Partisipasi Pemilih Pilkada di Babel Rendah, Prof Ibrahim: Kelesuan Ekonomi dan Kurangnya Amplop

Tak hanya itu, berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu Babel, partisipasi pemilih hanya sekitar 60 persen. 

Penulis: Rifqi Nugroho | Editor: Alza
Bangkapos.com/Sela Agustika
Rektor Universitas Bangka Belitung, Prof Ibrahim. 

POSBELITUNG.CO - Pilkada Serentak 2024 di Bangka Belitung telah digelar dan hasil sementara muncul di beberapa quick count dan hitung cepat.

Tak hanya itu, berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu Babel, partisipasi pemilih hanya sekitar 60 persen. 

Bahkan di Kota Pangkalpinang hanya sekitar 53 persen.

Menanggapi kondisi itu, Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB) Profesor Ibrahim memberikan penjelasan.

Guru Besar Ilmu Politik UBB ini menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih pada pelaksanaan Pilkada 2024 di Bangka Belitung.

Diketahui, data rendahnya partisipasi pemilih merupakan hasil pengawasan sementara Bawaslu.

Sehingga harus menunggu hasil resmi rekapitulasi berjenjang yang dilaksanakan jajaran KPU.

Namun, Bawaslu memiliki persentase jumlah pemilih di masing-masing daerah.

Rinciannya partisipasi pemilih, yakni en Bangka 52,2 persen, Belitung 73,5 persen, Bangka Selatan 53,0 persen, Bangka Tengah 59,8 persen, Bangka Barat 66 persen, Belitung Timur 74,3 persen dan Kota Pangkalpinang 53,3 persen.

Menurut Profesor Ibrahim, rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Provinsi Bangka Belitung dipengaruhi oleh beberapa faktor krusial. 

Pertama, kelesuan ekonomi menyebabkan distrust (ketidakpercayaan) pada proses elektoral yang cukup akut di kalangan pemilih. 

Kasus timah telah menyebarkan perluasan berkurangnya aktivitas ekonomi dan memengaruhi gairah politik masyarakat. 

Kemudian faktor kedua, yakni perlunya evaluasi mengenai penyerantakkan pada tahun yang sama antara pemilian legislatif (Pileg) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). 

"Pileg yang penuh euforia dengan variasi kapitalisasinya telah membuat gap dengan Pilkada yang cenderung dianggap berbeda.

Jika di Pileg kampanye penuh intrik, distribusi logistik, dan perputaran amplopnya tinggi, tidak sepertinya dengan Pilkada.

Akibatnya, banyak pemilih dengan ekspektasi yang sama dengan Pileg memilih tidak datang ke bilik suara.

Di berbagai komunitas akar rumput, jamak didengar ‘lesu, dakde duit e’," ujar Profesor Ibrahim saat dihubungi posbelitung.co, Minggu (1/12/2024).

Untuk faktor ketiga, Profesor Ibrahim menyinggung mengenai kurangnya aura kontestasi.

Kerena sedikitnya jumlah kandidat yang bertarung jika dibandingkan dengan pelaksanaan Pileg.

Sehingga membuat politik ajakan menjadi berkurang drastis.

"Keempat, kurang bekerja masifnya mesin partai menjadi sebab lain.

Partai menyandarkan kampanye sebagian besar pada timses yang dibentuk kandidat.

Partai sepertinya kehilangan energi pasca bertarung habis-habisan di Pileg.

Akibatnya, dukungan dari partai sebagai magnet elektoral turut berkurang," tuturnya.

Untuk itu, dirinya berharap agar ke depan pihak penyelenggara bisa memikirkan skenario lebih masif untuk melibatkan partai politik, komunitas-komunitas, untuk menjangkau sosialisasi yang lebih luas. 

"Jika kandidat tidak mampu menawarkan imajinasi yang sama dengan Pileg, penyelenggara perlu mengkonversinya dengan apresiasi-apresiasi yang rasional dan relevan untuk mendorong pemilih datang," terangnya.

(Bangkapos.com/Rifqi Nugroho)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved