Selembar Nota dari Ajudan, Soekarno Mendadak Hentikan Pidato Pasca G30S/PKI, Isinya Mencekam
"Nota itu berisi informasi sekelompok pasukan tak dikenal yang menanggalkan segala tanda pengenal mereka sehingga..."
Dalam balutan pakaian militer lengkap, pria itu, Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, menghadapkan badannya ke sebuah cermin di lemari besar.
Beberapa kali dia merapikan pakaian agar tak terlihat kusut.
Tentara yang kini sudah masuk dan menguasai lantai 1 rumah itu semakin galak.
Tembakan dilepaskan.
Sejumlah perabot dan vas yang menjadi hiasan pun jadi sasaran penembakan.
Istri dan anak DI Panjaitan yang berada di lantai 2 semakin terlihat ketakutan.
Baca: Video Wapres Jusuf Kalla Asyik Joget Tik Tok Bersama Cucunya Viral, Begini Aksinya
Baca: Zodiak Hari ini Minggu 30 September 2018, Libra Hoki, Scorpio Visioner, Taurus Mood-nya Jelek
Apalagi, seorang asisten rumah tangga melaporkan bahwa dua keponakan Panjaitan yang di lantai bawah, Albert dan Viktor, terkena tembakan.
Namun, Panjaitan tetap tenang. Dengan langkah perlahan, dia turun ke lantai 1 yang dikuasai pasukan yang disebut dari satuan Cakrabirawa, pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno.
Saat DI Panjaitan berada di bawah, tentara itu memaksanya untuk segera naik ke truk yang akan mengantarnya ke Istana. Kata para tentara, jenderal berbintang satu itu dipanggil Presiden Soekarno karena kondisi darurat.
Seorang jenderal diundang ke Istana oleh gerombolan tentara, tentu merupakan hal yang janggal. Akan tetapi, dalam todongan senjata, DI Panjaitan tetap tidak panik. Dia menyempatkan diri untuk berdoa, yang menyebabkan para tentara itu semakin marah.
Seorang tentara kemudian memukulkan popor senjata, tetapi DI Panjaitan menepis sebelum benda keras itu menghantam wajahnya.
Tentara yang lain marah, Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat itu ditembak. DI Panjaitan tewas. Jenazah DI Panjaitan segera dimasukkan ke dalam truk dan dibawa pergi.
Meski demikian, darah pria kelahiran Balige, Sumatera Utara itu masih berceceran di teras rumah. Putri sulung Panjaitan, Catherine, menyaksikan penembakan itu.
Dia terlihat shock saat ayahnya ditembak. Setelah gerombolan tentara itu pergi, didatanginya tempat ayahnya ditembak.
Darah yang masih berlumuran di teras itu pun dipegangnya penuh haru. Kemudian, tangan yang penuh darah itu diusapkannya ke wajah.
Baca: Selamat Dari Gempa, Pasha Ungu dan Istri Tinggalkan Rumah Dinas Lalu Tidur di Tenda Pengungsian
Baca: Ahli Arkeologi Temukan Kapal Berusia 400 Tahun di Perairan Portugal, Ternyata Ada Benda ini