Opini

Cerita, Kepercayaan, dan Jaringan Sosial dalam Ekonomi Thrift di Indonesia

Namun di balik hiruk pikuk jual-beli baju bekas ini, tersimpan lapisan cerita yang lebih kompleks daripada sekadar tren ekonomi

Editor: Hendra
Dok. Kirana Arifia Putri
Kirana Arifia Putri, Mahasiswi S1 Departemen Ilmu Ekonomi,  Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada Angkatan 2024 

Penulis Kirana Arifia Putri
Mahasiswi S1 Departemen Ilmu Ekonomi,  Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
Angkatan 2024

Beberapa tahun terakhir, pasar thrift menjelma menjadi surga baru bagi anak muda Indonesia. Sebagai
contoh, di Jogja terdapat Pasar Klithikan yang makin lama makin ramai pengunjungnya disetiap akhir
pekan. Di Bandung, bazar second hand fashion tumbuh bak lumut dalam kolam. 

Di platform TikTok, akun-akun thrift shop bermunculan, menawarkan "barang sisa ekspor" yang diklaim original oleh para penjualnya. Fenomena ini bukan lagi tentang harga, melainkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup
baru yang hemat, unik, dan berkelanjutan.

Namun di balik hiruk pikuk jual-beli baju bekas ini, tersimpan lapisan cerita yang lebih kompleks daripada sekadar tren ekonomi. Kenapa banyak anak muda lebih percaya akun thrift kecil dibanding merek besar? Mengapa interaksi antara penjual dan pembeli terasa lebih hangat, seolah diantara mereka sudah terjalin hubungan pertemanan?

Di sinilah sosiologi ekonomi memberi kita kacamata baru untuk melihat bahwa ekonomi tidak pernah berdiri sendiri.
Menurut sosiolog Mark Granovetter (1985), setiap tindakan ekonomi selalu "embadded", yang artinya tertanam dalam jaringan sosial, budaya, dan kepercayaan. Artinya, transaksi jual-beli bukan cuma soal harga, tapi juga soal hubungan manusia di baliknya. Dalam praktiknya, pasar thrift Indonesia adalah contoh nyata dari teori tersebut.

Jika ditelusuri, komunitas thrift terbentuk bukan semata karena tren gaya hidup hemat, tetapi karena
adanya kepercayaan sosial yang tumbuh di antara pelaku dan pembeli. Di media sosial, banyak toko
kecil membangun reputasi bukan dari modal besar, melainkan dari rasa percaya pembeli yang mereka
rawat lewat interaksi sehari-hari.

Ada yang dikenal karena selalu jujur soal kondisi barang, ada juga yang punya pelanggan tetap karena gaya komunikasinya ramah dan apa adanya. Pembeli pun sering kembali bukan karena harga paling murah, tapi karena merasa "kenal" dengan penjualnya. Inilah yang disebut social embeddedness, yaitu kondisi ketika pasar tumbuh karena relasi sosial yang menumbuhkan rasa percaya.

Lebih menarik lagi, dunia thrift juga menciptakan nilai budaya baru. Banyak anak muda yang menjadikan kegiatan berburu barang bekas sebagai bentuk ekspresi diri. Mereka bangga menemukan jaket vintage yang "unik" dan berbeda dari tren fast fashion. Komunitas thrift hunter pun berkembang di berbagai kota, saling berbagi lokasi drop zone, saling bertukar informasi, bahkan membangun solidaritas lewat acara pop-up market.

Dalam konteks ini, pasar thrift tidak sekadar ruang ekonomi. Tapi juga arena sosial dan kultural tempat identitas dan solidaritas baru terbentuk. Tapi, tak semua pihak memandangnya positif. Pemerintah beberapa kali melarang impor pakaian bekas, dengan alasan melindungi industri tekstil lokal.

Larangan ini menuai perdebatan. Di satu sisi benar bahwa impor bal-bal pakaian bekas bisa merugikan produsen domestik, Tapi di sisi lain, larangan itu juga memukul pelaku UMKM dan komunitas kecil yang menggantungkan hidup pada bisnis thrift.

Di sini, kita dapat melihat sisi lain dari embeddedness dimana bukan hanya relasi sosial antarindividu, namun juga relasi antar pasar, negara, dan kekuasaan. Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) pernah mengatakan bahwa pasar tidak pernah "bebas" sepenuhnya, karena pasar selalu tertanam dalam norma dan regulasi masyarakat.

Ketika negara menertibkan perdagangan pakaian bekas, sesungguhnya negara sedang berupaya menanamkan
nilai tertentu ke dalam pasar yaitu nilai perlindungan industri nasional dan kedaulatan ekonomi. Tapi, keputusan ini juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa menggeser keseimbangan antara kepentingan sosial dan ekonomi.

Dalam dunia digital, bentuk embeddedness cenderung makin kompleks, Algoritma media sosial kini menjadi "penentu" siapa yang dilihat dan siapa yang tenggelam, Bagi thrift shop kecil, algoritma bisa jadi sahabat sekaligus musuh. Jika kontennya viral, mereka bisa laris manis.

Tapi kalau engagement turun, omzet pun ikut anjlok. Di sinilah kekuasaan teknologi menggantikan bentuk kekuasaan lama; bukan lagi pejabat atau birokrat, tapi sistem, algoritmik yang menentukan nasib ekonomi sosial mereka.

Melihat fenomena ini, kita belajar bahwa ekonomi tidak hanya digerakkan oleh rasionalitas dan angka, tapi juga oleh kepercayaan, nilai, dan struktur sosial, Dalam dunia thrift, logika "siapa kenal siapa" kadang lebih penting daripada logika "berapa harganya". Dan justru di situlah kekuatan pasar rakyat tumbuh dari jaringan, bukan dari kapital besar.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved