Tribunners

Tinjauan Implikasi Hukum Tindak Pidana dengan Nilai Kerugian di Bawah 2,5 Juta

Akhir-akhir ini, muncul sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan di tengah masyarakat Bangka.

Editor: Alza
Ist/UBB
Logo Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Doni Harianto, Mahasiswa Fakultas Hukum UBB

Tinjauan Implikasi Hukum Tindak Pidana dengan Nilai Kerugian di Bawah 2,5 Juta: Apakah Tidak Dapat Diproses Secara Hukum?

Akhir-akhir ini, muncul sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan di tengah masyarakat Bangka.

Beberapa warga yang melaporkan suatu tindak pidana yang nilainya kurang dari 2,5 juta ke kepolisian seperti pencurian, namun mendapat respons yang tidak diharapkan.

Polisi kerap kali berdalih bahwa mereka tidak dapat memproses laporan tersebut dengan alasan nilai kerugian yang dialami korban tidak mencapai 2,5 juta rupiah.

Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan dan keresahan di kalangan masyarakat.

Apakah benar tindak pidana dengan nilai kerugian di bawah 2,5 juta rupiah tidak dapat diproses secara hukum?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami dasar hukum yang berlaku di Indonesia.

Pada dasarnya, tidak ada ketentuan dalam hukum pidana Indonesia yang menyatakan bahwa tindak pidana dengan kerugian di bawah 2,5 juta rupiah tidak dapat diproses secara hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak mengenal batasan nilai kerugian sebagai syarat dapat tidaknya suatu tindak pidana diproses.

Di Indonesia, tindak pidana dengan kerugian kurang dari Rp 2,5 juta masuk dalam kategori tindak pidana ringan atau dikenal dengan sebutan tipiring.

Tipiring meliputi perkara seperti pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tindak pidana yang termasuk dalam pasal-pasal tersebut diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan dan denda maksimal Rp 2,5 juta. 

Selanjutnya, terkait dengan tindak pidana pencurian, yaitu Pasal 362 KUHP,  tidak ada pengaturan yang membedakan nilai kerugian sebagai syarat untuk memproses tindak pidana tersebut.

Artinya, pencurian dengan nilai kerugian berapa pun tetap merupakan tindak pidana yang dapat diproses secara hukum.

Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga tidak memberikan pengaturan terkait batasan nilai kerugian sebagai syarat untuk memproses tindak pidana. 

Sehingga, Setiap laporan tindak pidana harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Anggapan bahwa tindak pidana dengan kerugian di bawah 2,5 juta rupiah tidak dapat diproses kemungkinan besar berasal dari pemahaman yang keliru terhadap Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

PERMA ini sebenarnya hanya mengatur tentang batasan nilai barang atau uang dalam tindak pidana ringan, yang disesuaikan menjadi 2,5 juta rupiah.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa tindak pidana dengan kerugian di bawah 2,5 juta rupiah tidak dapat diproses, melainkan hanya mengatur tentang mekanisme pemeriksaan perkara yang berbeda.

Tindak pidana dengan nilai kerugian di bawah 2,5 juta rupiah tetap dapat diproses secara hukum, namun berdasarkan PERMA tersebut dilakukan dengan mekanisme pemeriksaan cepat di pengadilan.

Di mana, Ketua Pengadilan akan menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat untuk mempercepat proses peradilan.

Serta, penting untuk dipahami bahwa PERMA ini tidak menghapuskan sifat pidana dari suatu perbuatan, melainkan hanya mengatur tentang prosedur pemeriksaannya di pengadilan.

Selain proses hukum melalui pengadilan, tindak pidana ringan juga dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.

Penyelesaian menggunakan restorative justice telah diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Terkait Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Restorative justice adalah metode penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, tokoh masyarakat, atau pemangku kepentingan untuk mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dan memulihkan keadaan seperti semula.

Keadilan restoratif dapat diterapkan atas kesepakatan pihak pelapor dan terlapor. 

Jika pelapor memaafkan, polisi dapat memberikan restorative justice bagi pelaku.

Biasanya, para pihak akan saling memaakan dan membuat pernyataan kesepakatan perdamaian yang dibubuhi tanda tangan.

Pelaku juga perlu meminta maaf dan memenuhi hak korban, termasuk mengembalikan barang dan mengganti kerugian akibat tindak pidana.

Setelah itu, pihak kepolisian akan membuat laporan restorative justice sehingga kasusnya tidak diteruskan sampai ke pengadilan.

Namun, dalam praktiknya sering kali terdapat keengganan aparat penegak hukum untuk memproses laporan tindak pidana dengan kerugian kecil.

Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan sumber daya, prioritas penanganan perkara, atau bahkan pemahaman yang keliru terhadap peraturan yang berlaku.

Namun, hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk menolak laporan masyarakat begitu saja.

Sebagai warga negara, kita perlu memahami bahwa setiap tindak pidana, berapapun nilai kerugiannya, tetap dapat dilaporkan dan diproses secara hukum.

Jika menghadapi situasi di mana laporan kita ditolak dengan alasan nilai kerugian yang kecil, kita berhak untuk meminta penjelasan lebih lanjut dan bahkan mengajukan keberatan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian (PROPAM).

Penegak hukum, di sisi lain, perlu meningkatkan pemahaman mereka terhadap peraturan yang berlaku dan menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan hukum.

Mereka harus tetap menerima dan memproses setiap laporan tindak pidana yang masuk, terlepas dari besar kecilnya nilai kerugian.

Pada akhirnya, penegakan hukum dan kepastian hukum merupakan kunci untuk menciptakan rasa aman dan keadilan di tengah masyarakat.

Setiap tindak pidana, sekecil apa pun nilai kerugiannya, tetap merupakan pelanggaran terhadap hukum dan harus ditangani dengan serius.

Dengan pemahaman yang baik serta kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum, diharapkan fenomena penolakan laporan tindak pidana dengan nilai kerugian kecil ini dapat diatasi.

Hal ini penting agar tercipta tatanan masyarakat yang tertib hukum. (*)

Tags
hukum
UBB
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved