Opini

Evaluasi Proses Dispensasi Nikah di Peradilan Agama: antara Perlindungan Anak dan Kepastian Hukum 

Mekanisme ini muncul sebagai solusi atas kebutuhan individu yang ingin menikah sebelum usia yang ditetapkan, namun sekaligus menimbulkan dilema

Editor: Teddy Malaka
Dok
Selma Claudya Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung 

Oleh : Selma Claudya Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung 

PROSES dispensasi nikah di peradilan agama merupakan sebuah mekanisme hukum yang memberikan izin kepada calon pengantin yang belum mencapai usia minimal pernikahan sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan.

Mekanisme ini muncul sebagai solusi atas kebutuhan individu yang ingin menikah sebelum usia yang ditetapkan, namun sekaligus menimbulkan dilema antara perlindungan anak dan kepastian hukum. 

Di satu sisi, dispensasi nikah bertujuan memberikan perlindungan hukum dan memastikan hak hak anak tidak dilanggar, dengan pertimbangan matang dari hakim yang mengkaji aspek psikologis, sosial, dan hukum calon mempelai.

Namun di sisi lain, pemberian dispensasi ini juga berpotensi membuka celah bagi praktik perkawinan anak yang dapat berdampak negatif masa depan anak dan masyarakat.

Oleh karena itu, evaluasi terhadap proses dispensasi nikah di peradilan agama menjadi penting untuk menyeimbangkan antara perlindungan anak dan kepastian hukum yang harus ditegakkan secara adil dan bertanggung jawab. 

Pengadilan agama sebagai lembaga yang berwenang harus cermat dalam menilai setiap permohonan dispensasi nikah, tidak hanya berdasarkan alasan mendesak, tetapi juga mempertimbangkan aspek perlindungan anak sesuai dengan Undang-

Undang perlindungan anak. Sayangnya, dalam praktiknya, pertimbangan perlindungan anak seringkali belum menjadi prioritas utama, sehingga hak- hak anak seperti kesempatan bersekolah, bermain, dan berkembang secara optimal bisa terabaikan. 

Selain aspek hukum dan kepastian, evaluasi dispensasi nikah juga harus menyoroti dampak serius yang dialami anak anak yang menikah di bawah umur.

Data menunjukkan bahwa perkawinan anak berpotensi meningkatkan risiko putus sekolah hingga empat kali lipat, menghambat perkembangan psikologis, serta menimbulkan masalah kesehatan reproduksi yang serius, terutama pada anak perempuan.

Dispensasi nikah yang sering diberikan karena alasan ekonomi atau tekanan sosial ini justru dapat memperkuat siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat. 

Proses pengambilan keputusan di pengadilan agama juga perlu lebih transparan dan objektif dengan melibatkan tenaga ahli seperti psikolog atau konselor, agar dampak jangka panjang bagi anak benar- benar dipertimbangkan.

Tanpa evaluasi yang ketat, dispensasi nikah berisiko menjadi pintu masuk bagi praktik perkawinan anak yang mengabaikan hak anak untuk tumbuh dan perkembangan secara optimal, serta berpotensi meningkatkan angka kematian ibu dan masalah kesehatan seperti depresi dan kecemasan. 

Oleh karena itu, selain menegakkan kepastian hukum, peradilan agama harus mengedepankan prinsip perlindungan anak dengan memperketat syarat dispensasi dan mengedukasi masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini.

Pendekatan yang komprehensif ini penting agar dispensasi nikah benar- benar menjadi pengecualian yang bertujuan melindungi hak, bukan justru merugikan mereka di masa depan. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved