Selembar Nota dari Ajudan, Soekarno Mendadak Hentikan Pidato Pasca G30S/PKI, Isinya Mencekam

"Nota itu berisi informasi sekelompok pasukan tak dikenal yang menanggalkan segala tanda pengenal mereka sehingga..."

IST
Soekarno 

***

Cerita di atas merupakan salah satu adegan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI (1984) besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.

Bagi anak-anak yang besar pada periode 1990-an, tentu tidak asing dengan film yang menggambarkan peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang dalam film itu disebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia.

Sedangkan adegan putri Panjaitan yang membasuh wajahnya dengan darah, merupakan salah satu adegan yang sulit dilupakan bagi penontonnya.

Tidak hanya itu, sejumlah kutipan yang berasal dari film itu juga masih terngiang hingga sekarang.

Misalnya, "Darah itu merah, jenderal", yang muncul saat adegan penyiksaan terhadap tujuh jenderal Pahlawan Revolusi di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kutipan lain? "Jawa adalah kunci!"

Saat mendengar kalimat itu, tentu terbayang adegan rapat-rapat PKI yang begitu serius, dalam ruangan penuh asap rokok. Secara garis besar, film yang dibuat di masa pemerintahan Presiden Soeharto ini mencoba menggambarkan situasi negara yang begitu kacau pada 1965, saat terjadi "pemberontakan PKI".

Pro dan kontra pun mengiringi keberadaan film ini. Sebagian orang percaya dengan brutalnya kisah yang disajikan. Sedangkan, sebagian yang lain meragukan cerita yang ditampilkan sama seperti sejarah yang terjadi saat itu.

Terlepas dari kebenaran konten cerita yang ditawarkan, film ini menyuguhkan karya sinematografi dan seni peran yang paripurna.

Baca: Bisa Lihat Patung Garuda Wisnu Kencana & Sunset, Begini Megahnya Rumah Anang-Ashanty di Bali

Baca: Komitmen KBRI Riyadh, Akan Bantu Habib Rizieq jika Tersandung Masalah Hukum di Arab Saudi

Ditambah, efek warna dan suara mencekam membuat penontonnya terbawa dengan suasana kelam saat itu.

Salah satu sinematografer yang juga seorang sutradara film The Origin of Fear (2016), Bayu Prihantoro Filemon, membagikan pandangannya.

Menurut Bayu, sejumlah adegan kekerasan dengan latar suara yang mencekam membuat film itu menyerupai film horor. "Film ini bisa saya sebut 'horor paripurna'," kata Bayu.

"Karena film ini, dengan segala keterbatasannya, berhasil menebar teror sekaligus menjadi trauma generasi," kata sutradara yang memenangkan Best Short Film di Art Film Fest Kosice di Slovakia pada 2017 ini.

Bayu melanjutkan, film yang merupakan proyek pemerintah ini mampu mewujudkan realitas film menjadi realitas nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Sutradara yang karyanya juga masuk dalam nominasi Best Short Film di Venice Film Festival ini menyebutnya sebagai pseudomemory sejarah bangsa.

Menurut Bayu, hal itu berhasil dicapai meskipun film ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi.

Baca: Wanita Asal Garut Tertangkap Narkoba di Beltim

Baca: Masjid Apung di Palu Porak Poranda Serta Posisinya Bergeser usai Dihantam Gempa dan Tsunami

"Dari sisi teknis, termasuk perihal efek suara, kualitas akting, sudut pengambilan gambar, dan musik, film Pak Arifin tersebut tentu saja tetap ada kekurangannya," kata Bayu.

"Saya tumbuh dengan bahasa-bahasa film yang lebih modern dibandingkan dengan apa yang ada di film tersebut," ujar Bayu, yang juga berprofesi sebagai dosen.

Hingga 1998, film bergenre docudrama ini selalu ditayangkan melalui saluran televisi nasional.

Bahkan sebelumnya, pemerintah mewajibkan semua siswa-siswi di sekolah untuk menonton film ini di bioskop.

Tak heran, pesan yang disampaikan melalui rangkaian cerita yang dibangun melekat erat di ingatan para penontonnya.

Dalam hal ini, penontonnya ialah generasi yang besar di era akhir '80-an dan periode '90-an. Kompas.com mencoba bertanya pada sejumlah orang yang pernah menyaksikan film berdurasi lebih dari 4 jam ini.

Beberapa di antaranya mengaku percaya penuh pada cerita kekejaman PKI yang dibawakan film itu.

Salah satunya diutarakan Achmad Zacky (35).

Baca: Kisah Pendaki Gunung Yang Hilang 6 Hari Digondol Hantu Putri Cantik di Gunung Singai

Baca: Habib Rotan, Ulama dari Poso yang Sangat Dikagumi Ustadz Abdul Somad, Begini Sosoknya

"Percaya, PKI itu kejam. Kalau saat ini masih ada yang seperti itu, rasanya dendam sekali," ujar Zacky.

Hal serupa disampaikan oleh Anik (47) yang mengaku sudah berulangkali menonton film itu.

"Tidak tahu aslinya, tahunya kacau. Ya percaya saja, memang itu berdasarkan tragedi G30S/PKI," kata Anik. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang memahami film tersebut sebagai bentuk propaganda pemerintah.

Salah satunya Fachrudin (29).

Akan tetapi, awalnya Fachrudin percaya dengan penggambaran dalam film itu.

"Reaksi pertama nonton saat masih SD kelas 1 enggak takut, terus percaya kalau PKI itu jahat," kata Fachrudin.

Seiring tumbuh dewasa, Fachrudin kemudian mendapatkan cerita dari salah seorang yang berusia tua mengenai sejarah periode 1965-1966.

"Kemudian waktu baca buku Tan Malaka dan lihat film Senyap (2014), kayaknya apa yang dibilang Si Mbah benar," ucap dia, sambil tertawa.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Heri (45) saat ditanyai pandangannya tentang film yang dibintangi Amoroso Katamsi dan Syubah Asa ini.

Baca: Sederet Foto Cantik Khirani, Putri Tunggal Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo

Baca: Lucinta Luna Tiba-tiba Ngamuk saat Atta Halilintar Tanya Soal KTP: Jangan Macem-macem Lo Ya!

Menurut Heri, film itu bernilai propaganda sejarah.

"Itu propaganda saja. Bapak-Ibu dulu sudah sering menceritakan tentang siapa Soekarno, siapa Soeharto.

Jadi saya bisa menyebut siapa yang sebetulnya PKI, bukan yang digambarkan dalam film," ujar Heri.

Kembali ke pembahasan film, Bayu Prihantoro Filemon menilai, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI memang dapat memiliki dampak dalam kehidupan bermasyarakat di masa depan.

Dia mengaku ada kekhawatiran bahwa ketakutan yang selalu berulang setiap tanggal 30 September terus tertanam.

"Ini berdampak ke bagaimana kehidupan berdemokrasi negara kita dipahami dan diejawantahkan dalam keseharian kita. Apa sih yang lebih mengerikan dibanding hal-hal tersebut?" kata dia.

(Kompas.com/ Luthfia Ayu Azanella)

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Akibat Selembar Nota dari Ajudan, Soekarno Mendadak Hentikan Pidato Pasca G30S/PKI, Isinya Mencekam

Baca: Ariel Tatum Pangkas Rambutnya jadi Pendek, Tampil Lebih Segar, Mirip Kylie Jenner?

Baca: SBY Tiba-tiba Minta Maaf ke Jokowi Terkait Tweet Andi Arief yang Dinilai Terlalu Keras, Ini Pesannya

Baca: Gelar Ratu Kecantikan Ukraina 2018 Dicopot Padahal Baru 4 Hari Diraih, Penyebabnya Bohong Soal Ini

Baca: Presiden AS Donald Trump Jadi Bahan Tertawaan di PBB

Baca: Tampak Sepele Tapi Perlu Diantisipasi, Ini 5 Tanda Awal Penyakit Diabetes yang Sering Tak Terdeteksi

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved