Breaking News

Prof Sudarsono dari IPB Sebut Prof Bambang Hero Bukan Ahli Hitung Kerugian Negara di Korupsi Timah

Penetapan nilai kerugian negara akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271 triliun disebut mengada-ada.

Editor: Alza
KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar memaparkan pelimpahan dua orang tersangka kasus korupsi Timah, Harvey Moeis dan Helena Lim, ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/7/2023). 

POSBELITUNG.CO - Terjadi kesalahan penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang ditangani Kejaksaan Agung.

Penetapan nilai kerugian negara akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp271 triliun disebut mengada-ada.

Penilaian itu tanpa dasar yang jelas karena tidak mewakili institusi negara manapun.

Hal itu diungkap Prof Sudarsono Soedomo, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutahan dan Lingkungan IPB, dalam acara diskusi di Universitas Pertiba Pangkalpinang, Sabtu (21/12/2024).

Universitas Pertiba Babel bersama Jakarta Justice Forum menggelar Diskusi Panel dengan tema Dampak Perhitungan Kerugian Negara Terhadap Perekonomian Bangka Belitung.

Diskusi di auditorium Kampus Uniper itu menghadirkan narasumber Prof Sudarsono Soedomo, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutahan dan Lingkungan IPB, Kaprodi Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Uniper Dr Adhistia, dan Dekan Fakultas Ekonomi UBB Dr Devi Valeriani.

Hadir juga Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Eka Mulya Putra, serta Keynote Speaker Rektor Uniper Dr Suhardi.

Moderator acara tersebut adalah dosen Universitas Muhammadiyah Babel Dr M Adha Al Kodri.

Diskusi mengangkat terkait dampak perhitungan kerugian negara terhadap perekenomian Bangka Belitung (Babel), pascapengungkapan kasus dugaan korupsi tata niaga komuditas timah senilai Rp300 triliun.

Prof Sudarsono Soepomo menegaskan kesalahan penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang dilakukan oleh ahli lingkungan Prof Bambang Hero Saharjo.

"Perhitungan kerugian kasus timah yang digunakan salah total, sampel yang sedikit dan penggunaan alat perhitungan yang tidak resprensentatif hingga tidak menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat memadai," tegas Sudarsono Soepomo.

"Tentu bagi saya hasil perhitungan yang disampaikan itu sangat meyakinkan salahnya, saya yakin sekali ada kesalahan soal cara menghitungnya dan ini sudah ngawur," ucapnya.

Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan, hasil perhitungan kerugian negara dari lingkungan harus menggunakan metode yang tepat.

Serta harus dikaji oleh beberapa ahli sebelum disepakati nilai kerugian yang sebenarnya dalam kasus ini.

"Iya, ini kan cuma satu orang dan bukan ahli pula, saya mengatakan dia bukan ahli karena tidak mengerti konsep yang harus digunakan.

Lebih anehnya hasil yang salah itu langsung dipakai, deharusnya tidak seperti itu," jelasnya.

Selain itu dia juga menambahkan, kalau hasil perhitungan kerugian negara Bambang Hero dianggap benar, maka yang bertanggung jawab atas lingkungan di lokasi tambang yang masuk dalam wilayah izin adalah negara.

"Negara sudah memperhitungkan dampak dari pemberian izin tambang, memangnya tambang lain yang tidak punya kasus tidak ada kerusakan lingkungan.

Coba saja hitung, tetapi kalau cara menghitungnya seperti Bambang Hero pasti ratusan triliun juga angkanya," tambah Sudarsono.

"Masyarakat bisa menggugat soal kalah menang itu belakangan, bisa dituntut juga pengakuan ahli tetapi bukan ahli.

Masyarakat juga bisa menuntut keahlian diuji oleh pakar lain, itu harus dilakukan supaya orang ini tidak sembarangan mengeluarkan pendapat," sambungnya.

Dia mengungkapkan, hasil perhitungan kerugian negara yang salah itu seharusnya dilakukan koreksi supaya jangan sampai ada dugaan melakukan kejahatan intelektual.

"Ketika kita tahu ini salah harus dikoreksi kalau tidak ada niat mengkoreksi, ini sudah kejahatan.

Dia (Bambang) pasti tahu salahnya di mana karena orang pun sudah ngomong di mana-mana. 

Tetapi dia tidak ada niat untuk mengkoreksi. Kalau dia tidak mau, berarti dia melakukan kejahatan intelektual," ungkap Sudarsono.

Prof Sudarsono menegaskan, pertambangan timah dengan izin negara maka kerusakan lingkungan yang ditimbulkan adalah tanggung jawab negara.

Sementara Devi menjelaskan soal perekonomian masyarakat akibat dinamika kasus pertimahan di Bangka Belitung.

Menurutnya, angka pengangguran meningkat akibat penutupan smelter yang berurusan dengan pihak berwajib.

Ditambahkan Adhistia, peristiwa hukum kasus timah yang ditangani Kejaksaan Agung tidak sama dengan kejadian di Bangka Belitung. 

Hal itu terkait vonis bebas terdakwa kasus timah dengan tuduhan korupsi Ryan alias Afung asal Bubus, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Senin (2/12/2024.

Padahal Afung dituntut Jaksa 16,5 tahun penjara karena telah merugikan negara Rp59,2 triliun akibat penambangan timah ilegal yang dilakukannya.

"Kasus timah yang ditangani Kejaksaan Agung di Jakarta, menurut saya tidak sama dengan kasus Ryan yang divonis bebas. Peristiwa yang berbeda, tidak bisa disamakan," ungkapnya. 

Sementara Eka Mulya, menyampaikan pernyataan saksi ahli Prof Bambang Hero dari IPB menggugah rasa keadilan dan sangat berbahaya.

Menurutnya, Prof Bambang tidak mewakili lembaga apapun, namun dijadikan dasar oleh pihak Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPKP) untuk menetapkan kerugian negara atas kasus dugaan korupsi tata niaga komuditas timah.

"Tentu bukan BPKP bukan lembaga yang diberikan hak oleh negara untuk memberikan statemen terkait kerugian negara.

Apabila ini dipakai sangat berbahaya karena lembaga yang diberikan hak melakukan perhitungan atas kerugian negara itu adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," terang Eka Mulya.

Oleh sebab itu dikatakan Eka, penegakan hukum dengan angka kerugian ratusan triliun tersebut sangat berdampak pada kegiatan bisnis pertimahan yang berujung pada anjloknya perekonomian di Babel.

"Kita harus minta pertanggungjawaban kepada yang membuat statemen, termasuk lembaga penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung.

Apakah ini bisa dijadikan sebuah rumusan untuk melakukan tindakan yang menyebabkan ekonomi Babel menjadi terpuruk," beber Eka.

Dia juga menyebutkan, proses hukum tersebut membuat eksportir timah yang tergabung dalam AETI menurun.

Dari jumlah seluruh smelter sebanyak 24 perusahaan, saat ini tinggal 14 saja yang aktif.

"Kita akui smelter timah memang banyak tidak aktif sekarang, bukan hanya terkait masalah hukum saja akan tetapi terkait regulasi yang ditetapkan pemerintah saat ini sulit, di mana wilayah pertambangan harus Clear and Clean (CNC) hingga asal usul barang RKAB," ujarnya.

(Bangkapos.com/Adi Saputra)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved