Berita Belitung

Penanganan Stunting Bisa Dilakukan Melalui Dua Pendekatan, Ini Penjelasan BKKBN

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN RI, Bonivasius Prasetya Ichtiarto, mengatakan, penanganan stunting dilakukan melalui dua pendekatan.

Penulis: Rusaidah | Editor: Novita
IST/Dokumentasi BKKBN Bangka Belitung
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Republik Indonesia Bonivasius Prasetya Ichtiarto berfoto bersama saat kunjungan kerja di Belitung, Bangka Belitung, Rabu (21/2/2024). 

POSBELITUNG.CO, BELITUNG -  Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Republik Indonesia Bonivasius Prasetya Ichtiarto mengatakan, penanganan stunting dilakukan melalui dua pendekatan, yakni spesifik dan sensitif.

Pendekatan spesifik berkaitan langsung dengan gizi buruk atau penyakit yang menyebabkan stunting. Sementara pendekatan sensitif berkaitan secara luas, misalnya faktor lingkungan dan pola asuh.

"Kalau ranah spesifik perlu peran dari dokter, mengecek penyebab stunting, adakah kekurangan gizi, kemiskinan, pola asuh atau infeksi penyakit tertentu," kata Bonivisius saat kunjungan kerja di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (21/2).

Program pencegahan stunting memang perlu dilakukan kepada ibu hamil, karena risiko stunting terjadi di seribu hari pertama kehidupan dimulai masa kehamilan.

Meski begitu, tak kalah penting untuk menjaga anak ketika sudah lahir.

Anak yang terlahir sehat perlu dirawat dalam kondisi lingkungan dan pola asuh yang baik hingga anak berusia dua tahun agar terhindar dari stunting.

"ASI menjadi penting (diberikan) sampai dua tahun, sehingga perlu memerhatikan kondisi kesehatan, gizi, dan tingkat stres ibunya," ujarnya.

Pada kesempaan itu, ia juga mengingatkan perlunya audit kasus stunting (AKS). Menurutnya, hal tersebut menjadi bagian terpenting mencari simpul-simpul penyebab stunting.

Bonivasius menyebut, stunting menjadi perhatian karena terjadi secara jangka panjang dan merupakan ancaman terus menerus.

Apalagi berdasarkan RPJPN 2025-2045, keluarga berkualitas tercatat sebagai misi kelima untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Keluarga berkualitas diwujudkan sejak masa prenatal dan bayi dengan memberikan jaminan gizi dalam seribu hari kehidupan, memperhatikan kesehatan ibu dan anak. Lalu di usia dini hingga remaja dengan memerhatikan pendidikan minimal 13 tahun.

"Ketika dewasa memastikan mereka melanjutkan pendidikan tinggi, bisa dengan pendidikan dan pelatihan vokasi, juga jaminan ketenagakerjaan. Lalu ketika sudah lansia, harapannya bisa menjadi lansia yang tangguh dan mandiri," ucapnya.

Jadi Bom Waktu

Meningkatnya kasus kelahiran bayi prematur menjadi risiko penyumbang terjadinya stunting atau masalah gizi kronis pada anak.

Menurut tim pakar percepatan penanggulangan stunting Kabupaten Belitung dr Daniel SpA ada tiga penyebab yaitu pengetahuan, pernikahan dini dan budaya masyarakat.

"Ini menjadi bom waktu karena harus benar-benar intervensi sampai dua tahun. Penyebabnya mengenai tiga hal, pengetahuan, pernikahan dini, dan budaya, ini menjadi PR, sehingga menimbulkan kelahiran prematur bagi ibu usia muda di bawah 20 tahun, bahkan ada kasus 14 tahun sudah melahirkan," katanya.

Selain itu, risiko stunting juga terjadi pada ibu yang mengalami anemia sehingga melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Dari penelitian yang sempat dilakukannya pada 2021-2022 hampir semua ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki kadar hemoglobin di bawah 12, bahkan rata-rata 10 gram per desiliter.

Dengan demikian, perlu pemberian tablet tambah darah. Namun tablet tersebut kurang disukai karena rasanya yang tidak enak, sehingga diharapkan ada tablet tambah darah yang lebih berkualitas atau formulasi tambah darah diperbaiki sehingga memiliki rasa yang enak.

Ibu hamil juga perlu dicukupi pemberian protein. Pemberian protein dalam porsi tertentu pun dapat mencegah terjadinya bayi prematur. Ibu hamil membutuhkan protein sebanyak 60-70 gram atau dikonversikan dalam makanan sehari minimal mengonsumsi 350-400 gram makanan yang mengandung protein hewani.

Dia menambahkan, masalah stunting di Belitung lebih disebabkan masalah pengetahuan dan budaya, ada bahan protein melimpah tapi tidak bisa dimanfaatkan optimal untuk keluarga. Pengetahuan yang kurang ataupun memang budaya inilah yang harus diubah.

Pencegahan stunting yang dilakukan di Belitung pun mulai dari dari penyuluhan di tingkat desa, dapur umum, dan posyandu buat deteksi dini kasus stunting.

(Posbelitung.co/del)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved