Lebih anehnya hasil yang salah itu langsung dipakai, deharusnya tidak seperti itu," jelasnya.
Selain itu dia juga menambahkan, kalau hasil perhitungan kerugian negara Bambang Hero dianggap benar, maka yang bertanggung jawab atas lingkungan di lokasi tambang yang masuk dalam wilayah izin adalah negara.
"Negara sudah memperhitungkan dampak dari pemberian izin tambang, memangnya tambang lain yang tidak punya kasus tidak ada kerusakan lingkungan.
Coba saja hitung, tetapi kalau cara menghitungnya seperti Bambang Hero pasti ratusan triliun juga angkanya," tambah Sudarsono.
"Masyarakat bisa menggugat soal kalah menang itu belakangan, bisa dituntut juga pengakuan ahli tetapi bukan ahli.
Masyarakat juga bisa menuntut keahlian diuji oleh pakar lain, itu harus dilakukan supaya orang ini tidak sembarangan mengeluarkan pendapat," sambungnya.
Dia mengungkapkan, hasil perhitungan kerugian negara yang salah itu seharusnya dilakukan koreksi supaya jangan sampai ada dugaan melakukan kejahatan intelektual.
"Ketika kita tahu ini salah harus dikoreksi kalau tidak ada niat mengkoreksi, ini sudah kejahatan.
Dia (Bambang) pasti tahu salahnya di mana karena orang pun sudah ngomong di mana-mana.
Tetapi dia tidak ada niat untuk mengkoreksi. Kalau dia tidak mau, berarti dia melakukan kejahatan intelektual," ungkap Sudarsono.
Prof Sudarsono menegaskan, pertambangan timah dengan izin negara maka kerusakan lingkungan yang ditimbulkan adalah tanggung jawab negara.
Sementara Devi menjelaskan soal perekonomian masyarakat akibat dinamika kasus pertimahan di Bangka Belitung.
Menurutnya, angka pengangguran meningkat akibat penutupan smelter yang berurusan dengan pihak berwajib.
Ditambahkan Adhistia, peristiwa hukum kasus timah yang ditangani Kejaksaan Agung tidak sama dengan kejadian di Bangka Belitung.
Hal itu terkait vonis bebas terdakwa kasus timah dengan tuduhan korupsi Ryan alias Afung asal Bubus, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Senin (2/12/2024.