Indonesia'.
Etnis Tionghoa dipaksa untuk menggunakan nama ala Indonesia dan sering diminta untuk menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).
Di masa pemerintahan Soeharto, pertunjukan budaya seperti aksara Tionghoa dan perayaan Tahun Baru Imlek dilarang.
Baca juga: Cair Mulai Juni, Ini Besaran Gaji ke-13 2023 PNS dan Pensiunan sama dengan THR, Termasuk TNI - Polri
Baca juga: Biodata Salma Salsabil, Juara Indonesian Idol 2023 yang Kini Harus Siap Adu Nasib di Ibu Kota
Baca juga: Jadwal PPDB Babel 2023 SMA dan SMK, Lengkap Kuota Penerimaan, Syarat dan Cara Daftar Pra Pendaftaran
Menurut sensus penduduk nasional tahun 2010, terdapat sekitar 2,8 juta orang etnis Tionghoa di Indonesia, sementara total penduduk sekitar 237 juta.
Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 1945, penguasa kolonial Belanda mengklasifikasikan etnis Tionghoa di tengah piramida sosial.
Etnis Tionghoa ditempatkan di bawah orang Eropa dan di atas pribumi.
Sekarang, keadaan sudah berubah.
Tahun Baru Imlek sekarang menjadi hari libur nasional, sementara Konfusianisme – dikenal sebagai Konghucu – telah diakui sebagai salah satu dari enam agama di Indonesia.
Kini SBKRI tidak lagi dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang Tionghoa Indonesia juga semakin terlihat dalam politik sejak 1998, termasuk mantan menteri pemerintah Indonesia, Mari Elka Pangestu, dan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai Ahok.
Al Jazeera telah mewawancarai beberapa orang Tionghoa di Indonesia yang tumbuh di bawah rezim Orba.
Selengkapnya, berikut ini rangkuman kisah mereka.
1. Evi Mariani (46)
Evi Mariani merupakan satu di antara pendiri dan direktur eksekutif Project Multatuli – sebuah media independen yang memberitakan tentang orang-orang terpinggirkan di Indonesia – sejak 2021.
Baca juga: Belitung Timur Tertinggi Penyakit Sifilis, Ada 14 Orang, Kenali Gejala Sifilis dan Cara Mengobatinya
Baca juga: Daftar Lengkap Harga OPPO Terbaru AKhir Mei 2023, dari OPPO A96, A78 5G Hingga Find N2 Flip
Baca juga: Biodata Anggi Marito, Gadis Cantik Berdarah Batak Curhat di Medsos, Diduga Sindir Indonesian Idol
Lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat, Eva sekarang tinggal di Tangerang Selatan, Banten dan memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai jurnalis.
Orang tua Evi menikah pada tahun 1970.
Namun orang tua Eva bercerai pada tahun yang sama karena dokumen kewarganegaraan Indonesia ayahnya tidak terdaftar di catatan sipil Indonesia sehingga dirinya tidak dianggap sebagai orang Indonesia.
Berdasarkan undang-undang kewarganegaraan saat itu, di bawah sistem tersebut, tidak ada anak-anaknya yang dianggap orang Indonesia juga.
Dengan perceraian tersebut, anak-anak mereka akan dianggap lahir "di luar nikah" dan mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia karena ibunya orang Indonesia dan surat-suratnya dianggap asli.
“Sangat sulit bagi (etnis) Tionghoa untuk disebut orang Indonesia,” kata Evi kepada Al Jazeera.
Sebagai seorang mahasiswa pada 1994, dia ingat seorang pejabat universitas di Yogyakarta meminta SBKRI-nya untuk “tujuan administratif”.
Kala itu, dia menyadari pejabat itu ingin dirinya memberi sejumlah uang – sesuatu yang tidak dialami oleh rekan-rekannya yang bukan Tionghoa.
2. Angelique Maria Cuaca (32)
Angelique Maria Cuaca secara rutin mengadvokasi keragaman agama dan dialog antaragama di kampung halamannya di Padang, Sumatra Barat, melalui organisasi pemuda lintas agama Pelita Padang yang ia dirikan pada 2019.
Baca juga: Harga dan Spesifikasi HP OPPO A31 RAM 6 GB di tahun 2023 Turun Drastis, Harga OPPO A16 juga Turun
Baca juga: Daftar Lengkap Harga OPPO Terbaru AKhir Mei 2023, dari OPPO A96, A78 5G Hingga Find N2 Flip
Baca juga: Daftar Harga 7 HP OPPO Terbaik untuk Dibeli di Mei 2023, OPPO A96, A78 5G Hingga Find N2 Flip
Menurut Indeks Kota Toleran 2022 yang diluncurkan oleh SETARA Institute for Democracy and Peace di Indonesia pada bulan April, Padang mencatat skor toleransi terendah ketiga dari 94 kota yang disurvei di seluruh Indonesia.
“Kota-kota dengan kepemimpinan yang mengedepankan identitas keagamaan tertentu baik secara visi maupun misi cenderung mengeluarkan kebijakan (yang terkesan menunjukkan) keberpihakan terhadap identitas keagamaan yang mewakili dirinya sendiri,” kata lembaga tersebut dalam pernyataan pada skor.
Lahir dari keluarga multietnis dan multiagama – dengan nenek dari pihak ayah seorang Muslim Minang dan kakek dari pihak ayah seorang Katolik Tionghoa – Angelique telah berpartisipasi dalam berbagai perayaan budaya dan agama bersama keluarganya sejak dia masih kecil. Namun, orang tuanya mengkhawatirkan keselamatannya ketika dia terlibat dalam aktivisme.
Angelique berusia tujuh tahun ketika kerusuhan Mei 1998 pecah.
Kekacauan di kampung halamannya lebih ringan dibandingkan dengan situasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Meda.
“Saat itu, suasana mencekam di Jawa bisa dirasakan di Padang juga.”
Angelique juga mengatakan orang tua Tionghoa-Indonesia menjadi khawatir jika anaknya memilih jurusan sosial politik di perguruan tinggi atau terlibat dalam aktivisme sosial karena apa yang mereka lihat di era Orde Baru.
“Selama satu dekade, mereka mencoba meyakinkan saya bahwa apa yang saya lakukan adalah kesalahan besar,” katanya kepada Al Jazeera.
Meskipun pekerjaannya dengan Pelita Padang terutama berfokus pada keragaman agama, Angelique mengatakan kelompok itu juga bekerja sama dengan organisasi lain dalam isu-isu lain.
“Masalah keragaman tidak pernah bisa hanya menjadi masalah keragaman. Kalau ini sendirian, akan melelahkan dan cenderung terjebak dalam masalah pertarungan antar identitas,” ujarnya.
3. Dede Oetomo (69)
Dede Oetomo adalah pendiri dan pengurus Yayasan GAYa NUSANTARA, yang telah mengkampanyekan kesetaraan dan kesejahteraan gender dan minoritas seksual di Indonesia sejak tahun 1987.
Sebelumnya, Dede aktif di Lambda Indonesia, yang digambarkannya sebagai “organisasi gay pertama” di Indonesia.
Berasal dari Pasuruan, Jawa Timur, ayah Dede memiliki nama Indonesia untuknya sejak tahun 1964 dan menggambarkan keluarganya sebagai "kebarat-baratan".
Orang tuanya fasih berbahasa Belanda dan tidak bisa berbahasa Mandarin.
Selain bahasa Indonesia, Dede fasih berbahasa Jawa.
Dia tidak berbicara bahasa China karena keluarganya tidak lagi berbicara salah satu dari mereka, yang berarti dia tidak memiliki paparan bahasa-bahasa Mandarin saat tumbuh dewasa.
Dosen dan cendekiawan, yang telah terang-terangan menjadi gay selama sekitar 40 tahun, mengatakan kebanyakan orang Tionghoa Indonesia sekarang “kurang lebih” bebas tetapi bentuk diskriminasi lainnya tetap ada.
“Sebagai orang 'aneh', tidak apa-apa. Anda hidup dengan kebencian di sekitar Anda,” katanya kepada Al Jazeera.
"Saya pribadi cukup kuat, jadi saya mengabaikannya," tegasnya.
Menurut Laporan Dunia Human Rights Watch 2023, “Indonesia juga semakin banyak menggunakan undang-undang lain untuk menargetkan dan menuntut orang-orang LGBT, termasuk undang-undang Anti-Pornografi 2008”.
“Keanekaragaman tidak boleh didiskriminasi [dan] tidak boleh dibatasi," ucapnya.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com