Berita Belitung Timur
Kisah Sukses Sabarudin, Tak Asing di Dunia Pendidikan Beltim Toreh Prestasi di Level Internasional
Sabarudin beberapa kali memimpin sekolah di Kabupaten Belitung Timur. Dari tingkat SMP hingga SMA dan semua yang dipimpinnya meraih prestasi
Penulis: Bryan Bimantoro | Editor: Hendra
Syukurlah di luar ekspektasi kurang dari setahun. Menjaga ritme tidak mudah. Harus kerja keras. Yang terpenting membangun komitmen dan komunikasi. Kita harus berkaca dengan pengalaman.
Saya tak anti dengan namanya inovasi dan kreasi. Jika sudah berhenti itu, kita mati. Kemudian saya juga sering mengatakan dengan guru, tidak usah bicara mutu ketika kebutuhan guru untuk mengajar tidak dipenuhi dan kebutuhan siswa untuk belajar tidak dipenuhi. Gimana guru mau ngajar kalau buku tidak ada. Semua akan terpenuhi ketika ada komunikasi.
Saya menetapkan empat keunggulan, berarti saya harus melengkapi fasilitas keungggulan itu. Karena sudah berbasis IT saya siapkan sarana belajar ratusan PC termasuk akses internetnya. Ini upaya yang akan terus dilakukan.
T: Dari sekian banyak capaian tersebut, mana yang paling berkesan, mengapa?
J: Menulis 6 buku. Itu yang belum pernah dilakukan. Saya satu, guru tiga, dan dua buku ditulis siswa. Istimewanya buku itu dibangun dari kelas-kelas literasi. Kelas literasi sosiologi, kelas literasi english, semacam ekskul. Selama ini ekskul kami perkuat dengan kelas-kelas literasi di bawah bimbingan Pak Ares Faujian dan Bu Winda.
Ini akan dijadikan sebagai motor. Nanti mungkin akan ada kelas histori literasi. Tapi setidaknya ada pijakan untuk memulai. Karena literasi kita sekarang baru di tahap rutinitas, bukan kontinuitas apalagi kualitas.
Bagaimana menyiapkan siswa belajar, kalau dia miskin waktu untuk membaca. Bagaimana jadi penulis yang baik ketika dia bukan pembaca yang baik. Inilah yang namanya pilar utama bangun sekolah yakni literasi. Bagaimana beri ceramah yang baik ketika tidak pernah baca.
T: Literasi wajib bagi tenaga pendidik, sudah berapa buku terbit, mana paling sulit menyusunnya?
J: Buku pertama saya, judulnya Bus Patas. Seorang penulis di awal takut bukunya tidak bagus, saya pribadi nulis. Buku Bus Patas ini adalah karya tulis yang saya presentasikan pada pemilihan kepsek berprestasi. Alhamdulillaah laku 1000 eksemplar dan dapat penghargaan sebagai buku best seller.
Buku ini sudah sampai ke beberapa negara. Saya punya tradisi siapapun yang berkunjung ke sekolah saya, akan saya kasih buku ini. Buku terbaru saya yaitu Best Practice, itu buku yang ditulis ketika aku membuat karya tulis ilmiah dan juara lalu saya jadikan buku.
Jadi waktu ada bedah buku ada yang bilang, "Jika ingin melihat Gantung 20 tahun yang akan datang, baca buku Pak Sabar. Buku itu menggambarkan pendidikan di Gantung masa itu".
Itu buku pertama saya tulis alhamdulillaah best seller. Sebagian besar buku tentang riset. Karena pertama, di tengah keraguan, bagus atau tidak dan segala macam ternyata responnya bagus. Senang lah.
T: Buku-buku favorit, beri alasan?
J: Saya punya buku bacaan bagus yaitu Think Like a Genius karya Todd Siler. Orang pintar melakukan apa yang biasa orang lakukan. Orang cerdas lebih pintar dari orang pintar, namun orang jenius memikirkan apa yang tak pernah dipikirkan orang lain.
Buku itulah yang saya baca dan benar-benar terpatri. Kita pemimpin harus tidak biasa. Kalau kita biasa, itu jadi rutinitas dan tak ada kreatifitas di situ. Tapi tetap dalam batasan, tidak melanggar aturan namun memberi ruang.
Contoh, semua bangun taman, tapi kita harus punya sentuhan berbeda. Biar dilihat. Kelihatannya jadi cemoohan. Ir. Soekarno pernah bilang ada 3 tahap yang harus dilakukan agar suskes, yaitu ditentang, ditertawakan, dan diterima.
Untuk memulai harus diberikan rasa kepercayaan diri untuk ditentang. Siap-siap ditertawakan orang. Ketiga baru diterima. Kita selalu berada dalam zona nyaman. Keterbatasan itu yang harus diubah. Buku itu luar biasa menginspirasi. Saya juga suka baca buku orang hebat. Kalau ingin hebat baca buku jalan hidup orang hebat. Hebat itu melalui proses yang panjang bukan langsung jadi.
T: Pernah beberapa kali ke luar negeri, bisa diceritakan sistem pendidikan mereka?
J: Di Korea Selatan 2016 dan Australia 2019. Budaya belajarnya berbeda. Kalau kita di sini menunggu perintah. Contohnya, ketika guru memberi tugas tidak disertai dengan sumber bacaan yang baik. Buku kita yang wajib di perpustakaan dengan segala keterbatasan. Budaya kita beda.
Mereka budaya belajarnya jelas, ketika belajar ya belajar. Kalau kita tidak, libur mau belajar, pas belajar maunya libur.
Kemudian disiplin. Siswa masuk guru seharusnya guru cepat masuk. Mereka di luar budaya bacanya tinggi. Di Australia, setiap dua kelas ada satu perpustakaan. Saya nanya kenapa gitu? Karena bacaan di perpustakaan lebih utuh dan melewati proses uji yang panjang daripada sekedar ebook. Cikal bakalnya, budaya belajar, disiplin, literasi.
Ketiga karakter. Mereka sangat respek dan hormat. Kalo orang Jepang bangun jam 5 kita harus bangun jam 3 harus lebih awal dari mereka. Tingkat stress tertinggi pelajar di Korsel. Mereka dilengkapi dan difasilitasi pemerintah.
Tapi kalau anak-anak tidak siap dengan itu bisa jadi kebalikannya. Aib terbesar orang tua di Korsel yaitu anak dikeluarkan dari sekolah. Australia lebih demokratis. Tapi lebih tetap disiplin dan budaya belajar. Di sini kita sudah mulai untuk itu. Tahap menjadikan habituasi. Kebiasaan.
T: Target selanjutnya?
J: Kami itu mau juara internasional. Kelemahan kami akan dibenahi lewat karya tulis. Sebenarnya kami sudah mendatangkan narsum internasional, namun karena kondisi covid sehingga dibatalkan. Target harus tinggi. Makin dicemooh, saya makin semangat. Tak jadi masalah. Biar dikatain macam-macam semuanya mungkin. Yang tak mungkin itu kalau tidak berbuat. Kalau berbuat insyaallaah ada hasil.
Mohon dukungannya. Bisa juara internasional bidang olahraga, budaya, tidak mesti akademik. Kalau pendidikan diartikan nilai tinggi dan juara olimpiade, sempit, sedangkan dunia pendidikan itu luas. Pertukaran budaya, pejajar, guru berprestasi ke luar negeri, itu juga prestasi internasional. (S1)