Pos Belitung Hari Ini

Warga di Belitung Lesehan di Pintu Gudang Kolektor, Istri Alman Jual Timah Tengah Malam

Razia ini menjadi momok bagi para penambang seperti dirinya, yang bekerja keras mencari rezeki di tengah bayang-bayang ketidakpastian.

Editor: Novita
Dokumentasi Posbelitung.co
Pos Belitung Hari Ini edisi Jumat, 26 Juli 2024 

POSBELITUNG.CO, BELITUNG - Hari masih gelap, sekitar pukul 05.00 WIB, ketika Alman memulai perjalanannya hari ini.

Dengan mengendarai motor tuanya, ia menembus dinginnya pagi menuju lokasi tambang yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumahnya.

Aktivitas ini sudah menjadi rutinitas harian bagi Alman, seorang penambang timah di daerah Sijuk, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Pagi-pagi sekali, Alman bergegas ke lokasi menambang. Bukan tanpa alasan. Ketakutan akan razia yang kerap dilakukan aparat membuatnya harus memulai pekerjaannya lebih awal.

Razia ini menjadi momok bagi para penambang seperti dirinya, yang bekerja keras mencari rezeki di tengah bayang-bayang ketidakpastian.

Siang atau sore hari, Alman kembali ke rumah dengan hasil jerih payahnya.

Terkadang, hasil tambang cukup untuk menutupi biaya bahan bakar mesin suntik yang digunakan, yang memerlukan sekitar 8-10 liter pertalite setiap kali beroperasi.

Namun, tak jarang hasilnya hanya cukup untuk menutupi modal, tanpa ada upah yang bisa dibawa pulang. Meski demikian, pekerjaan menambang adalah satu-satunyaharapan untuk menyambung hidup.

Timah hasil tambang hari itu segera dibersihkan oleh sang istri. Istrinya bertugas membersihkan timah sebelum dijual ke pengepul.

“Hari ini dapat 1,9 kilogram yang bersih, lumayan kalau ini. Dua hari yang lalu malah hanya dapat 7 ons dan 8,5 ons,” kata Alman pada Minggu (21/7/2024).

Timah dijual seharga Rp122 ribu per kilogram. Berapa pun hasil yang didapat, selalu dijualnya ke pengepul. Jika tidak, tidak ada modal untuk menambang keesokan harinya.

“Jadi jual seadanya lah. Kalau dapat 7 ons, dijual lah segitu. Misal dapat lah Rp86.000, walaupun tidak pulang modal, bisa beli bahan bakar untuk jalan besoknya. Kalau tidak dijual, tidak ada modal, besoknya tidak bisa jalan,” kata Alman.

Namun, menjual timah tidak semudah yang dibayangkan. Pengepul terbatas dan mereka juga khawatir akan razia aparat.

Sang istri bahkan pernah menjual timah tengah malam karena takut terkena razia.

Gudang kolektor timah pun ditutup rapat, belasan warga penambang duduk lesehan mengantre untuk menjual timah mereka agar bisa menjadi modal keesokan harinya dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari.

“Pening kalau diceritakan. Rasanya cari rezeki tapi dianggap seperti maling, sembunyi-sembunyi. Ini saja timahnya sekarang tidak digoyang, karena banyak meja goyang yang tutup. Jadi jual begitu saja,” ungkap Alman.

Nasib serupa juga dialami oleh Tian. Beruntung, malam itu ia bisa menjual 3 kilogram timah seharga Rp128 ribu karena memiliki OC 76.

Hasil hari itu memang banyak, karena berminggu-minggu sebelumnya hasil yang diperoleh dalam sehari bahkan tak sampai 1 kilogram.

“Jualnya sekarang memang sudah bisa, walaupun memang masih kucing-kucingan,” kata Tian.

Pernah, saat berminggu-minggu kesulitan menjual timah, Tian bahkan harus pergi ke Belitung Timur, menempuh jarak lebih dari 70 kilometer untuk bisa menjual timahnya.

“Mau tidak mau lah, jual ke jauh yang penting ada yang beli. Kalau barang disimpan susah juga, apalagi duit lah habis, untuk modal pun sudah tidak ada,” pungkasnya.

Jual ke Luar Belitung

Seorang pengepul timah yang berinisial IS mengungkapkan, bahwa aktivitas tambang sempat menurun sejak Kejaksaan Agung mengungkap kasus tata niaga timah yang melibatkan sejumlah nama besar.

“Saat terjadi kasus Kejagung, perusahaan-perusahaan swasta kan tutup, tapi masih ada yang buka, lantaran tidak terseret kasus. Mereka juga masih punya kuota,” ujarnya saat dihubungi
Posbelitung.co.

Setelah kuota perusahaan swasta habis, Kementerian ESDM belum menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) baru untuk menampung hasil tambang masyarakat.

Kemungkinan, PT Timah Tbk yang menampung timah masyarakat tersebut dengan cara pengepul bekerja sama dengan mitra mereka. Namun, PT Timah Tbk tetap memperketat aturan dengan mitra mereka karena perusahaan plat merah tidak boleh menerima timah hasil tambang di luar Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Karena jalur ilegal ini masih terbuka, kemungkinan itu yang menjadi penyebab terjadinya pengiriman timah ke Bangka itu,” ungkap IS.

Diberitakan sebelumnya, sejumlah kendaraan bermuatan timah tertangkap seusai menyeberang dari Belitung ke Pulau Bangka. Tercatat dua kasus, satu di antaranya, timah yang diselundupkan di dalam truk membawa daging babi.

Menurut IS, tambang timah ilegal tidak berkaitan dengan kuota yang ditetapkan Kementerian ESDM. Karena aktivitas tambangnya saja sudah dari lokasi yang ilegal, sehingga jalur selanjutnya juga tidak sesuai aturan.

Jalur ilegal tersebut dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk meraup keuntungan, dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat penambang di level bawah.

Karena jika kuota yang ditetapkan tidak mampu menampung potensi yang ada, secara otomatis timah masyarakat tidak dibeli.

Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pengepul dan kolektor untuk membeli timah dengan harga murah.

“Harga tetap ditekan mereka karena tidak ada yang beli. Jadi yang untung itu orang-orang bermodal dan punya jalur sendiri,” katanya.

IS menambahkan, meskipun kuota yang ditetapkan berimbang dengan potensi, tanpa diimbangi dengan harga beli yang sepadan, tidak akan efektif. Penambang tetap memilih pengepul atau kolektor yang membeli dengan harga tinggi.

“Harga ini kan tidak sama masing-masing pengepul dan kolektor. Mereka tetap bersaing untuk mendapatkan timah masyarakat,” katanya.

Harga jual timah memang berbeda di tiap tingkatan mulai dari kolektor hingga meja goyang. Kolektor biasanya mengambil keuntungan dari harga yang ditawarkan smelter atau PT Timah Tbk.

Harga tersebut kemudian dipotong dan ditawarkan kembali kepada meja goyang yang menerima timah dari masyarakat. Harga beli timah dari kolektor sekitar Rp125.000 per kilogram untuk kandungan OC 72, dengan selisih Rp2.500 di setiap kenaikan OC.

Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa meja goyang menerapkan harga sama rata untuk semua OC karena tidak banyak kolektor yang bersedia membeli timah.

“Jadi kayak sistem tembak, misalnya mau OC 72 atau 76 itu dibeli Rp130 ribu per kilo. Karena saat ini sedikit yang beli, jadi kalau mau jual silah, tidak pun tidak apa-apa,” katanya.

(del/dol)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved