Bisnis

Kebijakan Soal Hilirisasi Timah Dinilai Belum Jelas, Harwendro: AETI Deg-degan

Menurut Harwendro, pengusaha merasa tidak ada kepastian terhadap regulasi tentang bisnis pertimahan di Indonesia

|
Penulis: Suhendri CC | Editor: Novita
Dok/Harwendro Adityo Dewanto
Harwendro Adityo Dewanto, Wakil Ketua Umum AETI. 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Iklim berusaha di sektor timah Indonesia terguncang setelah beberapa wacana tentang pengaturan tata kelola pertimahan yang akan dikeluarkan pemerintah, seperti penghentian ekspor ingot dan hilirisasi. 

Pengusaha mendukung langkah tersebut, namun butuh waktu yang lebih untuk menyiapkan industri hilirisasi.

Isu penghentian ekspor ingot dan hilirisasi menjadi topik dalam seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) di Novotel Bangka, Pangkalanbaru, Bangka Tengah, Sabtu (18/3/2023).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Harwendro Adityo Dewanto, salah satu pembicara dalam seminar tersebut, mengungkapkan, kondisi bisnis timah Indonesia saat ini. 

Harwendro menyebut ada ketidakstabilan dalam bisnis pertimahan di Bangka Belitung.

"Nah yang teman-teman AETI sering bikin pusing kepala, bikin deg-degan sebagai pelaku usaha karena regulasi pemerintah berubah-ubah. Dikatakan ada moratorium, belum selesai, ada hilirisasi, belum selesai, ada mineral strategis nasional," kata Harwendro.

Menurut Harwendro, pengusaha merasa tidak ada kepastian terhadap regulasi tentang bisnis pertimahan di Indonesia. 

"Itu tentu membuat iklim usaha jadi bergoyang-goyang, tidak ada kepastian, yang bagaimana kita mau berusaha ke depan, padahal kita sudah investasi dengan cukup banyak, enggak sedikit," ujarnya.

Selain masih terbentur regulasi, lanjut dia, hilirisasi industri timah membutuhkan waktu. 

"Bangun pabrik saja gampang, dengan investasi yang ada, uang yang ada, kita bangun pabrik selesai. Tetapi kami butuh kepastian tentang relaksasi waktu, untuk itu, supaya bisa berjalan," tutur Harwendro.

Ia menyebut, investasi industri hilirisasi berkisar Rp20 miliar hingga Rp2 triliun, tergantung jenis industrinya. 

Namun, persoalan bukan sekadar nilai investasi, tetapi keberlanjutan perusahaan. Sampai saat ini, pihaknya belum mengetahui kapan pemerintah akan secara resmi melarang ekspor ingot.

"Sebetulnya wacana akhir tahun yang lalu soal hilirisasi, ternyata ada relaksasi setahun ini, dan kita enggak tahu di awal tahun 2024 di mana, di akhir 2023 bagaimana," ujar Harwendro.

Lebih lanjut, Harwendro menyebut, 17 anggota AETI mendukung langkah hilirisasi. Perusahaan Mitra Stania Prima yang dikelolanya sudah memulai langkah itu dengan melakukan feasibility study (studi kelayakan). 

"Kalau dari saya sendiri, perusahaan saya sudah siap hilirisasi tahun ini, tetapi saat ini sedang menyusun feasibility study," ucapnya.

Sumber: Bangka Pos
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved