Pos Belitung Hari Ini

Bincang dengan Titi Anggraini, Pembina Perludem: Pilkada 2024 Digelar dalam Situasi Tidak Ideal

Masyarakat bisa dikatakan belum berkonsentrasi pada proses Pilkada. Sulit melakukan penetrasi politik gagasan.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
Pos Belitung Hari Ini edisi Jumat, 22 November 2024 

POSBELITUNG.CO, BELITUNG - Debat publik kedua Pilkada Belitung Timur 2024 di Auditorium Zahari MZ baru saja usai pada Minggu (17/11/2024) malam.

Wartawan Posbelitung.co, Bryan Bimantoro berhasil melakukan wawancara eksklusif kepada salah satu panelis debat kedua Pilkada Belitung Timur 2024, yakni Titi Anggraini, Pembina Perludem yang sebelumnya menjadi Direktur selama 10 tahun di tempat yang sama.

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat Pilkada 2024 yang pelaksanaannya berdekatan dengan Pilpres dan Pileg?

Pilkada 2024 diselenggarakan dalam situasi tidak ideal. Karena pelaksanaannya dilaksanakan berdekatan dengan Pileg dan Pilpres pada Februari 2024 dan tahapannya baru usai pada Oktober 2024 dengan dilantiknya Presiden dan Wapres. November sudah pilkada.

Masyarakat masih belum sepenuhnya lepas dari euphoria dan kerepotan pada masa pemilu serentak. Parpol juga masih belum sepenuhnya mampu konsolidasi kelembagaan partai usai Pemilu.

Beberapa partai masih mengalami friksi di internal. Konsolidasi di internal partai belum terlalu solid. Di tengah residu kontestasi Pilpres, harus Pilkada. Jadi Pilkada tidak optimal mendapat perhatian dari pemilih dan dipersiapkan oleh parpol. KPU juga beban sangat berat. Pemilu belum evaluasi, langsung diselenggarakan Pilkada.

Apa Dampaknya?

Waktu yang berdekatan itu yang membuat tidak optimal. Karena konsentrasi pemilih dan partai tidak optimal sehingga sulit melahirkan politik gagasan dari ratusan Pilkada Gubernur, Bupati, Wali Kota.

Masyarakat bisa dikatakan belum berkonsentrasi pada proses Pilkada. Sulit melakukan penetrasi politik gagasan. Akhirnya lebih banyak simbol-simbol yang dikedepankan. Pada akhirnya replikasi model kampanye ala Pilpres banyak sekali dilakukan paslon, mulai tampilan hingga gimmick, sehingga identitas dan lokalitas gagasan tertutup oleh simbol-simbol nasional.

Pemilih juga akhirnya kurang antusias, meski tingkat kompetisi ketat dan dinamis memunculkan antusiasme itu sendiri. Seperti Pilgub Jatim 3 calon semuanya perempuan dan antitesis satu sama lain. Karena nasional, jadi berpengaruh dari segi dinamika dan kontestasi. Memenuhi pemberitaan dan ruang-ruang publik di daerah lain. Bahkan di beberapa daerah lokalitas itu tenggelam.

Penyelenggara Pemilu yang terdampak. Belum selesai Pemilu, lanjut Pilkada akhirnya kelelahan tingkat tinggi. Akhirnya tidak maksimal kinerjanya.

Bagaimana dampaknya dengan proses pencalonan paslon itu sendiri?

Tidak optimalnya konsolidasi partai, kontestan akhirnya tidak menjalani prosedur berjenjang, tapi langsung tembak ke tingkat DPP, potong kompas. Sehingga ada putus aspirasi pengurus partai daerah dengan rekomendasi yang diberikan DPP.

Kalau tidak ada putusan MK yang mempermudah proses pencalonan berbasis perolehan suara 6,5-10 persen dampak belum optimalnya konsolidasi partai, saya yakin mengakibatkan lebih banyak calon tunggal.

Tapi karena ada putusan tersebut, calon tunggal bisa ditekan menjadi 37 daerah saja. Dan dari catatan saya, ada 111 paslon yang hanya diusung 1 parpol. Itu dikontribusikan mayoritas karena adanya putusan MK. Kalau tidak ada itu akan bertabur calon tunggal. 

Ini Pilkada yang tidak maksimal. Masyarakat, pemilih, parpol masih dipengaruhi euphoria pemilu, di saat yang sama agenda politik lokal sudah pindah ke Pilkada. Persiapan terburu-buru, sosialisasi tidak maksimal, pendidikan politik kurang optimal menyasar. Akhirnya kebih banyak politik yang berorientasi simbol dan replikasi strategi kampanye politik nasional.

Jika ditarik lebih khusus di Belitung Timur, ada dua calon sehingga polarisasi sangat terlihat. Bagaimana Anda melihat hal itu?

Secara alamiah, Pilkada dengan dua paslon akan meningkatkan tensi kompetisi. Jadi walaupun itu relatif agak bisa dinetralisir, di mana Pilgub dan Pilbup digelar bersamaan, dimana ada irisan-irisan berbeda antara koalisi partai di kabupaten dan di provinsi, tapi tetap saja dalam konteks kompetisi yang lokalitasnya sangat tinggi, dua paslon meningkatkan tensi dan peluang benturan di antara para pendukung.

Oleh karena itu, memang paslon dan parpol pendukung harus ditagih komitmennya, harus bisa berkompetisi secara damai dan mengedepankan politik gagasan. Benturan massa dan konflik antar pendukung bisa ditekan kalau para pemilih dikondisikan dengan baik oleh paslon untuk berkompetisi secara damai mengedepankan nilai-nilai kedaerahan. Dan berorientasi pada politik gagasan. 

Jangan sampai paslon sendiri yang memprovokasi pendukungnya. Dan benturan dan konflik akan lebih mudah tercipta kalau paslon melakukan provokasi dan pendekatan yang memanasi situasi.

Kalau paslon dan parpol sudah memahami kondisi dua paslon sangat sengit, maka mereka dituntut untuk komitmen untuk tidak memanasi dan provokasi para pendukung. (*)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved