Kisah Inspiratif Para Srikandi Belitong

Kisah Sukses Tiga Srikandi Belitong Raih Cumlaude Merengkuh Gelar Doktor di Dalam dan Luar Negeri

Posbelitung.co mengangkat kisah sukses para Srikandi Belitog inipada suatu edisi liputan khusus. Berikut kisah inspiratif mereka.

Editor: Dedi Qurniawan
ist
Nyiayu Hesty Susanti (28) sedang berkunjung di sebuah padang rumput Kastil Kuno abad ke-14 Schloss Moyland, di Kleve, kota kecil perbatasan antara Jerman dan Belanda. 

Baru kemudian ia tahu, bahwa ternyata dirinya diterima karena memiliki nilai tertinggi di sekolah tersebut.

Peringkat pertama diraihnya selama SMA. Kata Hesty, hanya sekali yang tidak, tepatnya ketika di akhir kelas 3, karena dirinya banyak mempersiapkan diri mengikuti SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), alih-alih belajar persiapan UAN (Ujian Akhir Nasional).

Pendidikan tingginya dilalui Hesty di kampus yang dijuluki Kampus Ganesha itu. Waktu berlalu, setelah lulus S1 pada 2008, ia lanjut menempuh S2 di kampus yang sama hingga dinyatakan lulus pada 2010.

Mencari lowongan S3 di luar negeri, adik dari Firman Jaya ini pun sempat kuliah S3 di Ruhr-Universität Bochum, Jerman.

Tak sempat menyelesaikan studi, ia kembali ke tanah air untuk melanjutkan studinya kembali di ITB dengan menjadikan topik penelitiannya sebagai skema kerjasama dengan pembimbingnya di Jerman.

"Mulai mencari beasiswa lagi, akhirnya memutuskan daftar beasiswa LPDP. Daftar, alhamdulillah dapat, masuk lagi menjadi mahasiswa ITB pada Agustus 2016, meneruskan topik penelitian yang dibawa dari Jerman," ceritanya.

Dari masuk hingga dinyatakan lulus pada Kamis (26/6/2020) lalu, Hesty menyebut telah mengikuti delapan kali sidang.

Makanya, ia tak lagi grogi ketika berhadapan dengan para penguji. Selama masa penelitian yang panjang, menurutnya, ia justru menemukan hal lain dari dirinya, mengetahui sifat diri terdalam, batas kesabaran dan menyadari bahwa ilmu yang dimilikinya harus dipertanggungjawabkan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan banyak orang.

Perjalanan berliku ia lalui ketika menyelesaikan pendidikan S3, ia jadikan sebagai pengalaman berharga dalam hidupnya.

Pengalamannya selama di Jerman, dianggap Hesty makin memperkaya khazanah pengetahuan. Tak hanya di bidang keilmuan yang digelutinya, lebih dari itu, ia belajar bagaimana budaya masyarakat Eropa, khususnya Jerman dalam mengelola riset dan pendidikan dengan baik, budaya disiplin, kebersihan, dan toleransi.

Selain itu, karya-karya ilmiah yang dihasilkan Hesty selama menyelesaikan S3 di ITB diakuinya dapat lebih menyentuh konteks aplikasi di Indonesia, yang ditulisnya dalam 3 jurnal internasional, 2 jurnal nasional, 4 prosiding internasional, 1 prosiding nasional, 2 paten, dan 1 buku teks.

"Yang jadi concern setelah ini adalah bagaimana memanfaatkan ilmu yang sudah saya miliki untuk kemaslahatan masyarakat, untuk membantu orang lain. Saya ingat pesan almarhumah tante saya, bahwa ilmu itu harus bermanfaat, harus dibagi, dan tidak boleh disombongkan," katanya.

Dia menuturkan lingkungan keluarga membentuknya hingga berada di tahap ini. Di keluarganya, setiap potensi dihargai, inilah yang ingin dibaginya dengan banyak orang.

"Di masyarakat kita, pada umumnya, yang dianggap pintar kalau dapat 100 untuk semua mata pelajaran, jadi yang punya bakat di bidang lain, seperti olahraga atau seni bahkan dianggap tersier, padahal tidak seperti itu. Kami di rumah dihargai semua potensinya oleh orang tua," sebutnya.

Makanya, bakat apapun yang dimiliki, kepercayaan diri harus dimiliki. Selanjutnya, apapun yang dipilih, harus diyakini dan selalu bertanggung dengan setiap pilihan.

Halaman
1234
Sumber: Pos Belitung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved