TAJUK RENCANA
Ketika UU Pers Tak Kuasa Hadapi Gerusan Zaman
Insan pers adalah mereka yang setiap ucapannya adalah kebenaran, tatap matanya tajam merekam fakta dan hela nafasnya selalu menghembuskan kejujuran
SEBUAH Undang-undang selalu lahir untuk menjawab tantangan yang ada pada zamannya. Tak terkecuali, UU No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Lahir beriringan dengan tumbangnya orde baru, tentu bisa ditebak bahwa undang-undang itu lahir saat euforia reformasi. Isi kebebasan pers yang menjadi nadi utama UU Pers itu hingga kini bahkan masih cukup jelas menggambarkan sekaligus menjadi catatan sejarah bagaimana kala itu orde baru memberangus pers.
Gambaran sosiopolitik semakin terekam jelas manakala kita merunut undang undang sebelumnya yang mengatur kehidupan pers nasional. Sekadar mengingatkan, UU N0.40/1999 bukanlah undang-undang pertama yang mengatur tentang kehidupan pers nasional.
Sebelumnya, pers nasional diatur melalui UU No. 11/1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers yang kemudian diubah dengan UU No. 4/1967 yang diubah lagi pada 1982 menjadi UU No.21/1982 .
Dalam satu klausul pada UU No.40/1999 juga disebutkan dengan jelas bahwa UU ini lahir lantaran UU Pokok Pers sebelunya dinilai sudah tak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Artinya, UU No.40/1999 ini merekam betul bagaimana perubahan antara orde baru dengan orde reformasi kala itu.
UU No.40/1999 tentang pers lahir di saat momentum perubahan zaman, antara tumbangnya orde baru beralih ke orde reformasi, sehingga gelora membangkitkan eksistensi pers pada momentum yang tepat. UU No.40/1999 lahir untuk menghidupkan kembali peran pers yang sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus ikut membangun peradaban.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah, setelah dua dekade berjalan, apakah UU No.40/1999 ini apakah masih relevan? Bahasa lainnya, apakah perkembangan dan tantangan zaman saat ini masih cukup relevan bagi pers untuk tetap berpedoman pada UU No.40/1999 yang memiliki ruh utama kebebasan tersebut?
Apalagi, kita bisa berspekulasi logis, bahwa lahirnya UU No.40/1999 kala itu benar-benar muncul lantaran euforia. Otoritarian pemerintah berkedok demokrasi kala itu benar-benar memiliki kuasa betul untuk memberangus pers.
Pers betul-betul ada dalam ketiak kekuasaan sehingga pers dipaksa menjadi alat propaganda alias pembenar dari apa yang diinginkan kekuasaan. Bisa dipastikan, UU No.40/1999 untuk keluar dari belenggu dan sama sekali tidak disiapkan untuk menjawab tantangan digitalisasi yang belakangan cukup deras menekan kehidupan pers nasional.
Belum lagi tantangan di era industri 4.0 yang hadir bersamaan dengan disruption yang semua paham terus menekan denyut nadi kehidupan pers kita, bahkan secara global. Betul memang, pers tidak serta merta hanya diartikan sebagai koran cetak, namun harus dimaknai dari semua paltform seiring dengan perkembangan zaman.
Kita semua merasakan betul, kebebasan pers yang menjadi ruh dari UU No.40/1999 sepertinya justri menjadi ‘candu’ yang pelan namun pasti menjadikan pers menjadi kehilangan marwahnya. Kebebasan pers yang sebelumnya adalah ‘perlawanan’ terhadap kekuasaan kini sudah berubah makna menjadi kebebasan yang cenderung tidak terkendali.
Kita semua melihat, merasakan dan menyadari, dengan mengatasnamakan kebebasan pers, media baru tumbuh bak jamur di musim hujan. Kita juga tahu, tidak semua media yang tumbuh ini mengusung marwah yang selama ini diperjuangkan insan pers sebelumnya.
Tidak sedikit media baru yang lahir justru berada di jalur pragmatisme sebagai fondasi pemikiran dan dasar berdirinya sebuah media. Bahkan tak sedikit, akibat tekanan, banyak insan pers dan media yang awalnya berada di rel benar mulai menganut azas pragmatisme.
Terasa betul jika saat ini, pers kita benar-benar terdegradasi dari dalam. Dan kita tahu pasti, UU No.40/1999 tidak memiliki jawaban atas keresahan ini. Ironisnya, kita semua masih saja kecanduan dengan kebebasan pers yang menjadi mazab utama dari kehidupan pers kita.
Jika boleh berpendapat, dan pasti akan menjadi bahan diskursus yang tajam, kelemahan dari UU No.40/1999 justru terletak pada adanya ‘imunitas’ alias kesaktian pers termasuk didalamnya profesi jurnalis yang ada di dalamnya. UU No.40/1999 menempatkan pelaku pers sebagai profesi yang boleh dibilang sakti setengah dewa.
