POSBELITUNG.CO -- Negara di Uni Eropa dan kelompok G7 sepertinya sudah frustasi menangani perekonomiannya yang hancur akibat menjatuhkan sanksi ke Rusia.
Imbas dari sanksi Uni Eropa dan G7 dengan mengembargi migas Rusia justru membuat mereka sendiri kesulitan ekonomi.
Bahkan negara-negara di Uni Eropa dan G7 kini mulai merasakan dampak inflasi yang sangat tinggi, harga barang mahal dan terjadinya krisis pangan.
Masyarakatnya juga hampir tak sanggup lagi membeli kebutuhan pangan akibat harganya yang melonjak sangat tinggi.
Baca juga: Lebih Parah dari Ukraina, Finlandia Bakal Ditenggelamkan, Rudal Iskander Nuklir Rusia Siap Ditembak
Baca juga: Amerika Malu Ketahuan Publik, Ajak Rusia Negosiasi Akhiri Perang, Ajukan Syarat Minta Putin Tobat
Baca juga: Uni Eropa Takut dengan Amerika, Ikutan Embargo Migas Rusia, Vladimir Putin: Sama Saja Bunuh Diri
Akhirnya Uni Eropa dan G7 pun membuat rencana busuk lagi terhadap Rusia.
Mereka berencana untuk merebut cadangan aset Rusia yang mereka bekukan.
Kemudian aset pribadi dan Rusia tersebut akan mereka belanjakan sendiri atas nama Rusia.
Sontak rencana busuk Uni Eropa dan G7 ini mendapat reaksi dari Rusia.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan kepada wartawan, tidak ada yang memberi tahu Rusia tentang rencana semacam itu.
Dikuti dari Reuters, menurutnya, jika rencana itu benar-benar dilaksanakan, adalah "ilegal, terang-terangan, dan tentu saja membutuhkan tanggapan yang tepat. Sebenarnya (rencana itu) adalah pencurian langsung."
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner, dalam wawancara bersama harian bisnis Jerman dan tiga surat kabar lainnya, mengaku terbuka terkait gagasan menyita aset negara Rusia untuk membiayai rekonstruksi Ukraina.
"Saya secara politis terbuka untuk gagasan menyita aset asing Bank Sentral Rusia," ujarnya, menambahkan bahwa rencana ini sudah dibahas di antara G7 dan Uni Eropa, sebagaimana dilansir Reuters.
"Dalam kasus aset pribadi, kita harus melihat apa yang mungkin secara hukum," tambahnya.
"Kita harus menghormati hukum, bahkan jika berurusan dengan oligarki Rusia."
Mengenai kebijakan fiskal Uni Eropa, Lindner mengindikasikan ia bisa terbuka untuk berkompromi tentang penanganan masa depan aturan utang Uni Eropa.
Baca juga: Rusia Ancam Tenggelamkan Inggris dan Finlandia, Dengan Rudal Satan-2 Bisa Hancur Seperti Kacang
Baca juga: Ngotot Jatuhkan Sanksi, Kemunafikan Jerman Terkuak, Sok Bela Ukraina Tapi Butuh Minyak dan Gas Rusia
Meskipun iia tidak dapat mendukung reformasi dengan pelunakan kriteria Maastricht - tulang punggung aturan fiskal UE - dia mengatakan, "aturan fiskal harus lebih realistis dan efektif."
"Tujuannya adalah agar semua ekonomi tumbuh dan memiliki keuangan publik yang berkelanjutan."
"Saya menyarankan untuk menggabungkan jalur jangka panjang yang lebih kredibel untuk pengurangan utang dengan target jangka menengah yang fleksibel," imbuhnya.
G7 Mau Bunuh Diri
Masyarakat global kini mulai merasakan terjadinya krisis pangan.
Penyebab terjadinya krisis pangan ini akibat ulah sombong negara barat dan kelompok G7 yang mengisolasi Rusia.
Sejumlah negara di barat tak bisa membeli stok bahan pangan yang sebagian besar dipasok dari Rusia dan Ukraina.
Sanksi negara barat dan kelompok G7 ini seperti senjata makan tuan.
Hendak menghukum Rusia tetapi justru negaranya sendiri yang kelaparan karena kekurangan pasokan pangan.
Diketahui kelompok G7 yakni Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat Sabtu (15/5/2022) kemarin menjatuhkan sanksi tambahan demi meningkatkan isolasi keuangan dan politik Rusia.
Baca juga: Hancur Berantakan Digempur Rusia, Ukraina Masih Ingin Melawan, Minta Bantuan Persenjataan ke Amerika
Baca juga: Amerika Kesal India Borong Minyak Rusia, Tak Sanggup Beli BBM Rakyat Inggris Terancam Kedinginan
Rupanya sanksi kelompok G7 ini tak memikirkan kepentingan masyarakat global.
“Perlu diketahui bahwa tindakan sepihak negara-negara Barat, terutama dari Kelompok Tujuh, yang memperburuk masalah pemutusan logistik dan rantai moneter pasokan makanan ke pasar dunia,” kata kementerian internasional Rusia, dalam siaran pers di situs webnya.
Melansir dari Reuters, Isolasi tersebut dimaksudkan untuk menghentikan pemasukan Rusia agar Putin tak lagi dapat memasok kebutuhan senjata militernya, demi melancarkan serangan invasi ke Ukriana.
Namun keputusan yang diambil Uni Eropa tak hanya memukul ekonomi Rusia saja, namun juga berimbas pada perekonomian dunia hingga memicu terjadinya krisis pangan masal.
Hal ini terjadi lantaran sanksi yang dikeluarkan Uni Eropa menyebabkan puluhan juta ton gandum Rusia gagal diekspor ke pasar global.
Sebagai informasi, Rusia adalah pemasok gandum terbesar, pentingnya pasokan gandum Rusia membuat negara beruang merah ini dinobatkan sebagai pemasok gandum utama dunia.
Dimana setiap tahunnya Rusia mampu mengirimkan cadangan gandumnya sebanyak 75,5 juta ton.
Menurut data statista Rusia, sebagian besar ekspor gandum tersebut dikirimkan ke pembeli yang berada diwilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Mesir dan Turki.
Akibat dari adanya sanksi G7, kini negara konsumen roti tersebut terancam tak dapat memenuhi kebutuhan pangan, karena pasokan gandum diwilayahnya menipis hingga memicu kenaikan harga hingga mencapai 40 persen.
Lonjakan inilah yang mendorong adanya inflasi pangan global tertinggi selama satu dekade, terlebih India baru-baru ini juga ikut memutuskan pelarangan ekspor gandum karena gelombang panas membatasi produksi dan harga domestik.
Peneliti senior di Human Rights Watch yang dikutip dari CNN Internasional, menyebut krisis pangan imbas adanya pemutusan ekspor bahan pangan Rusia menyebabkan 10 juta orang di kawasan Timur Tengah, kehilangan kemampuan mereka untuk mendapatkan makanan yang cukup disepanjang tahun 2022.
Tak hanya komoditi pangan saja yang tergangu, sanksi G7 dan sekutunya juga telah membuat lebih dari 13 persen atau 50 juta ton pupuk nutrisi tanaman dan tanah yang mengandung kalium, fosfat, dan nitrogen buatan Rusia gagal didistribusikan ke pasar global. Hal inilah yang makin memperburuk masalah rantai makanan dunia.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Namira Yunia Lestanti)