Jaksa Agung Umumkan 5 Smelter Timah Jadi Tersangka Korporasi, Zainul Arifin: Jadi Perdebatan Hukum

Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan lima tersangka korporasi kasus korupsi timah.

|
Editor: Alza
Istimewa
TERSANGKA KORPORASI - Praktisi Hukum Zainul Arifin usai membuat pengaduan ke Bareskrim Polri terkait film Vina Cirebon, Selasa (28/5/2024). Zainul Arifin membeberkan tentang tersangka korporasi masih menjadi perdebatan. 

"Selain itu, penelitian ini belum membahas secara mendalam bagaimana kebijakan publik dapat berperan dalam membentuk sistem hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan kejahatan korporasi di era globalisasi," ujarnya.

Tanggapan Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda menyebut jika mengacu pada hukum positif, status tersangka kepada korporasi tidak dibenarkan. 

Sebab Kejagung belum bisa membuktikan kerugian kerusakan lingkungan sebesar Rp300 triliun yang didasarkan pada penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Kalau soal bisa sih bisa saja (penetapan tersangka), dia (Kejagung) punya kewenangan untuk itu, tapi kan secara normatif tidak benar dong,” ujar Huda kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

Menurutnya langkah penetapan tersangka korporasi ini hanya jadi cara Kejagung untuk menyelaraskan vonis pengadilan dari para terdakwa yang berasal dari korporasi tersebut.

Adapun terdakwa yang telah dijatuhi vonis dalam perkara ini mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis, selaku sosok perpanjangan tangan dari PT RBT.

“Saya kira Rp300 triliun, mana Rp300 triliun? Yang namanya Rp300 triliun itu kan tidak terbukti.

Karena tidak terbukti itulah sementara dia sudah gembar-gembor dan bagaimana untuk menutupi tersangka dari perusahaan-perusahaan itu,” jelasnya.

Chairul Huda melihat, gagalnya pembuktian adanya kerugian negara di balik aktivitas tambang di Kepulauan Bangka Belitung membuat Kejagung memilih menetapkan perusahaan yang dinilai jadi bagian dari kasus korupsi timah.

“Ini menunjukkan bahwa cara-cara Kejaksaan Agung ini kan, karena dia melihat hasil pengadilan terhadap terdakwa-terdakwa individu itu kan, tidak seperti yang mereka harapkan,” tuturnya.

Langkah Kejagung ini juga dipandang sebagai cara agar aset yang sudah disita, tidak dikembalikan lagi kepada para pemiliknya.

“Jadi cari cara untuk kemudian barang-barang, uang yang disita itu bisa bisa tidak harus dikembalikan kepada pihak-pihak yang dari mana barang itu disita,” lanjut dia.

Sementara jika melihat konteks ekonomi, Huda menilai status tersangka yang disematkan Kejagung kepada lima korporasi berpotensi memberi dampak buruk bagi pendapatan negara.

Misalnya hilangnya penerimaan dari sektor pajak yang biasa diterima negara dari lima perusahaan.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved