Jaksa Agung Umumkan 5 Smelter Timah Jadi Tersangka Korporasi, Zainul Arifin: Jadi Perdebatan Hukum

Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan lima tersangka korporasi kasus korupsi timah.

|
Editor: Alza
Istimewa
TERSANGKA KORPORASI - Praktisi Hukum Zainul Arifin usai membuat pengaduan ke Bareskrim Polri terkait film Vina Cirebon, Selasa (28/5/2024). Zainul Arifin membeberkan tentang tersangka korporasi masih menjadi perdebatan. 

POSBELITUNG.CO - Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan lima tersangka korporasi kasus korupsi timah.

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers usai rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait Desk Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola di Kantor Kejaksaan Agung RI di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Dalam rangka itu kita menetapkan 5 korporasi perusahaan timah ada 5 korporasi yang akan kami jadikan (tersangka) dan hari ini akan diumumkan ya perkaranya hari ini diumumkan bahwa perkara ini dalam tahap penyidikan," ungkap Burhanuddin.

"Pertama adalah PT RBT. Kedua adalah PT SB. Ketiga PT SIP, keempat PT TIN, dan yang kelima PT VIP," ucap dia.

Smelter itu adalah CV Sariwiguna Bina Sentosa, PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa. 

Tanggapan Praktisi Hukum

Praktisi Hukum Zainul Arifin PhD menjelaskan, pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam kasus korupsi masih menjadi perdebatan hukum yang kompleks, terutama dalam menentukan sejauh mana entitas bisnis dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan ilegal yang dilakukan individu di dalamnya.

Menurutnya, meskipun banyak yurisdiksi telah mengakui konsep Corporate Criminal Liability (CCL), implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk celah hukum dan inkonsistensi dalam putusan pengadilan.

"Dari perspektif keadilan hukum, mengungkapkan bahwa penjatuhan sanksi
terhadap badan hukum setelah pengurusnya dihukum dapat menimbulkan dilema
hukum, terutama terkait dengan prinsip double jeopardy dan keadilan prosedural," beber Zainul Arifin menjelaskan penelitian yang dilakukannya, Kamis (20/2/2025).

Dalam konteks hukum Indonesia, pendekatan yang lebih menekankan pertanggungjawaban
individu dibandingkan dengan badan usaha sebagai subjek hukum masih menjadi
tantangan dalam penerapan hukum pidana korporasi.

Disebutkan Zainul, penelitian yang dilakukannya selaras dengan kasus korupsi timah, dengan menetapkan perusahaan smelter sebagai tersangka.

Dia memberikan wawasan tentang perlunya reformasi hukum yang lebih jelas dalam menangani pertanggungjawaban pidana korporasi.

"Selain itu, pendekatan alternatif seperti mekanisme Deferred Prosecution
Agreements (DPA) atau model kepatuhan yang lebih ketat dapat menjadi solusi yang
lebih efektif daripada sekadar menjatuhkan sanksi finansial tambahan yang tidak selalu
menyelesaikan akar masalah," jelas Zainul putra kelahiran Babel, yang berkarier di Jakarta.

Meski begitu, penelitian yang dilakukannya, memiliki beberapa keterbatasan, terutama dalam cakupan yurisdiksi yang dianalisis.

Regulasi hukum pidana ekonomi yang berbeda di setiap negara dapat mempengaruhi efektivitas implementasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi.

"Selain itu, penelitian ini belum membahas secara mendalam bagaimana kebijakan publik dapat berperan dalam membentuk sistem hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan kejahatan korporasi di era globalisasi," ujarnya.

Tanggapan Pakar Hukum Pidana

Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda menyebut jika mengacu pada hukum positif, status tersangka kepada korporasi tidak dibenarkan. 

Sebab Kejagung belum bisa membuktikan kerugian kerusakan lingkungan sebesar Rp300 triliun yang didasarkan pada penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Kalau soal bisa sih bisa saja (penetapan tersangka), dia (Kejagung) punya kewenangan untuk itu, tapi kan secara normatif tidak benar dong,” ujar Huda kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

Menurutnya langkah penetapan tersangka korporasi ini hanya jadi cara Kejagung untuk menyelaraskan vonis pengadilan dari para terdakwa yang berasal dari korporasi tersebut.

Adapun terdakwa yang telah dijatuhi vonis dalam perkara ini mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis, selaku sosok perpanjangan tangan dari PT RBT.

“Saya kira Rp300 triliun, mana Rp300 triliun? Yang namanya Rp300 triliun itu kan tidak terbukti.

Karena tidak terbukti itulah sementara dia sudah gembar-gembor dan bagaimana untuk menutupi tersangka dari perusahaan-perusahaan itu,” jelasnya.

Chairul Huda melihat, gagalnya pembuktian adanya kerugian negara di balik aktivitas tambang di Kepulauan Bangka Belitung membuat Kejagung memilih menetapkan perusahaan yang dinilai jadi bagian dari kasus korupsi timah.

“Ini menunjukkan bahwa cara-cara Kejaksaan Agung ini kan, karena dia melihat hasil pengadilan terhadap terdakwa-terdakwa individu itu kan, tidak seperti yang mereka harapkan,” tuturnya.

Langkah Kejagung ini juga dipandang sebagai cara agar aset yang sudah disita, tidak dikembalikan lagi kepada para pemiliknya.

“Jadi cari cara untuk kemudian barang-barang, uang yang disita itu bisa bisa tidak harus dikembalikan kepada pihak-pihak yang dari mana barang itu disita,” lanjut dia.

Sementara jika melihat konteks ekonomi, Huda menilai status tersangka yang disematkan Kejagung kepada lima korporasi berpotensi memberi dampak buruk bagi pendapatan negara.

Misalnya hilangnya penerimaan dari sektor pajak yang biasa diterima negara dari lima perusahaan.

“Jangan sampai menegakkan hukum terhadap korporasi itu menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar.

Ini yang tidak dipahami oleh Kejaksaan,” pungkasnya.

Tersangka korporasi

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan lima tersangka korporasi. 

Hal itu disampaikannya saat konferensi pers usai rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait Desk Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola di Kantor Kejaksaan Agung RI di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Dalam rangka itu kita menetapkan 5 korporasi perusahaan timah ada 5 korporasi yang akan kami jadikan (tersangka) dan hari ini akan diumumkan ya perkaranya hari ini diumumkan bahwa perkara ini dalam tahap penyidikan," ungkap Burhanuddin.

"Pertama adalah PT RBT. Kedua adalah PT SB. Ketiga PT SIP, keempat PT TIN, dan yang kelima PT VIP," ucap dia.

Burhanuddin juga mengumumkan pihaknya telah menetapkan dua korporasi sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang.

Kedua PT tersebut yakni PT AL dan PT MRM. 

"Dan yang (tersangka tindak pidana pencucian uang) perorangan ini perlu teman-teman tahu namanya CD, Direktur Utama Asset Pacific," ungkap Burhanuddin.

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khsusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah dalam kesempatan yang sama menjelaskan peningkatan status penyidikan.

Serta penetapan tersangka dalam dua kasus tersebut dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup.

Dalam kasus Duta Palma, ungkapnya, Kejaksaan Agung akan terus berupaya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp4,7 triliun. 

"Dan ini dalam rangka seperti yang disampaikan Pak Jaksa Agung bahwa kita akan terus berupaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,7 triliun," ujar Febrie.

"Dan dari perkara Surya Damadi ini juga jaksa menuntut kerugian perekonomian negara sebesar Rp73,9 triliun.

Dua ini akan kita upayakan melalui proses penyidikan TPPU seperti yang telah kami sampaikan," kata dia.

Kedua, terkait pengembangan perkara tindak pidana korupsi PT Timah, lanjut dia, berdasarkan hasil gelar perkara Jaksa Agung memutuskan kerugian kerusakan lingkungan hidup dalam kasus tersebut juga akan dibebankan kepada lima perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka yakni PT RBT, PT SIP, PT SB, PT TIN, dan PT VIP. 

Pembebanan kerusakan lingkungan berdasarkan hasil dari alat bukti maupun keterangan ahli yang dilakukan pembuktian di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dan disetujui dalam putusan hakim, lanjut dia, yaitu PT RBT sebesar Rp38,5 triliun, PT SB Rp23,6 triliun, PT SIP Rp24,3 triliun, PT TIM Rp23,6 triliun, dan PT VIP Rp42,1 triliun.

"Ini jumlahnya sekitar Rp152 triliun.

Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan oleh hakim dan itu menjadi kerugian negara, ini sedang dihitung oleh BPKP. 

Siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti dan tentunya akan segera kita sampaikan ke publik," pungkasnya. (tribunnews.com)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved