MAKI Beberkan Ada Oknum Penegak Hukum Hapus Bukti Percakapan Perjalanan Jaksa Pinangki ke Malaysia

orang yang menghapus percakapan di ponsel milik R diduga kuat merupakan penegak hukum yang dekat dengan Jaksa Pinangki Sirna Malasari

Editor: Rusmiadi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pinangki Sirna Malasari, terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra,menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9/2020). 

ICW melaporkan tiga penyidik kejaksaan berinisial SA, WT, dan IP karena diduga melanggar kode etik saat menyidik kasus tersebut.

Salah satunya dengan tidak mendalami sejumlah hal berkaitan dengan kasus Pinangki, termasuk keterlibatan pihak lain.

"Pada hari ini ICW melaporkan Jaksa Penyidik perkara Pinangki Sirna Malasari ke Komisi Kejaksaan karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut.

Pelaporan dilakukan pukul 12.00 WIB dan diterima oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers secara daring, Rabu (14/10/2020).

Kurnia Ramadhana membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran etik yang dilakukan ketiga penyidik.

Dikatakannya, ketiga penyidik diduga tidak menggali kebenaran materiil kasus Pinangki.

Salah satunya mengenai keterangan Pinangki yang mengaku bersama seorang bernama Rahmat bertemu buronan sekaligus terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra di Malaysia pada 12 November 2019.

Saat itu, berdasarkan pengakuan Pinangki, Djoko Tjandra percaya begitu saja kepada Pinangki untuk dapat mengurus permohonan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.

Padahal, Pinangki 'hanya' menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung saat itu.

Kurnia menegaskan, Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Namun, dalam konteks ini, ICW melihat penyidik tidak mendalami lebih lanjut keterangan Pinangki mengenai pertemuannya dengan Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa.

Padahal, terdapat sejumlah kejanggalan terkait pengakuan Pinangki tersebut.

"Secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan kelas kakap, seperti Joko S Tjandra, yang telah melarikan diri selama sebelas tahun, bisa langsung begitu saja percaya dengan seorang Jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejaksaan Agung untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung," katanya.

Kurnia menjelaskan, Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengatur terkait fatwa bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.

Permohonan fatwa itu tidak bisa diajukan oleh individu masyarakat, melainkan lembaga negara.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved