Pos Belitung Hari Ini

Kasus HIV Akibat Seks Bebas Bertambah di Bangka Selatan, Seks Sesama Lelaki Mendominasi

Kasus Human Immunodeficiency Virus alias HIV di Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terus bertambah di tahun 2024.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
Pos Belitung Hari Ini edisi Jumat, 1 November 2024 

POSBELITUNG.CO, BANGKA - Kasus Human Immunodeficiency Virus alias HIV di Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terus bertambah pada tahun 2024 ini.

Kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) tercatat mendominasi angka penderita infeksi sistem kekebalan tubuh ini.

Tercatat selama 10 bulan terakhir beberapa kasus HIV baru mulai terdata.

Mirisnya temuan kasus baru tersebut lantaran praktik seks bebas yang dilakukan oleh kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), utamanya kategori LSL.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DKPPKB) Kabupaten Bangka Selatan, Slamet Wahidin mengatakan, selama periode Januari sampai akhir Oktober 2024 tercatat sembilan temuan kasus baru HIV.

Sementara pada tahun 2023 di periode sama terdapat delapan kasus baru.

Slamet menjelaskan kasus baru tersebut rata-rata diidap oleh kaum laki-laki, sedangkan sisanya diderita oleh kaum perempuan.

“Kita mencatat terdapat sembilan kasus HIV baru selama periode Januari sampai Oktober 2024,” kata Slamet kepada Bangka Pos Group, Kamis (31/10/2024).

Slamet menyebutkan, sembilan kasus baru terdata mayoritas diidap oleh kalangan usia produktif, mulai dari 20 sampai 40 tahun ke atas.

“Sayangnya dari jumlah kasus HIV baru yang tercatat, lima kasus di antaranya diderita oleh populasi LGBT khususnya LSL. Sementara empat kasus lainnya merupakan populasi umum dan wanita pekerja seks (WPS),” bebernya.

Kata Slamet, ditemukannya kasus HIV kategori LSL lantaran pihaknya telah intens melakukan intervensi terhadap kaum LGBT.

“Pasalnya LGBT menjadi penyumbang kasus paling banyak dan membuat kekhawatiran di tengah masyarakat,” ungkapnya.

Maka dari itu, lanjut Slamet pemerintah berupaya menekan angka kasus HIV agar tak terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Padahal menurut Slamet, praktik seks yang tidak aman dapat meningkatkan potensi seseorang terpapar HIV, terlebih dengan bergonta-ganti pasangan.

“Rata-rata kasus HIV baru usia produktif. Kelompok populasi yang sangat berisiko itu WPS dan LGBT termasuk di dalamnya LSL,” jelas Slamet.

Gunung Es

Menurut Slamet, diprediksi jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan skrining HIV yang dilakukan.

Adapun penyebab temuan kasus baru HIV sambung dia, adanya pergeseran masyarakat yang sudah mulai sadar memeriksakan dirinya.

“Kasus HIV terdata sampai kini belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Disebabkan kasus HIV merupakan fenomena gunung es. Mengingat kasus yang terungkap atau muncul ke permukaan hanya bagian luarnya dan masih sangat sedikit jika dibandingkan kasus sebenarnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Slamet, DKPPKB rutin melakukan skrining atau pengecekan kesehatan terhadap kelompok risiko tinggi.

Mulai ibu hamil sampai WPS di tempat lokalisasi secara berpindah-pindah. 

“Namun yang masih menjadi kendala yaitu tes HIV kepada kelompok LGBT dikarenakan komunitas mereka tertutup,” tukasnya.

Lanjut Slamet, pihaknya mengaku tidak bisa memonitor secara terbuka jumlah valid kaum LGBT.

“Kita mengalami kesulitan untuk masuk ke komunitas LGBT, kecuali WPS ataupun populasi lain mereka kooperatif. Tetapi kalau komunitas LGBT mereka tertutup, kita sulit untuk menjangkau,” urainya.

Slamet mengaku, edukasi kepada masyarakat terus dilakukan agar populasi penderita HIV mau memeriksakan diri.

“Meningkatnya kasus ini lantaran minimnya pemahaman masyarakat tentang HIV. Pemahaman masyarakat masih banyak yang keliru sehingga menjadi tanggung jawab semua pihak untuk meluruskannya,” sebutnya.

Masyarakat, kata Slamet, cenderung menghukum penderita HIV secara sosial, karena masih menganggap itu sesuatu yang tabu.

“Penderita harus mendapatkan dukungan, sehingga mereka lebih terbuka. Kita dari tim kesehatan lebih bisa masuk ke dalam populasi untuk menanggulangi kasus HIV,” tukas Slamet.

Pemeriksaan Dini

Slamet mengungkapkan guna mengetahui apakah seseorang terinfeksi atau tidak oleh HIV hanya bisa dilakukan dengan pemeriksaan berupa tes HIV.

Akan tetapi, yang menjadi permasalahan banyak masyarakat belum sadar untuk melakukan pemeriksaan atau tes. 

Begitu pula dengan masyarakat telah sadar, belum semuanya mau melakukan tes.

“Skrining HIV dipastikan gratis, baik itu di puskesmas maupun rumah sakit. Skrining guna memastikan apakah kita menderita HIV atau tidak,” katanya.

Menurut dia masyarakat tidak perlu takut untuk melakukan tes HIV maupun AIDS.

“Apabila ada orang yang ditemukan terdeteksi positif mengidap HIV, pemerintah telah menyediakan obat secara gratis seumur hidup,” imbuhnya.

Pemerintah juga siap menjamin data pasien HIV akan dirahasiakan karena telah dilindungi dengan undang-undang.

“Misalnya pasien diketahui positif penderita HIV/AIDS, maka yang mengetahui hanya pasien dan dokter menangani,” ucapnya.

Kata Slamet, minimal populasi kunci HIV yang aktif secara seksual menjalani tes HIV setidaknya setahun sekali.

Ia menyebutkan, begitu pula dengan orang yang memiliki banyak pasangan seks atau melakukan hubungan seks bebas dengan orang yang statusnya tidak diketahui.

Bisa melakukan tes secara rutin setiap tiga sampai enam bulan sekali.

“Ketika masyarakat memeriksa kesehatan, identitas mereka akan kami rahasiakan. Baik itu nama hingga tempat tinggal. Karena privasi kesehatan dan pengaruhnya sangat besar terhadap konseling,” ujar dia.

Tes HIV, kata Slamet, bersifat penting, mengingat HIV sampai saat ini menjadi fokus pemerintah dan prevalensinya masih tinggi.

“Virus akan berkembang menjadi berat dan lebih sulit diobati, sehingga semakin dini dideteksi pengobatannya akan kian mudah,” jelasnya.

Maka dari itu, pihaknya menyediakan tes HIV sukarela atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau layanan yang dilakukan secara sukarela dan rahasia untuk mendeteksi HIV.

“DKPPKB turut memberikan pemeriksaan khusus apabila ada populasi kunci mulai WPS hingga LGBT mau melakukan tes HIV secara kelompok,” kata Slamet.

Sejauh ini menurut Slamet, pemeriksaan HIV yang dilakukan dinas tidak dipungut biaya alias gratis.

Sedangkan bila melakukan tes sukarela di rumah sakit swasta akan dikenakan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

“Kita memang mengalami kesulitan melakukan pendekatan ke komunitas LGBT, karena mereka tertutup. Berbeda dengan populasi kunci seperti WPS, mereka lebih mudah,” kata Slamet.

Meskipun begitu, Slamet mengimbau agar masyarakat tidak memberikan perlakuan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.

Para penderita HIV/AIDS harusnya dijadikan sebagai lini sektor untuk upaya penuntasan penyakit tersebut.

“Kita terus melakukan edukasi kepada masyarakat supaya tidak melakukan diskriminasi terhadap penderita HIV maupun AIDS,” katanya. 

14 Tahun Rutin Berobat

Puluhan orang penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kabupaten Bangka Selatan, masuk dalam pengawasan pemerintah.

Hal itu dikarenakan mereka tengah menjalani pengobatan rutin hingga saat ini. Bahkan pengobatan tersebut telah dijalani orang dengan HIV (ODHIV) hampir selama 14 tahun terakhir. 

Diperkirakan jumlah ODHIV akan meningkat seiring pelaksanaan skrining di lapangan.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DKPPKB) Kabupaten Bangka Selatan, Slamet Wahidin menyebutkan sejak tahun 2010 hingga Oktober 2024 ini terdata 45 orang menjalani pengobatan HIV secara rutin.

Jumlah tersebut diklaim mengalami penurunan sebesar 26,22 persen atau sebanyak 16 orang dari semula 61 orang menjalani pengobatan. Baik karena meninggal dunia hingga putus berobat lantaran pindah ke luar daerah.

“Hingga saat ini terdata sebanyak 45 orang penderita HIV masih aktif menjalani pengobatan rutin sejak tahun 2010,” ujar dia, Kamis (31/10/2024).

Menurutnya, jumlah penderita HIV yang menjalani pengobatan mengalami fluktuasi setiap tahunnya, akan tetapi lebih cenderung ke pengurangan.

“Mereka mendapatkan pengobatan secara rutin di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) maupun puskesmas di wilayah masing-masing setiap bulannya,” jelasnya.

Kata Slamet, orang tersebut secara rutin mengonsumsi obat yang diberikan secara gratis.

“Orang yang terinfeksi HIV dapat bertahan hidup dengan harapan yang sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV,” tukasnya.

Lanjut Slamet, terutama jika mereka didiagnosis tepat waktu, mendapatkan perawatan medis yang baik dan mematuhi pengobatan.

“Maka dari itu skrining atau pengecekan terhadap kelompok risiko tinggi gencar dilakukan guna mendeteksi sedini mungkin penularan HIV AIDS,” imbuhya.

Menurut Slamet, apabila ada temuan kasus baru akan langsung diobati dengan harapan bisa memutus mata rantai penularan.

Para penderita HIV, lanjut Slamet, akan terus diperhatikan dan diingatkan untuk selalu mengambil obat untuk pengobatan.

“Karena memang belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit HIV. Dengan adanya pengobatan secara rutin atau meminum obat yang diberikan akan menambah  umur pasien yang terkena HIV supaya tetap sehat,” terang Slamet.

Kata Slamet, terdapat beberapa langkah yang telah dilakukan pemerintah sebagai upaya menurunkan angka kasus HIV/AIDS.

“Yaitu dengan rumusan ABCDE yang selama ini disosialisasikan sebagai cara pencegahan,” ujarnya.

Jelas Slamet, A yakni Abstinence atau tidak berhubungan seks di luar nikah. Edukasi mengenai HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi dilakukan mulai dari siswa-siswi SMP.

“Berperan sesuai kodrat normalnya manusia, di mana jika pria harus memiliki pasangan wanita, begitu juga sebaliknya,” ucapnya.

Lalu B atau Be faithful, adalah saling setia pada pasangan. Pasalnya, banyak pria yang suka ‘jajan’ di luar dan tidak menggunakan kondom, dapat membawa virus saat pulang ke rumah.

“HIV kemudian bisa menular ke istri di rumah saat berhubungan seksual,” tandasnya.

Kemudian C atau Condom, yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual.

“Penggunaan kondom ini dinilai sangat efektif mencegah penularan HIV,” tambahnya.

Selanjutnya D, yakni Don’t use drugs atau tidak memakai narkoba.

“Kasus penularan HIV juga banyak terjadi pada pengguna napza suntik secara bergantian,” bebernya.

Dan terakhir E atau Equipment yang artinya menggunakan peralatan steril.

“Kita juga aktif melakukan kegiatan Voluntary Conseling and Testing (VCT, red) pada wanita pekerja tempat hiburan karaoke dan tempat hiburan malam,” ujarnya. (u1)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved