Kisah Algojo Eksekusi Puluhan Terpidana, Salah Gantung Orang Hingga Dimarahi Terpidana Mati

Profesi algojo ternyata cuma pekerjaan sambilan. Di Inggris algojo mempunyai pekerjaan tetap lain: ada pemilik pub, buruh tambang dan bahkan penjual..

Net
Ilustrasi algojo 

Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak kedengaran. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup.

Kami membenahi kantung pasir dan pintu jebakan. Wade  menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang mulur masing-masing setengah inci.

Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.

Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara.

Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?

Anehnya makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."

Lutut lemas

08.55 pintu terbuka. Seorang sipir masuk. "Sudah saatnya," kata Wade sambil bangkit. "Kalian siap?"  Saya mengangguk. Kirky memandang saya dan tersenyum. "Lakukanlah baik-baik, Nak," katanya.

Saya mengikuti Wade ke luar ruangan. Di depannya berjalan sipir, sedangkan Kirky dan Harry membuntuti saya. Dekat sel terpidana kami betemu dengan rombongan kepala penjara, yang berjalan di belakang kami.

Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara orang bernyanyi dari dalam sel, suara yang serak dan gemetar. Saya hampir tidak percaya pada telinga saya. Setelah itu terdengar suara yang lebih mantap ikut menyanyi, "Biarlah aku terbang ke haribaanMu."

Diiringi suara nyanyian itu kami tiba di muka pintu sel. Selama 30 detik kami menunggu terpidana nomor dua bernyanyi bersama pendetanya.

Di muka pintu no. 1 Wade berdiri bersama saya, Kirky dan Harry di muka pintu no. 2, kepala penjara dan rombongannya di muka pintu kamar eksekusi.

Jarum jam berdetik mendekati pukul 09.00. Lalu kepala penjara mengangguk seraya memberi isyarat dengan tangan. Wade maju ke pintu, saya mengikuti di belakangnya.

Sel tampak penuh, karena ada pendeta yang wajahnya pucat dan dua sipir.
Begitu saya masuk, saya lihat terpidana yang membelakangi kami bangkit. Wade menggamit tangan kirinya dan saya menggamit yang kanan.

la tidak melawan. Semua berjalan dengan cepat sekali. Wade melangkahi ambang pintu kuning. Karena terpidana diam saja, saya menaruh tangan di pundaknya.

Begitu didorong dengan lembut, ia segera mengikuti Wade. Sipir mengapitnya di kiri dan kanan.

Di tengah pintu jebakan Wade menstopnya. Saya segera menarik pengikat dari saku, berjongkok dan mengikat pergelangan kakinya. Ketika saya siap, saya lihat Wade sudah selesai menyelubungi kepala dan memasang tali leher.

Saya menoleh ke sebelah kami. Kosong! Ke mana Kirky dan Harry? Ada kesulitan apa? Pasti tidak ada perkelahian, sebab tidak terdengar apa-apa.
Kami menunggu tanpa bersuara.

Rasanya lamaaaa sekali. Gantungan kembar mesti selesai dalam waktu 15 menit, tetapi sudah 45 menit terpidana yang satu berdiri, belum juga muncul yang lain.

Tahu-tahu muncul sipir di pintu. Sementara itu terpidana yang sedang menunggu tampak bergoyang, seperti akan semaput. Celaka!

Saat itu Kirky melesat masuk diikuti oleh terpidana dan Harry. Wajah Kirky tampak merah dan ia senewen. Wade segera maju dan menstop terpidana no. 2 di tanda kapur.

Dengan gesit selubung dipasangnya dan tali leher dikalungkan. Saya tak sempat melihat Harry yang bertugas memasang pengikat kaki. Tahu-tahu saja Wade sudah melompat menyentuh pengungkil.

Bunyi berdebum terdengar. Kedua terpidana merosot lalu berhenti. Tali tegang, tidak  bergerak-gerak. Mereka sudah tewas.

Kirky pergi membuka pintu jebakan kecil di samping untuk mendekati jenazah. Saat itu dokter muncul. Kancing berjatuhan ketika baju jenazah pertama ditarik. Dokter mengangkat stetoskopnya untuk ditempelkan ke dada jenazah yang kepalang miring ke sebuah sisi karena lehernya patah.

Proses itu diulangi pada jenazah kedua. Saat itu lutut saya rasanya gemetar. Bukan karena eksekusi, tetapi karena hampir terjadi malapetaka. Bayangkan, kalau terpidana no. 1 keburu pingsan!

Di kamar eksekusi tidak ada orang yang berbicara. Akhirnya semua keluar. Kedua jenazah dibiarkan dulu tergantung selama sejam.

Begitu kami tiba di kamar tempat kami menginap, makan pagi disajikan. Seorang pengawal mengawasi kami makan. Tak seorang pun berbicara. Selesai sarapan, Wade dan Kirky pergi bersama si pengawal.

"Ada apa?" tanya saya kepada Harry.
"la tidak mau pergi," jawab Harry. "la belum siap. la tidak mau ditelikung, sampai mesti dipaksa. Tenaganya kuat."

Pukul 10.00 kami masuk ke kamar eksekusi untuk menurunkan mayat. Setelah bebenah, Wade menulis laporan.

Setelah itu upah kami dibayar setengahnya. Setengah lagi dikirim kemudian. Sebagai asisten saya mendapat 3 guinea, tetapi hari itu saya cuma menerima 1 pon 11 shilling dan 6 pence.

Konon di masa yang lalu algojo biasa menghabiskan uangnya untuk minum-minum dan dalam keadaan mabuk mulutnya dipentang untuk bercerita macam-macam.

Lantas pihak yang berwajib mengambil kebijaksanaan: upah hanya akan dibayar setengah dulu. Kalau berani buka mulut, setengah lagi tidak akan dibayar!

Salah gantung?

Pernahkah ada orang yang kesalahan digantung? Bulan Maret 1950 Pierrepoint dan saya menggantung seorang pengemudi truk berumur 25 tahun, Timothy John Evans.

Namun, kemudian dinyatakan Evans tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh istrinya, tetapi tetangganya, Reginald Christie.

Betulkah Evans tidak membunuh? Bulan November 1949 Evans menyerahkan diri karena katanya ia membunuh istri dan anaknya yang berumur 14 bulan. Cuma anehnya, mayat ditemukan bukan di tempat yang ditunjukkannya, tetapi di tempat lain.

Evans dituduh membunuh istri dan anaknya, tetapi karena kebiasaan di masa itu, ia cuma boleh diadili membunuh satu orang. Penuntut memutuskan untuk mendakwa Evans sebagai pembunuh anaknya.

Setelah Evans dihukum gantung, muncul bukti-bukti bahwa pembunuh Geraldine Evans adalah Reginald Christie, tetangganya. Jadi Evans dinyatakan tidak bersalah.

Sebetulnya tidak benar kalau Evans bukan pembunuh. Memang betul Geraldine dibunuh oleh Christie, tetapi yang membunuh Ethel, istri Evans, kemungkinan besar adalah Evans sendiri. Begitu pendapat Hakim Brabin.

Pengawal yang menjaga terpidana mati diajari menjawab pertanyaan-pertanyaan terpidana mati, seperti: "Sakit nggak sih digantung?" "Lama nggak sih matinya?"

Jawaban-jawaban yang benar membuat terpidana tenang dan terhibur pada malam-malam panjang yang mencekam. Berulang-ulang terpidana diberi tahu bahwa kematian berjalan cepat dan tidak menyakitkan kalau mereka menghadapinya dengan tenang dan tidak melawan.

Ketika Pierrepoint dan saya bertugas menggantung Piotr Maksimowski yang membunuh pacarnya (istri orang), kami mengira akan mendapat kesulitan.
Soalnya, Maksimowski takut digantung. Sebetulnya ia tidak takut mati. Ia malah mencoba bunuh diri di penjara. Ia minta dihukum tembak, hukuman yang tidak bisa diluluskan.

Ternyata orang Polandia berumur 33 tahun itu sangat membantu kami. Ia segera bangun begitu kami masuk dan membiarkan tangannya diikat. Ia berjalan tanpa ayal-ayalan ke kamar eksekusi dan dalam waktu 7,5 detik sudah meninggal.

Dimarahi orang yang akan digantung

Suatu kali, Pierrepoint mendapat tugas mengeksekusi dua orang sekaligus, yaitu Zbigniew Gower dan Roman Redel di Penjara Winchester. Ia bersama Harry Allen akan menangani Gower. Kirky dan saya disuruh mengurusi Redel.

Sudah ribuan kali saya mempraktekkan pengikatan pergelangan kaki, eh, sekali ini kok rasanya susah betul. Tali kulitnya seperti terlalu pendek 3 inci, sampai rasanya saya tidak percaya memandangnya.

Dalam keadaan panik itu tali jatuh menimpa sepatu Rodel. Tahu-tahu orang Polandia itu mengomel dari balik selubungnya, "Kerja yang benar, dong!"

Ternyata kaki Redel kurang rapat. Untung Pierrepoint bersedia menunggu dan untung setelah itu saya masih terpakai. Biasanya kalau algojo salah sedikit saja, habislah kariernya.

Kalau Maksimowski membantu para penggantungnya untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, ada lagi yang lebih nekat menghampiri tali gantungan dari dia.

Bulan November  1950 saya dipanggil untuk membantu Steve Wade mengeksekusi seorang  pelaut bernama Patrick Tournage yang bersalah membunuh seorang pelacur tua.

Tournage yang kecil kurus itu sejak di pengadilan menyatakan ingin  mati. Jadi dalam sel ia riang gembira saja, sampai para pengawalnya pun heran.

Hubungan antara pengawal dengan narapidana biasanya sulit. Tetapi bukan mustahil antara mereka ada ikatan batin, karena sang pengawal mendampingi siang-malam,  menghibur mereka ketika gelisah, berbicara pada saat si terpidana mati ingin berbicara, main kartu kalau diajak main, tutup mulut kalau terhukum  ingin kesunyian.

Mereka juga bertanya-tanya di dalam hati seperti sang terpidana: apakah akan ada pengampunan?

Karena itulah pengawal si terpidana tidak diharapkan ikut serta dalam eksekusi. Beberapa jam sebelum pelaksanaan hukuman mati, mereka digantikan oleh dua pengawal lain, kecuali kalau terpidana minta agar pengawalnya yang lama ikut hadir.

Wade meminta seorang pengawalnya yang lama untuk menemani saat-saat terakhirnya. Tournage menoleh, ketika Wade dan saya masuk. Wajahnya ketakutan, tapi cuma sekejap Setelah itu ia seperti tersenyum.

Tournage bangkit dan bersebelahan dengan pengawalnya la mengikuti Wade. Kejahatannya memuakkan publik, tetapi sikapnya pagi itu sungguh mengagumkan. Dengan tabah ia mendekati tali gantungan.

Mendengus

Teknik menggantung orang boleh dikatakan sudah sempurna saat saya menjadi asisten algojo. Terhukum segera tewas tanpa menderita. Tidak demikian halnya di akhir abad yang lalu.

Sering terhukum sampai mesti terkejat-kejat dulu karena jiratan tidak cukup kuat untuk mematahkan lehernya.

Kematian pun berlangsung tidak segera. Hal itu sama sekali tidak terjadi. Karena itulah jarak jatuh mesti cukup panjang.

Kalau sampai terpidana belum meninggal, tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mengayunkan kakinya supaya ajal lebih cepat menjemput. Adegan yang mengerikan itu hanya terjadi di masa yang lampau.

Seorang penggantung pada masa itu, William Marwood, merasa bisa mencegah peristiwa yang tidak diinginkan itu, yaitu dengan memperhitungkan panjang jatuh.

Suatu hari datang tawaran untuk menggantung Norman Goldthorpe, seorang pembunuh brutal. Saya menerimanya. Ternyata Pierrepoint dan Steve Wade harus menggantung orang lain pada hari itu, sehingga tugas sebagai "si nomor satu" jatuh pada Harry Kirk.

Ketika saya datang ke Penjara Norwich, Kirky sudah ada di sana. Kami mengintip Goldthorpe yang ternyata kurus sekali, sehingga Kirky berniat memberinya jarak jatuh yang panjang.

Bertugas dengan Kirky lain sekali daripada dengan Pierrepoint atau Wade. Kirky senang bercanda dan tidak sekeras Pierrepoint dalam hal melewatkan saat-saat menjelang penggantungan. Malam itu kami minum-minum bir.

Pengawal kami yang masih muda segera akrab dan ikut bercanda. Pokoknya, malam itu meriahlah suasana di kamar kami tanpa kehadiran The Boss (Pierrepoint).

Mulut Kirky juga lebih longgar. Ia menceritakan pengalamannya menggantung para penjahat perang. Katanya, pernah suatu pagi mereka menggantung sampai 22 orang.

Jenazah boro-boro dibiarkan tergantung sejam. Begitu selesai dijatuhkan ke pintu jebakan, lantas diperiksa oleh dokter, lalu jiratannya dibuka, dipasang lagi untuk orang berikutnya ....

Keesokan harinya kami menjemput Goldthorpe. Semua berlangsung seperti biasa, tapi ketika Goldthorpe berhenti merosot, kami mendengar suara dengus dari ruang bawah. Sekali, sekali lagi, sekali lagi .... Suara itu keluar dari balik selubung kepala!

Celaka! Saya berlari ke bawah diikuti oleh dokter. Suara dengus masih terdengar, tetapi berhenti begitu saya memasang tangga. Saya menarik kemeja Goldthorpe. Dokter menempelkan stetoskopnya. "Sudah meninggal! Sudah meninggal!" serunya.

Kentara betul ia lega. Saya memegang tali yang melingkar di leher Goldthorpe. Ternyata jari saya bisa masuk di antara leher dan tali!
Dokter mengangguk. "Tapi lehernya patah. la meninggal sekejap itu juga," katanya. “Yang tadi tuh cuma reaksi otot."

Kirky kelihatan lesu dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika kami memeriksa kembali, temyata semuanya beres. Ukuran-ukuran sesuai dengan peraturan.

Tapi ketika kami membuka kerudung kepala, baru ketahuan bahwa kain kerudung itu sebagian menyelip di lubang kalung. Kain secuil itulah yang membuat tali tidak erat menjirat leher Goldthorpe!

Sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan Kirky lagi. Ada hal lain yang ingin saya ceritakan tentang Goldthorpe. Ketika saya hampu meninggalkan penjara, seorang pengawal menghampiri.

"Hadiah untuk Anda," katanya sambil menyerahkan sebungkus rokok. "Hadiah dari dia."
"Siapa dia?"
"Goldthorpe! la berpesan agar diberikan kepada tukang gantung." Astaga!

Didekati penyogok

Sejak pengalaman Kirky itu saya tahu bahwa karier saya sebagai penggantung orang pun sewaktu-waktu bisa berakhir. Saya agak risau.

Bagi tukang las di pertambangan, pekerjaan sebagai algojo sungguh berharga, karena memungkinkan saya untuk bepergian ke kota-kota  jauh, berkenalan dengan orang-orang dari tingkat yang lebih tinggi dan mendapat penghargaan karena mengeksekusi penjahat.

Suatu hari ketika saya menjemput Pierrepoint karena kami bersama-sama mendapat tugas mengeksekusi Nicholas Crosby di Penjara Manchester, saya didekati salah seorang tamu pub Pierrepoint.

la mengaku teman Pierrepoint. Dengan licinnya ia mengajak saya 'bisnis'. Ia meminta saya memasang kamera kecil di balik dasi baju saya untuk memotret adegan penggantungan.

Imbalannya besar sekali, berlipat-lipat gaji tukang las tambang atau tukang gantung orang sekalipun!

Walaupun ia licin sekali, untungnya saya tidak terpeleset. Saya tidak senang kepadanya. Saya menolak. Saya malah melapor pada Albert Pierrepoint, tapi orang itu sudah pergi.

Tahun 1950 merupakan tahun sibuk. Saya membantu menggantung sembilan belas kali penggantungan yang dilakukan di Inggris tahun itu.

Panggilan pertama yang saya terima di tahun berikutnya ialah untuk ikut menggantung tiga orang dalam waktu dua hari di Penjara Wandsworth.

Di penjara inilah saya bertemu dengan dua Harry Allen. Yang pertama Anda sudah kenal, yaitu Harry penjual es krim sahabat saya. Harry yang lain berasal dari Manchester. Ia mengenakan dasi kupu-kupu!

Setelah melihat tujuh penjara, saya mengira semua kamar eksekusi sama saja. Ternyata saya keliru. Di Wandsworth ini kamar eksekusihya bukan main.

Semua serba berkilat saking bersihnya, termasuk lantainya. Bahkan ujung tali gantungan pun mempunyai embel-embel hiasan warna-warni.

Joseph Brown dan Edward Smith adalah pembunuh seorang tua pemilik toko, sedangkan James Virrels yang berumur 55 tahun membunuh induk semangnya gara-gara bertengkar soal roti isi selai.

Pierrepoint dan saya menggantung Smith, sedangkan kedua Harry Allen menangani Brown. Penggantungan dilakukan berbareng. Semuanya lancar. Itulah terakhir kalinya saya bekerja sama dengan Harry Allen sahabat saya.

Saya dengar kemudian dari Pierrepoint bahwa ia terpaksa melepaskan pekerjaan sambilan ini, karena diancam akan dipecat oleh bosnya, juragan es krim.

Keesokan harinya tinggal Pierrepoint dan saya mengurusi Virrels. Ia kelihatan tua sekali dan sangat ketakutan. Walaupun sulit, ia bisa berjalan sendiri ke penggantungan.

Ketika tiba saat membuka pakaiannya, saya dapati ia mengeluarkan kotoran. Tidak benar cerita orang bahwa semua korban hukuman gantung kehilangan kontrol atas pengeluarannya. Dari pengalaman saya, cuma Virrels sendiri yang demikian.

Bernafsu ingin digantung

Bulan April 1951, ketika James Inglis akan dijatuhi hukuman mati, Hakim Gorman bertanya, "Barangkali ada sesuatu yang  ingin Anda katakan?"
Inglis menjawab, "Saya merasa diadili dengan adil. Kini yang saya inginkan hanya satu: secepatnya digantung."

Hadirin begitu terkejut, tetapi Inglis memang bukan asal berbicara. Inglis tersenyum ketika kami menjemputnya di sel. Kedua belah tangannya ia  kebelakangkan tanpa diminta.

Sambil tersenyum ia melangkah ke ruang eksekusi. Hampir saja Pierrepont ia tinggalkan di belakangnya! Terpaksa dua pengawal dan saya terbint-birit membuntutinya. Kami seperti berlari ke kamar eksekusi.

Sebelum saya sempat berdiri tegak di tepi pintu jebakan, Inglis sudah merosot ke bawah. "Tujuh detik!" seru pemegang stopwatch. Bahkan Pierrepomt yang sudah menggantung lebih dari enam ratus orang merasa tercengang, apalagi para pejabat penjara.

"Buset, saya dikejar narapidana yang akan digantung!" katanya.
Setelah ltu saya masih mengeksekusi beberapa orang lagi. Kemudian karier saya sebagai penggantung orang berakhir tiba-tiba secara misterius.

Terakhir saya menggantung orang di Winson Green, Birmingham. Leslie Green dijatuhi hukuman gantung karena membunuh seorang wanita dengan kejam.

Ia begitu brutal, sehingga sampai saat terakhir pun tidak menunjukkan penyesalan. Untuk membantu mengeksekusi Green saya mendapat honor 5 guinea, bukan 3 guinea seperti biasanya.

Namun, sejak itu saya tidak pernah mendapat kesempatan menggantung orang lagi. Konon saya berbuat kesalahan ketika melakukan eksekusi di Wandsworth.

Namun, karena saat itu saya sudah menerima tawaran untuk menggantung Green, kesempatan itu tidak dicabut lagi.

Di Wandsworth Pierrepoint tidak banyak cakap dan kedua pengawal juga begitu, sehingga saya menyalurkan kebutuhan saya untuk berbicara dengan orang-orang yang hadir. Saat itu jumlahnya agak lebih banyak daripada biasa.

Saya tidak tahu bahwa orang yang saya ajak berbicara itu antara lain kepala penjara di Birma, yang diundang menyaksikan hukuman gantung di Inggris. Mungkin ada kata-kata saya yang  kurang berkenan.

Selain itu ketika membuka pakaian korban sehabis ia digantung, saya sempat berkomentar karena begitu terkesan dan kagum melihat alat vitalnya yang berukuran istimewa.

Rupanya hal itu dianggap kurang pantas.
Sebenarnya setelah itu saya masih mendapat beberapa tawaran. Cuma saja semua dibatalkan, karena mereka tidak jadi dihukum mati. Amplop coklat murah yang terakhir datang tanggal 22 Januari 1952.

Undangan tetap tak datang ketika saya berganti profesi menjadi pengelola kantor pos. Sekarang saya sudah pensiun.

Sudah lebih dari 35 tahun berlalu sejak saya terakhir membantu menggantung orang. Hukuman mati pun sudah dihapuskan di Inggris (1965) dan undang-undang kerahasiaan yang harus dipegang algojo sudah diubah.

Sampai saat ini saya masih tetap yakin akan manfaat hukuman mati. Soalnya, 22 tahun setelah hukuman mati dihapuskan, 37 orang meninggal dibunuh oleh orang yang pernah membunuh sebelumnya.

Orang sering bertanya: apakah saya tidak pernah dihantui oleh orang-orang yang saya gantung? Memang pernah saya bermimpi seram dua kali. Dalam mimpi itu saya menjadi terpidana mati. Tangan saya ditelikung, lalu saya digiring ke tali gantungan.

Saya berteriak-teriak dan terbangun dalam keadaan berkeririgat dingin. Pada mimpi yang pertama saya cuma tiba di pintu kamar eksekusi. Pada mimpi kedua saya sempat sampai di atas pintu jebakan.

Mudah-mudahan sih saya tidak bermimpi untuk ketiga kalinya .... (Syd Dernley dan David Newman, The Hangman's Tale)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1990)

Sumber: Bangka Pos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved