Ketika Hidup Tak Hanya Dimaknai Sebagai Serangkaian Kebetulan, Perjalanan Hidup Jakob Oetama

Perjalanan hidup sebelumnya membentuk Jakob menjadi wartawan yang lebih peka dengan bermacam permasalahan kemanusiaan.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Presiden Komisaris Kompas Gramedia Jakob Oetama 

Kepergian Jakob ke Jakarta dilakukan atas bimbingan ayahnya.

Jakob diminta untuk menemui kerabat ayahnya yang bernama Yohanes Yosep Supatmo pada 1952.

Supatmo bukan guru, tapi baru saja mendirikan Yayasan Pendidikan Budaya yang mengelola sekolah-sekolah budaya.

Jakob mendapat pekerjaan, tapi bukan di sekolah yang dikelola Supatmo.

Dia mengajar di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat pada 1952 hingga 1953.

Kemudian, Jakob pindah ke Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, Jakarta pada 1953-1954. Lalu, dia pindah lagi ke SMP Van Lith di Gunung Sahari pada 1954-1956.

Sambil mengajar SMP, Jakob melanjutkan pendidikan tingkat tinggi.

Dia memilih kuliah B-1 Ilmu Sejarah, lalu melanjutkan ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga lulus pada 1961.

Belajar sejarah menumbuhkan minat Jakob untuk menulis.

Persentuhannya dengan jurnalistik terjadi ketika dia mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur.

Providentia Dei.

Perjalanan hidup sebelumnya membentuk Jakob menjadi wartawan yang lebih peka dengan bermacam permasalahan kemanusiaan.

"Saya sangat terbantu dan diperkaya oleh kepekaan humaniora yang terpupuk dan terkembang berkat pendidikan di seminari menengah," kata Jakob, dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir.

Langkah Jakob semakin mantap di bidang jurnalistik.

Hingga kemudian dia bertemu PK Ojong.

Pertemuan dengan Ojong menjadi salah satu momentum penting, hingga keduanya melahirkan majalah Intisari, Harian Kompas, juga grup Kompas Gramedia. (KOMPAS.com/Bayu Galih)

Sumber: Tribun Solo
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved