Berita Pangkalpinang

29 Persen Remaja di Babel Sudah Pernah Melahirkan, Berpotensi Timbulkan Stunting hingga Krisis SDM

Pemerintah Provinsi Bangka Belitung tetap optimistis bisa menangani kasus anak stunting dan menekan pernikahan dini pada tahun 2023.

Penulis: Novita CC | Editor: Novita
Darwinsyah/Bangka Pos
Ilustrasi pernikahan. DP3ACSKB Bangka Belitung mencatat, persentase angka kelahiran remaja umur 15 -19 tahun di Bangka Belitung sebesar 29 persen pada tahun 2022. 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Provinsi Bangka Belitung (DP3ACSKB Babel) mencatat, persentase angka kelahiran remaja umur 15 -19 tahun di Bangka Belitung sebesar 29 persen pada tahun 2022.

Hal tersebut dibeberkan oleh Kepala Bidang Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana DP3ACSKB Babel, Wardiah, saat Rapat Kordinasi Program Pembinaan Keluarga Berencana dalam rangka Mengoptimalkan Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Banggakencana) di Sun Hotel, Pangkalpinang, Selasa (31/1/2023).

Angka tersebut pun menjadi perhatian DP3ACSKB Babel.

"Bahwa kita mencatat anak-anak pada usia tersebut sudah melahirkan, artinya mereka di pencatatan di usia pernikahan begitu. Ini tentu akan menjadi perhatian pemerintah," kata Wardiah.

Diketahui, persentase angka kelahiran remaja usia 15-19 tahun di tahun 2022, tidak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu.

Yakni 28,2 persen di tahun 2020 dan 29 persen di tahun 2021.

Persentase remaja yang melahirkan pada usia ini tentu menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Bangka Belitung.

Mengingat, angka kelahiran remaja umur 15-19 tahun ini, secara langsung berhubungan dengan pernikahan dini, serta berdampak pada angka stunting.

Wardiah mengingatkan, bahwa untuk menangani masalah tersebut, tak hanya peran serta pemerintah yang dibutuhkan, akan tetapi juga perlu peran serta masyarakat.

"Perlu peran masyarakat dan stakeholder lain, bahwa inilah dampak dari pernikahan dini, pada usia anak tapi mereka sudah melahirkan anak," lanjutnya.

Dia membeberkan, dari 29 persen remaja yang melahirkan itu, menimbulkan kasus stunting, namun tak dibeberkan secara rinci berapa persentasenya.

"Kita ada dapat data dari dinas kesehatan bahwa memang terjadi stunting akibat dari usia pernikahan dini," kata Wardiah.

Namun Pemerintah Provinsi Bangka Belitung tetap optimistis, bahwa dengan segala program yang ada, bisa menangani kasus anak stunting dan menekan pernikahan dini pada tahun 2023.

"Kita optimis, dengan sinergi yang telah dijalin dengan berbagai stakeholder, dan edukasi kepada remaja, ini bisa ditangani," ucapnya.

Yakin Bisa Menurun

Kepala Dinas DP3ACSKB Babel, Asyraf Suryadin, menyakini, kasus pernikahan dini dan stunting bisa menurun pada tahun 2023.

"Kita akan terus berupaya untuk menangani ini dan program-program sudah kita siapkan. Kita juga mohon kerja sama dengan kabupaten kota untuk menekan ini," kata Asyraf

Selain itu, orang tua juga diharapkan ikut serta memberikan pemahaman kepada remaja agar tidak menikah pada usia dini.

"Orang tua juga harus memberikan pemahaman dan walau sudah remaja, orang tua malah harus lebih memperhatikan anaknya," tegasnya.

Berdampak Signifikan

Akademisi sekaligus Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung, Luna Febriani menyoroti fenomena remaja di Babel sudah melahirkan.

Persentase angka kelahiran remaja umur 15 -19 tahun di Bangka Belitung sebesar 29 persen pada tahun 2022 dinilai mengkhawatirkan.

"Kelahiran usia dini ini bukan saja akan berdampak signifikan terhadap bertambahnya stunting. Lebih dari itu, tingkat kelahiran dini pada anak remaja ini dapat berdampak pada kesehatan, baik fisik dan psikis, persoalan ekonomi dan masalah sosial lainnya yang berdampak pada sumberdaya manusia dan pembangunan bangsa juga," jelas Luna kepada Bangkapos.com, Selasa (31/1/2023).

Dia menyebut, remaja yang menikah dan melahirkan pada usia dini, belum memiliki kematangan dalam membangun relasi rumah tangga.

Karena membangun rumah tangga, tidak hanya membutuhkan afeksi atau cinta antar pasangan semata.

"Persoalan ekonomi dan pemahaman tentang relasi sosial antar keluarga serta manajemen emosi, juga perlu dipertimbangkan dalam membangun rumah tangga. Ditambah lagi, masalah kesehatan reproduksi yang akan muncul ketika anak usia dini melahirkan," bebernya.

Selain itu, remaja yang menikah dan melahirkan pada usia dini otomatis akan berkonsekuensi pada angka putus sekolah juga.

Pasalnya, sistem pendidikan yang berlaku memiliki aturan tidak memperbolehkan anak yang menikah dan melahirkan untuk melanjutkan sekolah.

"Nah, konsekuensinya, ketika angka putus sekolah semakin tinggi, maka dapat berdampak pada pengangguran yang tinggi dan tentu angka pengangguran tinggi ini dapat memperpanjang rantai kemiskinan," tuturnya.

"Bisa dibayangkan, yang akan terjadi pada bangsa ini jika generasi mudanya putus sekolah dan pengangguran semakin meningkat? Yah, bangsa ini akan mengalami krisis sumber daya manusia yang berkualitas dan akan mengganggu pembangunan bangsa," kata Luna.

Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam mengurai benang merah ini. Kunci utama ada pada keluarga dan masyarakat.

Keluarga dan masyarakat, terutama yang menganut budaya timur yang menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, sejak dini harus menyosialisasikan dan menekankan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

"Norma ini dapat menjadi landasan bagi remaja untuk bertindak dan berperilaku, maka ketika sudah disosialisasikan sejak dini norma yang ada, anak-anak akan paham tentang mana yang baik dan yang buruk dalam bertindak," jelasnya.

Selain itu, mengubah pemikiran masyarakat tentang pembiasaan terhadap pernikahan dini karena acapkali digunakan sebagai dalih untuk menghindari zina, sudah seharusnya dihapuskan dalam perspektif masyarakat.

Karena ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghindari zina selain pernikahan dini. Seperti fokus pada pendidikan dan pengembangan minat dan bakat anak.

"Keluarga harusnya berperan dalam mendorong aktivitas anak-anak ke arah positif dan berperan dalam mengawasi dan mengevaluasi ketika tindakan anak-anak mengarah pada hal negatif," kata Luna

Di sisi lain, kontrol sosial masyarakat terhadap pelanggaran norma yang berlaku juga penting, terutama dalam mengawasi tindakan remaja agar tidak terjerumus ke arah negatif.

"Dan tak kalah penting yang dapat dilakukan pemerintah adalah bagaimana caranya menekan pernikahan usia dini melalui aturan dan kebijakan, untuk memperketat syarat dispensasi pernikahan pada anak-anak," tegasnya. (Bangkapos.com/Cici Nasya Nita)

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved